Mohon tunggu...
Feira Lovia Hasibuan
Feira Lovia Hasibuan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Halo, saya Feira Lovia Hasibuan, seorang mahasiswi aktif Program Studi Sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Saya memiliki minat besar di bidang publik karena saya merasa bidang ini sangat selaras dengan kepribadian dan potensi diri saya. Dengan kemampuan berpikir analitis yang kuat, saya menikmati proses menganalisis berbagai permasalahan sosial dan menuangkannya dalam tulisan. Sejak memasuki dunia perkuliahan, saya semakin menyadari ketertarikan saya pada dunia kepenulisan. Saya aktif mengikuti berbagai kompetisi menulis, seperti esai, jurnal, karya tulis ilmiah, dan paper. Pengalaman ini tidak hanya mengasah kemampuan berpikir kritis saya, tetapi juga memperkuat kemampuan saya dalam menyampaikan gagasan secara terstruktur dan mendalam. Saya percaya bahwa melalui tulisan, saya dapat memberikan kontribusi nyata dalam menghadirkan solusi bagi berbagai isu sosial di masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menggerakkan Perdamaian: Kontribusi Generasi Z untuk Menyongsong Masa Depan Aceh yang Lebih Cerah

26 Desember 2024   14:31 Diperbarui: 26 Desember 2024   14:31 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

"Masa depan Aceh ada di tangan kita. Jadilah generasi yang menanam perdamaian dan menuai kesejahteraan."

Konflik merupakan bahasa latin "configere"yang artinya saling memukul. Dari sudut pandang sosiologi, konflik dapat diartikan sebagai suatu fenomena sosial antara dua orang atau lebih. Di mana salah satu orang berusaha ingin menyingkirkan orang lain dengan menghancurkannya. Konflik ini sering kali berubah menjadi penyimpangan social, bahkan sampai melakukan kekerasan terutama terhadap upaya-upaya penyelesaian konflik yang tidak terlaksanakan dengan sungguh-sungguh oleh pihak yang berkaitan. Konflik social merupakan suatu fenomena permasalahan yang tiada pernah habis dari kehidupan manusia. Konflik selalu muncul dalam konteks individual maupun kelompok. Dalam konteks individual konflik terjadi sebagai pertentangan antara hati nurani dan pikiran  sendiri dalam diri setiap manusia. Sedangkan konflik lainnya dapat diartikan sebagai pertentangan antara individu dengan individu lainnya, atau kelompok dengan kelompok lain secara berhadapan dalam mempertahankan kepentingan masing-masing.

Konflik yang telah terjadi di aceh tidak hanya disebabkan oleh pertentangan antara kelompok politik kaum agamis dan kelompok non- agamis. Akan tetapi karena adanya perasaan masyarakat aceh yang terlanjur kecewa terhadap pemerintahan pusat yang tidak memiliki perhatian kepada mereka. Sehingga banyak dari masyarakat aceh yang mengalami kemiskinan.. (Nurpratiwi et al., 2019) menjelaskan bahwa pemerintah pusat yang tidak menanggapi kekacewaan rakyat Aceh menyebabkan terjadinya pemberontakan mulai dari DI/TII yang dipimpin oleh Daud Beureuh dan GAM yang di pimpin oleh Hasan Tiro. Pemberontakan DI/TII yang dipimpin oleh Daud Beureueh pada tahun 1950-an merupakan salah satu awal mula terjadinya perlawanan rakyat Aceh terhadap kebijakan sentralisasi pemerintah pusat. Gerakan ini muncul sebagai respons atas tercabutnya status Aceh sebagai daerah istimewa yang sebelumnya diberikan oleh Presiden Soekarno, hal tersebut menyebabkan masyarakat aceh menganggap bahwa pemerintah pusat telah mengkhianati kepercayaan mereka. Konflik ini pernah meredam melalui pedekatan militer dan diplomasi, namun masyarakat aceh masih tidak puas terhadap pengelolaan sumber daya dan ketidakseimbangan pembangunan yang ada pada daerah mereka sehingga konflik ini muncul kembali.

