Di era modern ini, budaya instan semakin merajalela, membawa dampak yang tidak bisa dianggap remeh. Keinginan mendapatkan hasil secara cepat tanpa melalui proses yang benar telah menggeser nilai-nilai penting dalam kehidupan. Sayangnya, budaya ini tidak hanya mengubah cara berpikir, tetapi juga merusak moralitas, baik secara individu maupun sosial.
Salah satu contoh nyata adalah keinginan cepat kaya tanpa usaha yang benar. Banyak orang tergoda dengan investasi bodong, judi online, atau skema piramida yang menjanjikan keuntungan besar dalam waktu singkat. Hal ini tidak hanya melanggar nilai kejujuran, tetapi juga mengikis etos kerja keras dan tanggung jawab yang seharusnya ditanamkan sejak dini.
Selain itu, budaya flexing di media sosial turut menyumbang kerusakan. Pamer kekayaan atau gaya hidup mewah yang tidak realistis mendorong orang lain untuk mengejar status sosial secara instan, meskipun dengan cara yang salah, seperti berhutang atau memanipulasi data hanya demi terlihat memukau di mata manusia. Hal ini menciptakan ilusi kebahagiaan semu yang justru memperparah ketimpangan sosial.
Budaya instan juga terlihat dalam cara orang mencari popularitas. Banyak individu yang rela melakukan hal-hal ekstrem, seperti prank berlebihan, menyebarkan hoaks, atau membuat konten vulgar demi mendapat atensi dan follower. Tren ini mengikis nilai kesopanan dan memicu perilaku tidak bermoral yang berisiko ditiru oleh generasi muda.
Tidak hanya itu, pola konsumtif yang berlebihan juga merupakan efek dari budaya instan. Kebiasaan membeli barang secara impulsif karena promo atau tren, membuat banyak orang terjebak dalam gaya hidup boros. Padahal, tanggung jawab finansial sangat penting untuk membangun kestabilan hidup.
Di bidang pendidikan, budaya instan terlihat dalam tindakan plagiarisme atau sekadar mengandalkan jawaban instan dari internet tanpa memahami konsepnya. Ini tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga menghilangkan integritas dan semangat belajar yang seharusnya menjadi landasan pendidikan.
Bahkan dalam hubungan asmara, budaya instan sering kali menyebabkan hubungan yang dangkal dan toxic. Banyak anak muda yang menjalin hubungan hanya berdasarkan tren atau daya tarik fisik tanpa pemahaman mendalam. Akibatnya, hubungan mudah rusak, menimbulkan luka emosional, bahkan pelanggaran nilai moral dan agama.
Budaya instan ini, jika dibiarkan, dapat menjadi ancaman serius bagi generasi. Oleh karena itu, penting untuk menanamkan kembali nilai-nilai moral, seperti kerja keras, kejujuran, kesopanan, dan tanggung jawab. Kontrol atas penggunaan teknologi harus berada di tangan kita, bukan sebaliknya. Jangan biarkan teknologi dan budaya instan mendikte hidup kita atau generasi penerus kita. Jika kita tidak menyadari dan memperbaiki keadaan ini sekarang, kapan lagi? Mari kita bersama membangun masa depan yang lebih bermakna dengan mengutamakan proses, bukan hasil yang instan. Dan hiduplah bahagia dengan apa adanya, bukan dengan berpura-pura. Kebahagiaan sejati itu hadir dalam hati, bukan sekedar validasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H