Tren Childfree di Zaman Modern
Menikah dan melanjutkan keturunan menjadi hal yang konon katanya menjadi impian bagi setiap orang, dengan memiliki pasangan dan keluarga yang lengkap akan menjadikan hidup lebih berwarna. Tetapi siapa sangka, angka pernikahan dan kelahiran menurun dalam beberapa tahun terakhir.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2024 angka pernikahan di Indonesia semakin menurun dalam satu dekade terakhir dengan angka penurunan 28,63%. Selain itu berdasarkan data sensus penduduk dalam satu dekade terakhir angka Total Fertility Rate (TFR) atau rata-rata jumlah anak yang dilahirkan oleh perempuan selama masa reproduksinya di Indonesia menurun dengan angka penurunan 9,5%.
Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unair yakni Prof Dr Bagong Suyanto Drs MSi menyebutkan turunnya angka pernikahan dan kelahiran disebabkan oleh perempuan telah memiliki peluang yang besar untuk mengembangkan potensi dirinya dan tidak banyak laki-laki yang dalam kondisi ekonomi mapan sehingga menimbulkan penurunan angka pernikahan dan angka kelahiran di Indonesia.
Hal Positif dari Fenomena Childfree
Dengan adanya fenomena tersebut berdampak baik karena artinya generasi muda peduli akan peningkatan taraf ekonomi kehidupan sebelum memutuskan untuk menikah dan memiliki keturunan. Kedepannya akan lahir generasi yang lebih berkualitas dan terhindar dari kemiskinan karena dilahirkan dari generasi yang peduli akan seluruh aspek kesiapan akan pernikahan dan memiliki keturunan.
Fenomena childfree, yang merupakan keputusan pasangan untuk tidak memiliki anak dalam kehidupan pernikahan mereka, menarik untuk dianalisis dari dua perspektif etika yang berbeda: Utilitarianisme dan Eksistensialisme.
Perspektif Utilitarianisme menekankan pada konsep kebahagiaan dan kesejahteraan yang maksimal bagi sebanyak mungkin individu. Dalam konteks childfree, pandangan utilitarianisme dapat memberikan dukungan terhadap keputusan pasangan untuk tidak memiliki anak dengan alasan-alasan seperti pengurangan populasi, yang dapat membantu mengurangi tekanan pada sumber daya alam dan lingkungan hidup, serta meningkatkan kesejahteraan anak-anak dengan mencegah kemungkinan peningkatan jumlah anak terlantar. Â
Selain itu, pasangan yang memilih childfree dapat fokus pada hubungan mereka, karier, dan pengembangan diri tanpa harus membagi perhatian dan sumber daya dengan kehadiran anak, yang pada gilirannya dapat memberikan kontribusi positif terhadap kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Di sisi lain, perspektif Eksistensialisme menekankan pada kebebasan individu, tanggung jawab pribadi, dan pencarian makna hidup yang autentik. Dalam konteks childfree, pandangan eksistensialisme mengakui hak individu atas tubuh mereka sendiri , serta hak mereka untuk menentukan sendiri arah dan tujuan hidup tanpa terkekang oleh tekanan sosial atau norma yang mengharuskan memiliki anak.
Keputusan childfree dapat dipandang sebagai bagian dari pencarian makna hidup yang autentik, di mana individu menentukan sendiri nilai-nilai dan tujuan mereka, serta mengekspresikan kesadaran dan kebebasan untuk membuat pilihan yang sesuai dengan keinginan dan nilai-nilai pribadi mereka.
Secara keseluruhan, fenomena childfree memunculkan dampak positif yang patut dipertimbangkan. Keputusan ini mempengaruhi generasi muda dengan meningkatkan kesadaran terhadap peningkatan taraf ekonomi dan kualitas hidup sebelum menikah dan memiliki anak. Dengan mengurangi tekanan populasi, pasangan childfree dapat memusatkan perhatian pada hubungan, karier, dan pengembangan diri mereka, memberikan kontribusi positif terhadap masyarakat. Perspektif utilitarianisme mendukung pilihan ini dengan menekankan pada kesejahteraan umum dan pengurangan tekanan pada lingkungan hidup. Sementara itu, perspektif eksistensialisme menyoroti kebebasan individu dalam menentukan arah hidup tanpa terkekang oleh norma sosial.