Mohon tunggu...
R. Fefatahillah
R. Fefatahillah Mohon Tunggu... Penulis - Aktivis Belajar Menulis.

yang sulit didapat, yang rumit dilipat.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kesepakatan Bersama di Bulan Pancasila

15 Juni 2023   15:15 Diperbarui: 15 Juni 2023   15:33 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Bagaimana mungkin? Para negarawan, politisi, pejabat teras, hingga akademisi sekalipun dapat membumikan Pancasila—jika masih ada konflik kepentingan atas nama Pancasila. Bagaimana mungkin? Masyarakat Indonesia mampu memahami dan menerapkan Pancasila jika masih ada keraguan serta kecurigaan terhadap Pancasila itu sendiri. Bagaimana mungkin? Pemuda Indonesia dapat melestarikan nilai-nilai Pancasila jika mengamalkannya pun tak pernah.

Pancasila bukanlah ideologi tunggal yang berdiri sendiri, melainkan ia merupakan kesepakatan bersama yang bertujuan untuk kemaslahatan. Namun, bukan berarti Pancasila itu ideologi lemah yang berdiri tanpa kepastian dan kemantapan. Ir. Soekarno sebagai pencetus Pancasila pernah mengatakan bahwa Pancasila digali dari bumi Nusantara itu sendiri. Pancasila bukan hasil adopsi sosialisme, bukan pula liberalisme atau pan-islamisme. Namun, hakikatnya ketiga ideologi besar dunia tersebut terkandung dalam Pancasila.

Meskipun Pancasila digali secara otentik dari bumi Nusantara, bukan pula berarti Pancasila datangnya dari dongeng nenek moyang semata. Pancasila lahir dengan disidik melalui pisau analisa materialisme historis yang ilmiah. Pancasila lahir dari perkawinan antara akal dan hati bangsa ini.

Jelang Pesta Demokrasi, ramai kisruh keraguan atas nasionalisme para kandidat, di mana sesama anak bangsa saling menaruh curiga hingga menciptakan ruang diskusi klise. Pancasila kembali dibenturkan dengan agama. Penulis harus mengatakan ini meskipun terasa berat, pada hari ini ancaman terbesar bagi kaum muda bukanlah ancaman kesehatan ataupun ancaman ekonomi. Melainkan ancaman kebudayaan. Bahkan bukan hanya bagi kaum muda di Indonesia, krisis identitas adalah ancaman nyata bagi kaum muda di berbagai belahan dunia. Di era globalisasi, di mana dunia berkembang tanpa batas yang jelas. Pada akhirnya stabilitas politik ataupun ekonomi yang maju saja tidak cukup untuk menghindari ancaman ini.

Ancaman kebudayaan hanya bisa dicegah dengan akulturasi kebudayaan yang tepat. Karena sekali lagi saya tekankan bahwa Pancasila merupakan kesepakatan bersama. Pancasila tidak lahir dari rumah-rumah mewah. Pancasila tidak lahir dari gedung-gedung tinggi. Pancasila lahir dari rumah gubuk di desa-desa. Pancasila lahir dari pesantren kampung di tengah sawah. Dari kelahiran itu Pancasila dapat tumbuh dan membangun negeri ini hingga begitu modern hari ini—tanpa menghilangkan sawah, desa, dan pondok pesantren. 

Itulah hakikat dari Pancasila sebagai produk budaya bangsa ini di mana petani, buruh, nelayan, pengusaha, pegawai, pejabat, serta berbagai profesi lain dapat duduk bersama dan membicarakan jawaban atas persoalan-persoalan hajat hidup orang banyak.

Bapak antropologi dunia, Clifford Geerz, dalam penelitiannya yang berjudul The History of Java menyebutkan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari tiga unsur. Yaitu priyai, abangan, dan santri. Pada dewasa ini, barangkali priyai dapat dikategorikan sebagai kalangan nasionalis. Abangan dapat dikategorikan sebagai kalangan kelas pekerja. Santri dapat dikategorikan sebagai kalangan agamis. Penelitian yang rampung tahun 1960 ini—sudah lebih dulu ditemukan solusinya oleh Ir. Soekarno puluhan tahun sebelumnya. Solusi itu ialah Pancasila yang diproduksi secara orisinil oleh kebudayaan bangsa ini.

Maka tugas kita sekalian sebagai pemuda Indonesia bukanlah mencari pengganti Pancasila. Melainkan merawat kesepakatan ini dengan cara kita masing-masing, dengan aplikasi kita masing-masing, sesuai kemampuan masing-masing. Yang nasionalis, jadilah nasionalis yang berlandaskan kemanusiaan karena asas kebangsaan kita adalah kebangsaan yang berdasarkan rasa cinta terhadap kemanusiaan dan memerangi penindasan. Yang kelas pekerja, jadilah kelas pekerja yang berlandaskan soliditas karena gotong-royong adalah pucuk utama bangsa ini. Yang agamis jadilah agamis yang toleransi karena masuknya agama ke negeri ini melalui cara-cara yang damai. 

Sebagai penutup, saya kembali mengingatkan bahwa Pancasila adalah kesepakatan bersama, Pancasila adalah perjanjian agung, perjanjian besar—bukan hasil kesepakatan satu-dua orang.

Penulis yakin Tuhan tidak menyukai hamba-Nya yang ingkar janji. Maka barangsiapa mengingkari Pancasila sebagai kesepakatan bersama—maka ia sedang mengingkari hal-hal besar di luar kemampuannya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun