Sibuk dengan kegiatan sendiri malah membuat saya menjadi orang yang jarang pulang. Hobi keluyuran malah membuat Mama adalah musuh terbesar saat saya kembali ke rumah. Berangkat pagi pulang sore bahkan beberapa kali melewati senja membuat saya tidak peduli dengan Adik-adik. Tapi orangtua saya, sepenuhnya percaya dengan apa yang saya kerjakan, sepenuhnya memahami dengan apa yang saya inginkan.
Usia dewasa, gejolak remaja yang saya rasakan dahulu sedikit berkurang. Merasa membutuhkan Mama untuk bercerita atau sekedar memeluknya saat segumpal masalah datang. Merindukan Papa ketika tergolek saat sakit, rasa takut kehilangan selalu terbayang. Menginginkan Adik-adik saya saat rumah terasa sepi.
Dan terpisah jauh dari keluarga semakin menyadarkan saya, ternyata rumah tetaplah rumah. Dan Keluarga adalah rumah yang suatu saat menjadi muara terakhir. Mungkin ini rasanya omongan yang biasa Mama bilang ke saya: "Dekat bau taik, jauh wangi bunga". Akan terasa saat semua berjarak, dan mungkin itu sebabnya jarak tercipta. Agar kami, saya dapat menghargai pertemuan, dapat menghargai rindu.
Tugasku belum juga lunas walaupun hak telah bersih ku habiskan. Berbakti kepada orangtua belum sepenuhnya bisa saya lakukan. Membahagiakannya belum sepenuhnya saya laksanakan. Bahkan di jarak sejauh ini rasa kesal seringkali terlontar. Lalu, bagianmana yang dianggap membahagiakan orangtua?
Kewajibanku takkan pernah purna, walaupun semua hak telah habis ku peras. Membalas ikhlasnya dengan baktiku. Mencukupi rasa rindunya yang terbuncah saat saya didekatnyapun tak jarang tak ku lakukan. Saat saya tau rindu mereka ingin tertuang saat saya pulang, justru bermain dan bertemu dengan tema yang saya pilih. Hingga waktunya habis, hari berganti dan saatnya saya berjauhan kembali.
Kini, saat masih saya sadari tak pernah lunas bakti yang harus saya lakukan. Dengan wajah sumringah saya pamit untuk melanjutkan hidup dengan seseorang. Entah sebenarnya mimik apa yang ingin orangtua saya tampilkan, meskipun ternyata senyum yang menyungging dengan titik air di ujung mata.
Mereka menyadari saat hal itu terjadi, saya bukan lagi anaknya, saya anak kelurga lelaki yang akan meminang saya. Hak mereka terhadap saya-pun berkurang. Lalu, kewajiban mana yang bisa saya lunasi?
Tapi mereka, tetap menggoreskan senyum di bibirnya. Walaupun sebelum saya menjadi miliknya-pun, mereka telah merasa kehilangan. Lalu, apa bakti saya sebagai seorang anak?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H