Oleh karena itu, kalimat ini bukan merupakan kalimat bahasa Indonesia karena tidak disusun menurut kaidah atau sistem bahasa Indonesia..
Bahasa sebagai lambang, berarti sesuatu secara konvensional, tidak secara alamiah dan langsung. Sebagai contoh, bendera kuning digunakan lambang adanya kematian. Apa sebabnya? Sebab secara klasik bendera kuning digunakan sebagai tanda  kematian. Gambar rantai atau kalung pada burung Garuda Pancasila melambangkan persatuan. Untuk apa? Rantai secara konvensional dijadikan lambang persatuan.
Dengan demikian, lambang adalah suatu tanda yang digunakan oleh suatu kelompok sosial atas dasar kesepakatan dan untuk memahaminya harus dipelajari..
Bahasa adalah bunyi, berarti bunyi berdasarkan suatu aturan yang disepakati oleh pemakainya yaitu sebagai alat konunikasi yang digunakan oleh manusia dalam berinteraksi dengan yang lain. Namun tidak semua bunyi yang dihasilkan oleh alat vokal manusia dapat disebut bunyi ujaran. Batuk, bersin, misalnya bukanlah bunyi bahasa. Hanya bunyi-bunyi yang berbentuk ujaran saja yang disebut bahasa.
Bahasa itu bermakna, berarti bahasa sebagai sistem lambang yang berwujud bunyi atau bunyi ujar. Apakah yang dilambangkan berwujud bunyi tersebut? Yang dilambangkan adalah suatu pengertian konsep, ide atau gagasan. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa bahasa memiliki makna.
Contoh:
Lambang berwujud, [bunga] lambang ini mengacu pada konsep hasil tumbuh-tumbuhan yang memiliki aroma atau warna serta bentuk yang menarik.
Lambang berwujud bunyi, [menara] mengacu pada bangunan tinggi. Sehingga lambang bunyi bahasa dapat bersifat konkret di alam nyata seperti bunga dan menara. Namun juga ada yang bersifat tidak konkret, seperti konsep adil, damai, sejahtera. Karena bahasa mempunyai makna, maka setiap ucapan tanpa makna tidak dapat dianggap sebagai bahasa..
Bahasa itu konvesional, berarti kesepakatan atau perjanjian, atau suatu konsep tertentu berdasarkan kesepakatan antara masyarakat pemakai bahasa.
Contoh:
Bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal opsional [manasuka] dilambangkan dengan bunyi [rumah]. Seluruh anggota masyarakat yang menggunakan bahasa ini harus mematuhinya. Jika ada yang melanggar konvensi ini dengan menggantinya dengan simbol bunyi lain, seperti [mahru], maka komunikasi akan terhambat. Meski lambang bunyi  yang diwakilinya sembarangan, namun penggunaannya masih konvensional.