Pada tahun 1970-an, rasa ketidakadilan semakin memuncak ketika pemerintah pusat mengelola ladang gas alam di Arun, Lhokseumawe, tanpa memberikan manfaat signifikan bagi masyarakat Aceh. Hal ini mendorong munculnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 1976, dipimpin oleh Hasan Tiro, yang menuntut kemerdekaan Aceh dari Republik Indonesia. GAM menganggap eksploitasi sumber daya Aceh sebagai bentuk penjajahan ekonomi, sementara masyarakat Aceh tetap berada dalam kemiskinan. Pemerintah pusat merespons dengan tindakan represif, termasuk penetapan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) pada tahun 1989, yang menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia secara besar-besaran.

Kekerasan berkepanjangan antara pemerintah dan GAM tidak hanya memperburuk kondisi sosial-ekonomi Aceh tetapi juga meninggalkan  trauma yang sangat mendalam bagi masyarakat Aceh. Ketegangan ini akhirnya mereda pada saat pasca tsunami tahun 2004, yang menghancurkan sebagian besar wilayah Aceh. Bencana besar ini mendorong kedua pihak untuk menyepakati Perjanjian Damai Helsinki pada tahun 2005, memberikan Aceh otonomi khusus serta peluang untuk mengelola sumber daya alamnya sendiri. Namun, meski perdamaian telah tercapai, jejak konflik tetap menjadi tantangan dalam membangun kembali Aceh yang lebih adil dan sejahtera. Namun, perdamaian yang tercapai melalui Perjanjian Helsinki pada tahun 2005 menjadi tonggak penting bagi Aceh untuk membuka lembaran baru. Perjanjian ini tidak hanya mengakhiri konflik bersenjata, tetapi juga menjadi landasan bagi perubahan sosial, ekonomi, dan politik di wilayah tersebut. Masyarakat Aceh, yang selama bertahun-tahun hidup dalam ketidakpastian, kini berupaya membangun kembali daerah mereka dengan penuh harapan. Dalam suasana yang lebih damai, generasi muda Aceh memiliki kesempatan untuk mengatasi warisan masa lalu dan berkontribusi pada terciptanya masa depan yang lebih adil dan sejahtera.

Setelah kita memahami konflik yang pernah terjadi di Aceh, hal yang tidak kalah penting adalah memastikan bahwa konflik serupa tidak akan terulang dimasa depan. Salah satu cara untuk mewujudkannya adalah dengan memanfaatkan kontribusi Generasi Z. Sebagai generasi yang lahir dan tumbuh di era digital serta  pada saat pasca-konflik, Generasi Z memiliki potensi yang sangat besar untuk mendorong perdamaian. Melalui pemanfaatan teknologi, semangat berinovasi, dan kesadaran akan pentingnya demokrasi. Generasi Z memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas sosial, mendorong pembangunan inklusif, dan menciptakan masa depan Aceh yang lebih harmonis dan sejahtera.

Perdamaian merupakan fondasi utama bagi terciptanya masa depan Aceh yang stabil dan cerah. Menurut (Kawuryan, 2013) Perdamaian adalah perilaku saling menghargai yang menciptakan suasana damai di antara seluruh kelompok masyarakat, serta menerapkan prinsip kesetaraan dan non-diskriminasi dalam kebijakan administrasi dan  juga dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mewujudkan perdamaian ini, kontribusi Generasi Z sangat diperlukan. Dengan terciptanya perdamaian, pembangunan ekonomi, sosial, dan budaya sehingga menciptakan lingkungan yang mendukung  kesejahteraan masyarakat Aceh. Generasi Z, dengan kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap teknologi, memiliki peran kunci dalam mendorong perubahan yang positif dan membangun masa depan yang lebih baik untuk Aceh. Melalui upaya bersama dan komitmen generasi z  terhadap perdamaian, Aceh dapat membangun masa depan ]yang tidak hanya stabil tetapi juga penuh peluang untuk kemajuan yang berkelanjutan.

