Media sosial telah menciptakan sebuah arena baru yang membentuk cara generasi muda memahami identitas dan keadaan di sekitarnya. Dari sudut pandang filsafat sosial, media sosial merupakan pedang bermata dua sebagai sebuah platform yang memberikan kebebasan untuk berekspresi, namun di saat yang sama juga memperbesar tekanan sosial dan rasa keterasingan. Untuk meresapi dampak ini terhadap kesehatan mental generasi muda, kita bisa merujuk pada pemikiran para filsuf seperti Sartre, Foucault, dan Habermas.
Jean-Paul Sartre, melalui konsep being-for-others, mengungkapkan bahwa individu sering mendefinisikan diri mereka berdasarkan pandangan orang lain. Di ranah media sosial, fenomena ini menjadi lebih mencolok. Banyak generasi muda merasa bahwa validasi keberadaan mereka tergantung pada jumlah "likes" atau komentar yang mereka terima. Ketika harapan ini tidak terpenuhi, perasaan kurang percaya diri dan kecemasan bisa muncul. Hidup tak lagi berpusat pada keautentikan, tetapi terjebak dalam memenuhi ekspektasi dunia maya yang sering kali sulit dicapai.
Michel Foucault memperingatkan tentang bagaimana mekanisme pengawasan menciptakan kontrol sosial yang halus namun efektif. Media sosial, tanpa disadari, telah bertransformasi menjadi semacam "penjara digital" di mana generasi muda merasa diawasi oleh masyarakat secara terus-menerus. Kehidupan pribadi mereka menjadi konsumsi publik, dan tekanan untuk selalu tampil sempurna hanya menguatkan perasaan keterasingan. Ironisnya, semakin banyak mereka terhubung secara digital, semakin jauh mereka merasa dari diri mereka yang sesungguhnya.
Di sisi lain, Jürgen Habermas menilai media sosial bukan sebagai ruang publik yang ideal, melainkan sebagai arena yang dikontrol oleh algoritma dan kepentingan data. Generasi muda terjerat dalam siklus informasi yang memperkuat bias dan menambah polarisasi, menciptakan kecemasan sosial. Bukannya menemukan ruang untuk berdialog, mereka justru terperangkap dalam "gelembung digital" yang menyulitkan mereka untuk memahami dunia secara obyektif.
Namun, perlu diingat bahwa media sosial juga menyimpan potensi sebagai alat emansipasi. Kampanye kesadaran akan kesehatan mental, gerakan sosial, dan dukungan komunitas kerap mendapatkan momentum yang signifikan melalui platform ini. Dengan kemampuan literasi digital yang baik, generasi muda dapat memanfaatkan media sosial untuk berbagi pengalaman, membangun solidaritas, dan memperjuangkan keadilan sosial.
Dalam kerangka filsafat sosial, media sosial mencerminkan paradoks modernitas: di satu sisi, koneksi, sementara di sisi lain, keterasingan; kebebasan sekaligus kontrol. Untuk mengurangi dampak negatif yang ditimbulkannya, penting bagi generasi muda untuk diajarkan cara menggunakan media sosial dengan kritis dan bijaksana. Dengan cara ini, mereka dapat memanfaatkan teknologi tanpa mengorbankan kesehatan mental mereka bahkan menjadikannya alat untuk pembebasan diri.
FEBYAN AYUDYA MUHARRAM
202410310110002
SOSIOLOGI A
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H