Namaku Tan Shi Hok, aku seorang WNI yang dilahirkan dan dibesarkan pada keluarga keturunan Tionghua yang sangat mampu. Ayahku seorang pengusaha sukses dan ibuku seorang dokter spesialis serta pemilik klinik ternama di Jakarta. Keluargaku sangat memegang erat adat istiadatdan tradisi leluhurku yakni bangsa Tionghua, sehingga budaya Tionghua lebih dominan mempengaruhi hidup, kebiasan dan pikiranku. Hal tersebut juga didukung oleh masa kecilku hingga beranjak dewasa. Dari bangku TK hingga SMA, aku bersekolah dan bergaul dengan mayoritas komunitas Tionghua. Karena aku bersekolah pada sekolah khusus untuk komunitas Tionghua, maka dari itu teman pergaulanku pun rata-rata merupakan anak keturunan Tionghua kaya raya dengan fasilitas lengkap yang menemani mereka. Tetapi karena aku dan mereka memperoleh fasilitas yang serba lengkap, membuat aku dan teman-temanku hidup dengan gaya hidup yang mewah, manja serta acapkali aku dan teman-teman sekolahku melakukan pesta. Dari aktifitas dan pergaulan, baik di sekolah maupun pergaulan sehari-hari, membuat pandangan dan pergaulanku menjadi terbatas. Yakni hanya peduli dan mengenal komunitasku semata. Ditambah lagi, aku hanya sedikit mengenal teman dari suku berbeda di Indonesia itu pun hanya sebatas bagi mereka yang berasal dari anak-anak orang kaya dan pergaulanku dengan mereka juga hanya sebatas kenal semata. Selain itu, ketika ada berita tentang bencana pada berbagai daerah lain di Indonesia ataupun berbagai masalah yang menimpa Indonesia, aku bahkan tidak tahu, bukan karena aku tidak mengetahuinya tetapi karena aku tidak mau tahu dan peduli untuk mendengarkan dan mencari tahu tentang berbagai kondisi di Indonesia. Disamping itu, jika aku berbicara tentang nasionalisme, bagiku nasionalisme hanya milik komunitas suku lain. Hal tersebut juga diakibatkan oleh pembedaan yang dilakukan oleh pemimpin terdahulu dan pergaulanku serta disamping pengaruh orang tuaku yang sedikit membatasi aku untuk berinteraksi dengan orang di luar komunitasku. Perubahan besar dalam diriku terjadi kemudian setelah aku menamatkan pendidikan SMA. Orang tuaku kemudian mengirim aku untuk melanjutkan studi S1 dan S2 bidang kedokteran pada Universitas ternama di Amerika Serikat. Bagi aku dan komunitasku, sekolah di luar negeri apalagi di Amerika Serikat adalah hal yang biasa. Tetapi lain halnya bagi warga di luar komunitas aku, hal tersebut seperti barang yang mahal. Di Amerika, aku terdaftar pada salah satu universitas terfavorit disana. Pada awal studi di Amerika, aku belajar dengan cukup tekun dan kebiasaanku hampir mirip ketika aku berada di Indonesia. Tetapi ada yang sedikit berbeda di Amerika, aku tidak lagi bergaul dan belajar dengan satu komunitas seperti ketika aku belajar dan bergaul hingga SMA di Indonesia. Setelah berjalan beberapa semester. Aku bertemu dengan seorang WNI, dari perkenalan tersebutlah perubahan besar terjadi. Namanya retno, dia seorang wanita cantik asal Jogja dan dia juga sedang melanjutkan studi di Amerika dengan jalur beasiswa. Aku bertemu dan berkenalan tanpa sengaja dengan retno, ketika itu aku menunggu seorang profesor. Kebetulan retno mengantarkan temannya untuk bertemu profesor disana. Ketika itu, aku bertemu dengan dengan sang profesor terlebih dahulu. Kepada sang profesor aku memperkenalkan diri sebagai mahasiswa asli Indonesia. Tampaknya retno mendengarkan secara sepintas bahwa aku seorang WNI. Setelah selesai berbincang sebentar dengan sang profesor, retno pun menghampiriku, dia kemudian menanyakan asalku dengan menggunakan bahasa Inggris, karena dia sedikit masih tampak ragu karena wajahku yang keturunan Tionghua. Kemudian aku menjawab my name is Tan Shi Hok from Indonesia. Kemudian retno pun memperkenalkan dirinya yang juga berasal dari Indonesia. Dari perkenalan tersebut, aku dan retno sering berkumpul dan bercerita. Retno