Dewasa ini, generasi Z (kelahiran 1997 - 2012) mendominasi komposisi penduduk di Indonesia dengan berjumlah hampir 30% dari keseluruhan penduduk. Hal tersebut mempengaruhi berbagai aspek kehidupan. Tidak terelakan aspek kebangsaan.
Jika ditarik dengan pendekatan family tree, mayoritas generasi Z di Indonesia merupakan garis keturunan (inventaris) ke-dua dan ke-tiga dari para pelaku sejarah kemerdekaan Republik Indonesia. Budaya folks (cerita turun-temurun) mendeterminasi kisah heroik kakek/nenek bagi generasi Z.
Perjuangan kemerdekaan Indonesia memang tidak diraih dengan mudah. Bertumpah ruah darah para pejuang dan hilir-mudik bui bagi para intelektual di zaman tersebut. Secara fisik dan diplomasi, kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan republik ini diraih dengan susah payah.
Catatan sejarah tersebut memang tidak bisa dilenyapkan. Baik bagi para pejuang yang turun tangan angkat senjata maupun para pejuang yang bergeriliya secara diplomatis dan akademik, mereka adalah pahlawan bangsa ini. Namun, bagaimana pun juga kita tidak bisa terjebak dalam glorifikasi bahwa sikap nasionalisme (kebangsaan) diukur dari kisah lampau tersebut—militeristik dan eksklusifitas ajaran nasionalisme.
Hasil dari riset penulis, terdapat dua opini populer terkait sosok yang menjadi patron nasionalisme di Indonesia. Presiden pertama sekaligus pendiri Republik Indonesia, Soekarno, dan suksesornya di pemerintahan, Soeharto.
Soekarno identik dengan paradigma nasionalisme. Tidak dipungkiri, buku bertajuk Di Bawah Bendera Revolusi adalah salah satu karya terbaik yang menyoal terkait pemikiran nasionalisme di Indonesia. Jasanya dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara pun juga menjadi bukti konkret bahwasanya Soekarno adalah sosok pencetus nasionalisme gaya Indonesia. Ajaran nasionalisme dari Soekarno pun mengakar di tatanan masyarakat Indonesia hingga hari ini. Setali tiga uang, pasca kekuasaan orde lama, Soeharto turut berandil dalam mengembangkan pemahaman nasionalisme di Indonesia. Soeharto beserta faksi ABRI-nya, mewarnai nasionalisme gaya Indonesia dengan sentuhan militeristik. Panduan tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (disingkat P4) resmi terbit dari pemerintah sebagai 'pengembangan' nasionalisme di Indonesia. Namun, apakah masih relevan jika di tengah hingar-bingar generasi Z—yang identik akan digitalisasi dan keluwesan bergaul—dengan nasionalisme ajaran Soekarno atau nasionalisme-militeristik versi Soeharto?
Setiap zaman memiliki tantangannya masing-masing. Republik Indonesia yang kini berusia 78 tahun sudah mengalami berbagai tantangan yang silih berganti. Pergantian rezim memiliki persoalannnya tersendiri. Mempertahankan kemerdekaan, perang dingin Blok Barat dan Blok Timur, krisis ekonomi dunia, gencarnya terorisme, wabah penyakit, dan yang terkini digitalisasi. Digitalisasi telah mendorong transformasi di berbagai bidang, menjadikan dunia tanpa batas, dan menciptakan karakter baru dalam kehidupan sosial.
Bagi generasi Z, terdapat banyak variabel baru dalam kehidupan sosial yang belum dibahas secara luas oleh nasionalisme ajaran Soekarno dan cenderung bertentangan dengan nasionalisme-militeristik versi Soeharto. Alhasil, kedua doktrin nasionalisme tersebut tidak relevan dan dianut oleh kebanyak Gen Z. Contoh kecilnya, mungkin tidak akan ada ticket war Coldplay apabila Gen Z masih berpegang teguh dengan ajaran nasionalimse Soekarno, pun tidak akan ada thread kritik terhadap kinerja pemerintah yang viral di platform Twitter apabila Gen Z berpegang teguh dengan ajaran nasionalisme-militeristik versi Soeharto.
Jika perilaku kehidupan sosial Gen Z ditinjau lebih dalam, akan semakin terlihat kompleksitas relasi antara perilaku sosial Gen Z dengan paham nasionalimse yang sudah ada dan berkembang di Indonesia. Menyikapi perkembangan zaman dan kompleksitas Gen Z, penulis berpendapat diperlukannya suatu rumusan nasionalisme baru yang relevan dan modern.
Nasionalisme baru bukanlah barang baru di Indonesia. Diketahui terdapat dua politisi populer yang sudah membicarakannya, yakni Aburizal Bakrie dan KH. Maruf Amin. Aburizal Bakrie (Mantan Menko Kesra & Mantan Ketua Umum Partai Golkar) sudah membahas nasionalisme baru dalam blue print-nya yang bertajuk "Visi Indonesia 2045: Negara Kesejahteraan". Meskipun dalam pemikiran yang dipublikasikan tahun 2013 tersebut, ia lebih banyak membahas ekonomi dan minim pembahasan soal nasionalisme baru.
Wakil Presiden RI, KH. Maruf Amin, juga telah memaparkan pemikiran nasionalisme baru pada tahun 2020 lalu dalam kuliah umum yang diselenggarakan Lemhanas. Ia menjelaskan terkait nasionalisme baru dalam konteks globalisasi, yakni menitikberatkan pada sumber daya manusia di mana membutuhkan tiga variasi baru dalam nasionalisme. Tiga variasi baru dalam nasionalisme modern tersebut adalah kompetisi, kreatif, dan open minded.