Mohon tunggu...
No name
No name Mohon Tunggu... Administrasi - Nothing

aku? aku adalah lembayung senja yang tertunduk menorehkan semua rasa dalam kata..

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Aku, Sebagai Anak

7 April 2014   21:03 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:57 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perempuan pada zaman dahulu memang tidak pernah memiliki sejarah yang bagus. Di awali pada zaman Jahiliyah (zaman sebelum Rasulullah SAW datang), perempuan adalah sebuah momok dan kehidupannya sangat tertindas. Anak perempuan dianggap pembawa sial, pembawa bencana bahkan mereka tidak sungkan untuk mengubur hidup-hidup bayi mereka jika ternyata berkelamin perempuan saat lahir. Seperti firman Allah SWT dalam Surat An-Nahl 58-59:

“Padahal apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam), dan dia sangat marah. Dia bersembunyi dari orang banyak, disebabkan kabar buruk yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan (menanggung) kehinaan atau akan membenamkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ingatlah alangkah buruknya (putusan) yang mereka tetapkan itu.”

Kejadian itu mungkin terjadi di negeri Arab sana, namun tidak menutup kemungkinan di belahan dunia lain hal yang sama terjadi.

Hingga akhirnya Islam datang, agama kebenaran, Dienul Islam, dengan Rasul merubah semua pandangan itu. Dan memiliki Anak Perempuan bukanlah lagi suatu momok, justru keistimewaan. Karena perempuan adalah calon ibu dari anak-anak Lelaki atau Perempuan (lagi) kelak yang menjadi pewaris keturunannya. Subhanallah.

Papaku datang dengan polos dan berucap: "Saya mau anak perempuan.. Agar bisa menemani Ibunya, memberi contoh Adik-adiknya.. Mengerti Bapaknya". Lalu lahirlah saya, senang mungkin itu yang terpancar saat melihat saya, memberikan berbagai ritual saat menanam ari-ari saya.

Saya beranjak besar, gempal, cerewet dan sangat lincah. Menangis adalah hal yang jarang terdengar dari bibir tipis saya. Entah dengan siapapun, bukan hal sulit untuk saya berakhir di gendongannya. Berkicau seperti beo, baa bii buu caa cii cuu sesukanya tanpa rasa sungkan pada siapapun yang ada di sekitar saya.

Memasuki usia sekolah, saya memang bukan anak yang sangat cerdas sampai jenius. Hanya anak biasa yang Alhamdulillah tidak di bawah rata-rata. Memiliki dua orang adik yang rentan usianya tidak terlalu jauh membuat saya lebih mandiri.

Usia remaja dan saya mulai mengenal dunia luar. Bermain, bermain, bermain. Hingga dewasa berbagai macam kegiatan saya lakukan. Berusaha mengenal dunia dari sudut pandang yang saya temukan saat SMP dahulu. Tertutup itu sifat saya, tidak ada yang tau apa mau saya, orangtua saya sekalipun. Semua hanya terpendam dan tercurah dalam sebuah gores. Hormon remaja membuat saya terlalu sulit untuk menceritakan apa yang saya rasa, apa yang saya inginkan. Hingga akhirnya terasa berjarak dengan orangtua.

Mana keinginan Papa agar saya bisa menemaninya?

Mana keinginan Papa agar saya bisa menjadi sahabat Mama?

Mana keinginan Papa agar saya bisa meberi contoh pada Adik-adik saya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun