Diskriminasi, sebagai tindakan tidak adil yang mendasarkan perlakuan pada karakteristik tertentu seperti ras, jenis kelamin, agama, atau status sosial, telah lama menjadi tantangan serius dalam menciptakan keadilan sosial. Tindakan ini dapat terjadi secara eksplisit (terbuka) maupun implisit (terselubung) dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan, pekerjaan, layanan publik, dan hubungan sosial. Dalam era digital maupun di lingkungan kampus, diskriminasi tetap hadir dalam berbagai bentuk yang sering kali sulit dikenali, namun dampaknya nyata dan merusak.
Era digital, yang seharusnya membuka peluang untuk inklusi dan kesetaraan, justru sering memperkuat ketidakadilan. Salah satu bentuk diskriminasi di dunia maya adalah kesenjangan digital. Tidak semua individu memiliki akses yang sama terhadap teknologi dan internet. Kesenjangan ini terlihat jelas di Indonesia, di mana penetrasi internet di daerah terpencil masih tertinggal jauh dibandingkan wilayah perkotaan. Ketimpangan ini memperburuk akses terhadap pendidikan, ekonomi, dan layanan kesehatan, seperti yang terlihat selama pandemi COVID-19. Ketika pembelajaran daring menjadi keharusan, siswa di daerah terpencil yang tidak memiliki akses internet kehilangan kesempatan belajar, sehingga memperlebar jurang ketidakadilan.
Selain itu, bias algoritma dalam kecerdasan buatan (AI) adalah bentuk diskriminasi digital yang kurang disadari. Algoritma perekrutan, misalnya, sering merefleksikan bias sosial yang ada, seperti memilih kandidat berdasarkan jenis kelamin atau warna kulit tertentu. Teknologi pengenalan wajah juga menunjukkan kecenderungan diskriminatif terhadap individu dengan warna kulit lebih gelap, karena data pelatihan yang tidak inklusif. Ketidaksadaran akan bias ini mengakibatkan keputusan yang tidak adil terhadap kelompok tertentu.
Di sisi lain, perundungan siber (cyberbullying) menjadi bentuk diskriminasi yang semakin merajalela. Kelompok rentan seperti perempuan, LGBTQ+, dan minoritas etnis sering menjadi sasaran ujaran kebencian di media sosial. Anonimitas di ruang maya membuat pelaku merasa bebas dari konsekuensi hukum, menciptakan lingkungan digital yang tidak aman.
Diskriminasi juga sangat terasa di lingkungan kampus, meskipun tidak selalu terlihat secara langsung. Survei menunjukkan bahwa diskriminasi berbasis status sosial ekonomi, gender, serta ras atau etnis masih menjadi masalah di kampus. Banyak mahasiswa merasa kurang nyaman mengekspresikan identitas pribadi mereka, meskipun kampus telah menyediakan mekanisme pelaporan diskriminasi. Selain itu, perbedaan perlakuan dari dosen atau teman sejawat juga menciptakan rasa tidak adil, yang berdampak pada psikologis dan akademik mahasiswa.
Contoh konkret diskriminasi di kampus meliputi tidak memberikan kesempatan yang setara kepada mahasiswa berdasarkan latar belakang ekonomi atau gender. Misalnya, perempuan sering dianggap kurang mampu memegang posisi kepemimpinan, atau mahasiswa dari etnis tertentu merasa terpinggirkan dalam diskusi kelompok. Praktik ini tidak hanya melanggar prinsip kesetaraan hak asasi manusia, tetapi juga menghambat terciptanya lingkungan pendidikan yang inklusif.
Bentuk diskriminasi di kampus maupun dunia digital menunjukkan bahwa fenomena ini tidak hanya mengancam individu, tetapi juga merusak nilai-nilai keadilan sosial secara kolektif. Dampaknya meluas, baik secara psikologis, sosial, maupun ekonomi. Pada tingkat individu, korban diskriminasi sering kali kehilangan rasa percaya diri, mengalami isolasi sosial, bahkan depresi. Secara kolektif, diskriminasi memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi, yang sulit diatasi tanpa intervensi serius.
Mengatasi diskriminasi, baik di era digital maupun di kampus, membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak. Di ruang digital, transparansi dalam pengembangan teknologi menjadi langkah penting untuk mencegah bias algoritma. Pemerintah dan perusahaan teknologi harus memastikan inklusivitas dalam data pelatihan AI dan meningkatkan akses internet di daerah terpencil. Sementara itu, media sosial harus memperkuat aturan untuk melindungi korban perundungan siber dan menindak tegas pelaku ujaran kebencian.
Di lingkungan kampus, pendidikan tentang kesetaraan dan keberagaman harus menjadi prioritas. Mahasiswa perlu diedukasi tentang dampak diskriminasi dan pentingnya menciptakan lingkungan yang inklusif. Dosen juga memiliki peran penting dalam mencegah diskriminasi, seperti dengan memberikan perhatian yang sama kepada semua mahasiswa tanpa memandang latar belakang mereka. Kampus juga perlu mengadakan pelatihan rutin untuk meningkatkan kesadaran tentang keberagaman dan menyediakan mekanisme yang tegas untuk menindak pelaku diskriminasi.
Langkah-langkah lain yang dapat dilakukan meliputi meningkatkan literasi digital di kalangan mahasiswa, menanamkan nilai bahwa keberagaman adalah kekayaan, serta mendorong civitas akademika untuk lebih menghormati perbedaan. Dengan edukasi dan kolaborasi, lingkungan kampus dapat menjadi tempat yang lebih inklusif, di mana semua individu merasa diterima dan didukung untuk berkembang.
Sebagai individu, kita juga memiliki tanggung jawab dalam melawan diskriminasi. Tidak perlu menunggu menjadi korban untuk bertindak. Hal-hal kecil seperti melaporkan konten diskriminatif, memberikan dukungan kepada korban, atau mengedukasi orang di sekitar kita tentang pentingnya kesetaraan dapat membawa perubahan besar. Era digital dan lingkungan kampus seharusnya menjadi ruang inklusi, bukan tempat untuk memperkuat diskriminasi.