Generasi Z memiliki peran yang sangat penting dalam membangun masa depan Aceh. Mereka tumbuh di era teknologi dan informasi, memiliki berbagai keunggulan dalam memahami dan menggerakkan perubahan melalui teknologi. Mereka adalah generasi yang sangat terbuka terhadap gagasan-gagasan baru dan memiliki kemampuan komunikasi serta kolaborasi yang tinggi. Dengan akses mudah terhadap informasi, Generasi Z di Aceh memiliki kesempatan besar untuk memahami isu-isu perdamaian, hak asasi manusia, dan pembangunan yang berkelanjutan, yang semuanya dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat Aceh.

Salah satu kontribusi utama Generasi Z dalam mendukung perdamaian Aceh adalah melalui partisipasi aktif dalam organisasi pemuda dan mengikuti kegiatan sosial. Dengan memanfaatkan teknologi yang ada, gen-z mampu membangun jejaring dan juga relasi yang sangat luas. Mereka dapat menyuarakan pentingnya perdamaian dan stabilitas kemajuan Aceh. Partisipasi ini menciptakan ruang aspirasi bagi generasi muda untuk saling berbagi pandangan, mengidentifikasi masalah, dan merumuskan solusi yang sesuai dengan permasalahan yang ada. Contohnya adalah kegiatan volunteer yang melibatkan generasi muda untuk mengajar di desa-desa terpencil, yang tidak hanya membantu meningkatkan literasi dan akses pendidikan bagi anak-anak, tetapi juga menanamkan nilai-nilai toleransi dan moral sejak dini.

Selain itu, Generasi Z dapat memanfaatkan kemajuan teknologi untuk menyebarkan pesan-pesan positif mengenai perdamaian. Platform media sosial seperti Instagram, dan Twitter yang telah menjadi wadah efektif bagi mereka untuk memperkenalkan  keindahan alam dan budaya Aceh, mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga perdamaian, serta memberikan inspirasi kepada generasi muda lainnya. Media online yang kreatif dan menarik mampu menarik perhatian seluruh masyarakat, baik di Indonesia maupun internasional, dan meningkatkan citra Aceh sebagai daerah yang damai dan ramah.

Generasi Z memainkan peran yang sangat penting dalam menjaga perdamaian di Aceh, dengan kontribusi mereka yang efektif dan nyata di berbagai bidang. Salah satu contohnya adalah keterlibatan mereka dalam kegiatan seperti pemilihan Agam Inong Aceh. Melalui kegiatan ini, generasi muda Aceh tidak hanya menunjukkan kemampuan dan bakat mereka, tetapi juga menjadi duta budaya dan perdamaian yang memperkuat citra positif Aceh. Dengan memanfaatkan kreativitas dan pemahaman mereka terhadap teknologi serta media sosial, mereka berhasil meningkatkan branding Aceh, mempromosikan keindahan budaya, serta pemahaman masyarakat mengenai sejarahnya. Selain itu, mereka juga berperan dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga identitas, keberagaman, dan keharmonisan di Aceh, sehingga tercipta lingkungan yang kondusif bagi kemajuan daerah secara keseluruhan. Dengan akses yang luas terhadap teknologi informasi dan komunikasi, mereka dapat mengatasi kesenjangan informasi dan memperluas jangkauan pemikiran kritis di kalangan masyarakat. Media sosial dan platform digital memberikan mereka alat untuk menyebarkan pesan-pesan perdamaian, menyampaikan suara masyarakat, dan berpartisipasi dalam diskusi yang konstruktif mengenai isu-isu sosial dan politik. Potensi Generasi Z untuk membawa perubahan juga terletak pada kemampuan mereka untuk berpikir kreatif dan inovatif.. Dengan peran aktif dan kontribusi nyata dari Generasi Z, Aceh dapat mewujudkan visi masa depan yang lebih baik dan harmonis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun