Jika masyarakat mancanegara diajukan pertanyaan, "apa yang kalian ketahui tentang Indonesia?", terdapat dua jawaban yang mendominasi. Yakni Pulau Bali dan Candi Borobudur. Pulau Bali dikenal masyarakat internasional sebagai destinasi wisata yang menawarkan pantai-pantai cantik untuk berjemur dan arus ombak bersahabat untuk surfing. Sedangkan, Candi Borobudur---sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia---dikenal sebagai destinasi wisata kebudayaan dan wisata religi oleh penganut ajaran Budha. Jika negara ini didirikan di atas hamparan alam yang indah dan mewarisi kebudayaan yang kaya atas rahmat serta karunia Tuhan Semesta Alam, mengapa kita kerap menyangsikannya?
Kembali ke satu abad silam, tepatnya pada tahun 1926. Komunitas ulama dan kyai tradisionalis dari Hindia Belanda membentuk Komite Hijaz---yang kelak menjadi Nahdlatul Ulama---untuk didelegasikan ke Hijaz dalam rangka membahas rencana Kilafah Hijaz saat itu yang hendak meruntuhkan makam-makam Nabi Allah di Kawasan Bait Allah, Ka'bah. Rencana yang digagas oleh rezim Tanah Hijaz didasari pada ajaran yang mereka yakini bahwasanya para peziarah yang berdoa di makam-makam para Nabi Allah termasuk dalam bid'ah dan tidak dibenarkan bagi keyakinan mereka. Delgasi Komite Hijaz diamanahkan oleh para kyai tradisionalis untuk menentang rencana Kilafah Hijaz, dan mereka pun berhasil. Hingga hari ini, makam-makam Nabi Allah masih berdiri kokoh dan menjadi destinasi wisata religi dan spiritual masyarakat Islam di dunia.
Peran Nahdlatul Ulama dalam kilas balik perjuangannya mempertahankan destinasi wisata religi (spiritual) di level internasional tentunya mengilhami penulis untuk mengajukan sebuah diskursus sebagaimana tertera dalam judul, "Tak Perlu Kejar Negara Indsutri, DNA Kita Seni Budaya". Indonesia memiliki beragam warisan kebudayaan yang dikemas dalam situs-situs peninggalan bersejarah lintas agama, suku, dan peradaban. Permasalahan hari ini, banyak dari situs-situs tersebut belum dimanfaatkan dengan baik dan bijak sehingga dampak kebermanfaatannya tidak terasa bagi banyak kalangan. Di sini, peran masyarakat dan pemerintah sangat diperlukan untuk pemberdayaan warisan kebudayaan tersebut. Karena tidak bisa dipungkiri, warisan kebudayaan yang menempati suatu situs erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi masyarakat setempat. Sistem 4P (Public-Private-People-Partnership) merupakan salah satu langkah terbaik untuk memajukan pariwisata dan ekonomi kreatif dewasa ini.
Seperti halnya di Pulau Dewata, Bali. Ritual keagamaan Ogoh-Ogoh selalu menyedot perhatian wisatawan lokal maupun internasional sehingga meningkatkan ekonomi multi-sektor---akomodasi, kuliner, souvenir, transportasi---di Bali jelang perayaan Hari Raya Nyepi. Tidak hanya di Bali, Petilasan Prabu Siliwangi di Cilimus, pemandian Umbul Pengging di Boyolali, dan masih banyak kawasan wisata religi di Indonesia memiliki dampat signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakatnya. Tentunya di tengah 'badai' krisis ekonomi yang sedang mengguncang dunia, peralihan tenaga kerja manusia yang kian tergantikan oleh mesin, dan tingginya angka kelahiran di Indonesia menjadi alasan bagi penulis untuk kembali bertanya, "Apakah kita masih sanggup untuk menjadi negara industri?".
Mengungkap permasalahan pariwisata dan ekonomi tidaklah cukup ditulis dalam selembar artikel. Penulis memiliki banyak kekurangan untuk hal tesebut. Namun, pokok pikiran dalam artikel ini sudah dihitung, dirancang, dan digagas secara matang. Terkait potensi situs-situs kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa ini untuk kebermanfaatan masyarakat secara luas. Masyarakat kita harus siap berpikir realistis dan mengakui, bahwa darah yang mengaliri tubuh kita adalah darah para seniman yang memahat candi, kijing, dan pura. Bukan semata darah budak yang bertertesan dipekerjakan untuk membangun suatu monumen.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H