pun memperkenalkan aku dengan budaya leluhurnya yang ada di jawa, dimana aku hanya sedikit sekali mengenal budaya di Indonesia yang beraneka ragam tersebut. Di Amerika, retno merupakan anggota perhimpunan mahasiswa Indonesia di Universitas aku dan negara bagian tempat aku berkuliah. Dari situlah aku diperkenalkan juga dengan rekan-rekan retno yang juga mahasiswa Indonesia. Mereka adalah Hasibuan, Made dan Abdullah. Dari perkenalan tersebut, kita akhirnya sering bertemu. Akupun sering terlibat dengan diskusi dan acara yang diadakan oleh komunitas Indonesia di Amerika. Aku jadi banyak mengenal dan mengetahui berbagai budaya dan masalah yang sedang melanda Indonesia. Disamping itu, bayanganku dan pembatasan yang membentuk pribadi aku sedikit demi sedikit mulai mencair serta pertemananku dengan berbagai kalangan khususnya masyarakat Indonesia di Amerika Serikat menjadi luas. Puncaknya ketika aku diajak oleh retno dan teman-temanku dari komunitas Indonesia untuk menghadiri Hut Kemerdekaan RI ke-56 di Kedutaan Besar Indonesia Washington. Ketika itu, upacara tersebut banyak dihadiri oleh WNI yang sedang bekerja maupun bersekolah di Amerika. Puncaknya terjadi ketika lagu Indonesia raya dikumandangkan, tanpa disengaja aku meneteskan air mata. Aku merasa merinding dan terharu mendengar lagu Indonesia raya dikumandangkan di Amerika serikat. Apalagi setelah penaikan bendera usai dilangsungkan, kemudian dilanjutkan dengan lagu padamu negeri, hal tersebeut menambah kemaruanku dimana aku terus meneteskan air mata haru. Disanlah aku tersadar betapa aku cuek, acuh tak acuh, egois, tidak peduli terhadap perbedaan dan kondisi bangsaku khususnya kondisi lingkungan disekitarku. Kemudian saat itu pula aku berkomitmen untuk merubah perilaku, tindakan dan cara pandang ketika pulang ke Indonesia, yakni dengan mendedikasikan pikiran, tenaga dan waktu untuk membangun Indonesia dengan caraku sendiri. Setelah masa studiku berakhir aku memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Saat awal aku tiba di Indonesia setelah masa studiku berakhir. Aku mulai berpraktek menjadi seorang dokter dan melanjutkan usaha klinik yang dimiliki oleh ibuku. Akupun mulai merubah pola layanan secara bertahap pada klinik kelurgaku tersebut. Yakni memberikan pelayanan kesehatan berkualitas yang terjangkau dan gratis bagi yang tidak mampu serta membuka pelatihan gerakan kesadaran kesehatan lingkungan bagi pemuda dan anak-anak di lingkungan tempat tinggal aku. Saat ini, hidupku hanya digunakan untuk mengabdi pada bumi pertiwi ini dan disamping itu dari perkenalanku serta kedekatanku dengan retno. Pada akhirnya aku dan retno pun menikah. Kami memadukan dua tradisi dan perbedaan yang jarang terjadi, menjadi sebuah kesatuan suci dalam pernikahan. Kami berdua pun memilih menjadi pelaku sosial, yakni aku menjadi doktor ternama yang berdedikasi terhadap kesehatan dan retno memilih menjadi wirausaha sosial. Cerita di atas merupakan cerita fiksi yang menggambarkan kondisi dimana, suatu perbedaan membuat kita membatasi diri ataupun enggan mengenal dan mengetahui lebih dalam tentang perbedaan yang ada khususnya keberagaman yang berupa ragam suku, budaya dan agama di sekitar kita. Diharapkan dengan cerita di atas, cara pandang, perilaku dan tindakan kita terhadap Indonesia ini menjadi berubah, yang awalnya kita cuek menjadi peduli, yang awalnya membatasi diri menjadi terbuka dan yang awalnya egois menjadi rendah hati. Maka sudah saatnyalah kita membuang sekat perbedaan tersebut. Sehingga Bhineka Tunggal Ika dan sila Persatuan Indonesia menjadi bersinar kembali dan Indonesia menjadi negara yang jaya dan modern dengan kemajemukan. Serta ditambah cerita tentang Tan Shi Hok tersebut dapat meningkatkan rasa nasionalime kita. Salam Indonesia jaya dan modern!!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H