Entah apa mau dikata. Si gila hanya bisa bersandiwara dengan tawa dan canda seakan tidak ada satupun perisiwa yang membuatnya bersusah hati. Tentu saja itu bohong. Dan kebohongan serupa juga seringkali dilakukannya demi hangatnya kebersamaan dengan rekan-rekan seperjuangannya. Ya..., si gila memang selalu berusaha untuk mejaga setiap tawa yang ada di bibir kawan-kawannya. Tidak pernah sedetikpun si gila rela melihat bibir mereka manyun meskipun sesenti saja. Tapi semua itu ada harganya. Harga yang mahal mengingat si gila sendiri sebenarnya bukan orang yang pintar menyimpan rahasia.
Si gila terbiasa menceritakan setiap keluh kesahnya pada mereka, namun kali ini semua itu harus ditahannya di dasar hati yang paling dalam. Di simpannya rapat-rapat agar penyakit duka dan kesedihan yang mematikan semangat tidak mewabah di antara mereka. Agar kegaduhan tawa mereka tidak berganti derai air mata yang memilukan. Sekali lagi, saat ini si gila tengah berdusta. Berdusta pada mereka... berdusta pada dirinya.
Namun tidak seperti biasanya, kali ini rupanya si gila tidak pandai menjaga rahasianya. Tawa canda yang coba ia tebarkan justru dengan jelas menunjukkan kegalauan hatinya. Dan bodohnya, ia sendiri tidak menyadari ketika air mata tengah mengalir perlahan di saat ia menyunggingkan senyum di bibirnya. Hahaha... Rupanya hatinya jauh lebih pandai mengungkapkan perasaan dibanding raganya. Ketika semua mata kawan-kawannya tertuju padanya dengan sebuah tanda tanya, si gila justru semakin galau. Ia sadar tak ada lagi yang bisa disembunyikan, namun ada rasa bersalah yang mulai menelusup masuk ke dalam seluruh nadinya. Rasa bersalah karna kini ia telah menularkan penyakit itu kepada mereka.
Sebuah pelukan diterima si gila. Seorang kawan yang mengerti kegundahannya tidak lagi perlu berpikir panjang, tidak perlu bertanya macam-macam apa yang tengah terjadi. Hanya pelukan. Hanya pelukan. Dan ia segera memberikan pelukannya. Pelukan yang terasa hangat mendekap erat tubuh mungil si gila.Pelukan yang seakan mau mengatakan "Menangislah karna aku ada untuk mendengar tangisanmu". Seketika juga derai air mata yang tertahan berubah menjadi isakan yang terdengar memilukan. Si gila terisak. Sedih tak karuan.
Benar saja. Penyakit mematikan itu kini menjangkiti setiap hati yang berada di dekat si gila. Tak satupun dari mereka yang tidak bungkam dan menatap si giLa dengan iba. Bahkan beberapa dari mereka ikut berbagi air mata dengan bumi. Ya... duka dan kesedihan itu bukan lagi milik si giLa seorang, tapi telah menginfeksi sahabat-sahabatnya.... Dan setelahnya, si giLa tersenyum puas dan lega.
Apa yang terjadi sesungguhnya? Apakah ini aksi giLa si giLa atau sebuah bukti dari teori-teori psikologi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H