Mohon tunggu...
Feby Vitalene
Feby Vitalene Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hai, saya seorang Mahasiswi Pariwisata di Universitas Gadjah Mada

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Between Two Gates: Menelusuri Jejak Sejarah Kotagede

9 Oktober 2024   13:05 Diperbarui: 9 Oktober 2024   13:07 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Between Two Gates. Sumber : Dokumentasi Pribadi

Between Two Gates atau Lawang Pethuk merepresentasikan sejarah dan budaya pada masa Kerajaan Mataram. Lokasi tersebut berada di Kampung Alun-Alun, Kelurahan Purbaya, Kotagede. Istilah nama tempat ini dikenalkan pada tahun 1986 oleh tim peneliti arsitektur UGM. Aura budaya Jawa sangat melekat di lingkungan permukiman yang menjadi salah satu cagar budaya ini. Ketika memasuki gang bernama rukunan ini tampak indah rumah-rumah joglo khas Jawa. Rumah tersebut masih berdiri kokoh di tengah arus modernisasi. Hening, tenang, sunyi itulah gambaran saat menyusuri rumah-rumah di sini. Pengunjung yang datang seakan-akan dibawa ke lorong waktu pada masa Kerajaan Mataram.

Dalam kawasan Between Two Gates terbagi menjadi beberapa zona ruang. Pembagian ini meliputi tiga kategori ruang meliputi publik, semi-publik, dan privat. Ruang publik dapat dilewati oleh siapa pun seperti lorong dan jalan depan rumah-rumah. Ruang semi-publik diartikan sebagai ruang yang hanya dapat diakses oleh orang tertentu saja seperti teras. Sedangkan ruang privat mencakup area yang berisikan privasi sehingga hanya anggota keluarga saja yang boleh memasukinya. Pembagian zona ruang ini tidak hanya berfungsi secara fungsional, tetapi juga memperkuat identitas budaya lokal, menciptakan keseimbangan antara kehidupan sosial dan pribadi, serta menunjukkan bagaimana masyarakat Kotagede menjaga tradisi dengan tetap beradaptasi dengan kebutuhan modern.

Pemukiman di sebuah gang bernama Gang Rukunan ini rumah-rumahnya memiliki estetika di setiap sudutnya. Dalam kawasan tersebut terdapat sembilan deret rumah yang memiliki tata ruang rumah tradisional Jawa. Beberapa rumah di sana masih mempertahankan tata ruang tradisional yang terdiri dari pendapa di sisi selatan dan di sisi utara terdapat pringgitan, gandhok, dan senthong. Ciri khas dari tradisional Kotagede yang dijumpai di kampung ini yaitu bahu dhanyang. Arsitektur itu berupa konstruksi penyangga tritisan berbentuk menyerupai lengan atas manusia. Selain itu, terdapat tadhah alas yaitu tempat duduk permanen yang biasanya berada di depan runah sebagai ruang untuk bercengkrama. Bangunan di pemukiman ini tidak mengalami perubahan sejak awal dibangun. Masyarakat setempat berusaha mempertahankan fisik bangunan yang akan diwariskan turun-temurun.

Rumah-rumah sebagai Warisan Budaya. Sumber : Dokumentasi Pribadi
Rumah-rumah sebagai Warisan Budaya. Sumber : Dokumentasi Pribadi

Tata letak rumah yang saling berderetan juga mencirikan bangunan di area Between Two Gates. Letaknya yang berdekatan tidak memicu perselisihan antar tetangga. Bahkan justru saling merekatkan komunikasi yang terjalin antara satu sama lain semakin rukun. Sistem kekerabatan tersebut dibangun melalui nilai-nilai budaya yang dijunjung oleh masyarakat. Nilai-nilai budaya di sana terasa sangat kuat, terlihat dari interaksi yang terjalin dengan hangat. Sapaan ramah dan senyuman tulus nampak menyenangkan ketika saya bertegur sapa dengan masyarakat setempat. Hal-hal inilah yang menjadikan kawasan Between Two Gates bukan hanya sekadar tempat tinggal, tetapi juga kebersamaan dan kerukunan di dalamnya. Selain itu, masyarakat sangat menjaga adab di lingkungan dengan mematikan mesin motor saat melintasi gang ini. Aturan tersebut demi menjaga ketenangan perkampungan dari suara kebisingan kendaraan bermotor dan mengedepankan sopan santun. Kebersihan lingkungan di sekitar rumah warga juga membuat saya kagum karena tidak adanya sampah berserakan baik plastik maupun daun-daun kering. Hal itu disebabkan oleh tempat sampah yang memadai di setiap depan rumah.

Ketika memasuki lorong yang memperlihatkan rumah-rumah yang kental akan budayanya ini, saya merasa terhanyut akan suasana yang disuguhkan. Beberapa orang terlihat berfoto untuk mengabadikan momen dengan latar belakang yang estetik. Terdapat juga sepasang kekasih yang terlihat sedang melakukan sesi pemotretran untuk prewedding. Mereka nampak dengan gagah dan anggun menggunakan pakaian adat Jawa yang menyatu dengan nuansa perkampungan ini. Suara canda tawa dan perbincangan ringan mengiringi langkah saya sembari mengelilingi satu demi satu rumah yang ada. Hingga berhentilah saya pada sebuah rumah yang menjual makanan dan minuman. Meskipun terkesan tradisional, toko tersebut sudah terdigitalisasi dengan menyediakan QRIS untuk pembayarannya. Tepat di seberang toko, terdapat pendopo joglo yang digunakan sebagai tempat untuk pertemuan. Keunikan yang jarang ditemukan di tempat lain yaitu kafe di tengah perkampungan. Kafe tersebut bernama Longkang Kotagede yang menawarkan nuansa tempo dulu dengan suasana hangat dan santai.

Selanjutnya, saya melewati lorong labirin yang letaknya berdekatan dengan area perkampungan ini. Pada setiap sudut labirin terdapat kaca cembung dan papan tulisan berisikan peribahasa Jawa beserta aksaranya. "Ngunduh wohing Pakerti", salah satunya yang mengajarkan tentang meraih kesuksesan dari hasil perbuatannya sendiri. Tulisan tersebut sangat menarik karena menggunakan konsep wayang dan falsafah Jawa. Hal itu membuat wisatawan yang melihatnya memperoleh wawasan tentang kebudayaan Jawa.

Between Two Gates di Kotagede bukan hanya sekadar tempat, melainkan sebuah perjalanan menyelami sejarah dan kebudayaan pada masa lampau. Jalan rukunan merupakan karakteristik tata lingkungan bangunan rumah tradisional Jawa di Kawasan Kotagede yang tidak dimiliki pada kawasan lain. Maka, diresmikan sebagai cagar budaya oleh Pemerintah Daerah DIY. Kehangatan interaksi dengan masyarakat setempat dan ketenangan lingkungan merepresentasikan bahwa tempat ini lebih dari sekadar hunian. Setelah berkeliling ke berbagai sudut di Between Two Gates, saya merasa waktu seolah berhenti sejenak, memberikan kedamaian. Perjalanan saya di sana memberikan kesan mendalam yang dapat mengingatkan kita semua untuk menjaga dan melestarikan budaya. Dengan ditetapkannya kawasan ini sebagai warisan budaya, tanggung jawab kita semakin besar untuk mempertahankannya agar tetap terjaga hingga generasi mendatang. Dengan begitu, tidak hanya melestarikan sejarah, tetapi juga merawat identitas budaya yang menjadi jati diri kita.

           

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun