Mohon tunggu...
Febrylian Fahmi Chabibi
Febrylian Fahmi Chabibi Mohon Tunggu... -

Sedang belajar bagaimana menjalani dan memaknai hidup. Menyukai travelling.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mahkota Kembar Bumi Padjadjaran

7 Desember 2011   09:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:43 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Naik gunung ? Wah, mantap ni kayaknya. Sudah lama badan ini tidak dibawa gerak dan olahraga alam yang menantang. Sudah lama juga otak stress butuh pelampiasan. Maka tawaran dari teman untuk mendaki gunung ketika itu tidak saya tolak. Dan hari-hari menuju hari pelaksanaan disibukkan oleh persiapan demi suksesnya pendakian tersebut. Checklist barang, tenda, senter, gps, jaket, mantel, perlengkapan masak, bahan yang dimasak, obat-obatan, dan pinjam sepatu. Sisanya, niat mantap, modal nekat, badan sehat, dan siap berangkat.

Pagi itu, Sabtu 26 November 2011, rombongan pecinta alam yang terkoordinasi secara online melalui salah satu forum di Kaskus berkumpul di Cibodas untuk melakukan pendakian santai (pentai) ke Gunung Pangrango. Saya yang juga (ngakunya) pecinta alam termasuk dari 69 orang yang sudah konfirmasi untuk ikut pendakian tersebut (hanya 30an orang saja yang kemudian datang dan mendaki di hari H).

Satu langkah kecil di awal hari, namun lompatan besar bagi pengalaman perjalanan alam saya. Terinspirasi dari kalimat pertama Neil Armstrong ketika menjejakkan kakinya di Bulan. Pukul 07.15, perjalanan menuju puncak Pangrango dimulai setelah sebelumnya isi tenaga, sarapan nasi goreng di warung Mang Idi.

Perjalanan menuju puncak melalui rute Cibodas-Panyancangan-Mata Air Cipanas-Kandang Batu-Kandang Badak-Puncak Pangrango-Lembah Mandalawangi. Kondisi medan di bagian awal perjalanan menuju Panyancangan cukup mudah. Rute ini merupakan rute yang sama menuju Curug Cibereum. Terdapat pertigaan di Panyancangan, ke kiri ke arah puncak, sedangkan lurus ke arah curug.

Mulai dari Panyancangan, kondisi batu pijakan mulai tidak teratur dan diselingi mata air yang melewati jalan setapak sehingga harus ekstra hati-hati. Perjalanan membutuhkan waktu sekitar 4 jam dengan kecepatan sedang hingga mencapai Mata Air Cipanas. Kondisi cukup menantang karena kita harus melewati aliran air panas yang keluar langsung dari perut gunung dan langsung terjun ke lembah di samping kanan kita. Tapi jangan khawatir karena tali dan kabel sudah terjulur dan terikat kencang di sepanjang jalur air sebagai pengaman.

Hanya 15 menit kemudian, kami sampai di checkpoint pertama, Kandang Batu. Lokasi ini berupa tanah yang cukup lapang dengan perlindungan kanopi pohon. Cukup banyak pendaki yang beristirahat di sini, namun kami memutuskan untuk langsung menuju Kandang Badak yang memiliki sumber air yang cukup deras. Kandang Badak berjarak sekitar 2,3 km atau 2 jam perjalanan dari Kandang Batu.

Di Kandang Badak, kami beristirahat cukup lama, 1,5 jam, sambil makan siang dan sholat Dhuhur. Perjalanan lintas alam semacam ini mengingatkan posisi kita di alam yang luas ini. Mendaki gunung merupakan salah satu bentuk rekreasi alam sekaligus olahraga yang cukup ekstrim. Kegiatan yang dulunya didominasi kaum adam kini sudah tidak lagi mengenal gender bahkan umur. Saya lihat, ada seorang bapak yang membawa anaknya demi memperkenalkan sejak dini perjalanan lintas alam tersebut. Mendaki gunung bukan soal kebanggaan sampai ke puncak. Atau pamer kekuatan fisik. Bukan pula ajang adu prestise perlengkapan mendaki, macam tas, sepatu, dan tenda import, yang mahal itu.

Mendaki gunung hanya salah satu bentuk pendekatan diri seorang manusia terhadap alam, lingkungan tempatnya hidup. Proses mendaki menuju puncak itulah yang mendewasakan kita. Mendaki gunung menyadarkan kita bahwa sedemikian kecil kita dibandingkan kemegahan gunung, lebih kecil lagi apabila dibandingkan seluruh alam raya, dan bahkan lebih kecil lagi bila mengingat penciptanya. Ya, segala sesuatu hanyalah milik-Nya dan kepada-Nya lah segala sesuatu akan kembali. Bersyukurlah kita yang membawa niat itu sampai ke puncak hingga turun lagi dengan selamat.

Perjalanan mulai terasa berat selepas Kandang Badak. Medan terus menanjak, batu-batu pijakan mulai berganti tanah. Akar pohon bisa sebagai teman kala dipijak namun mengkhawatirkan ketika kaki tersangkut. Pohon tumbang saling melintang jalan sehingga mengharuskan lutut menumpu berat badan ketika setengah merunduk. Persimpangan banyak ditemui selama perjalanan. Persimpangan tersebut bisa saja membingungkan walaupun kemudian mengarah pada jalan yang sama. Perut tidak bisa diajak kompromi. Sengaja tadi pagi saya menghindari kopi, teh, atau susu supaya selama perjalanan tidak ada “pemberontakan”, ternyata tidak berhasil. Saran saya, tidak pernah meninggalkan pisau, tisu basah, serta sarung atau mantel untuk keadaan yang tak terduga ini. Tergantung imajinasi Anda ketika menggunakannya.

Semua sebab tersebut bergabung menjadi satu yang mengakibatkan tenaga terkuras habis. Kecepatan mendaki menjadi lambat. 20 langkah berjalan 10 menit istirahat. Kemudian 10 langkah berjalan 10 menit istirahat. Hari mulai gelap, tapi puncak belum terlihat. Persimpangan menyesatkan. Kabut mulai turun. Jarak pandang hanya 20 m. Angin yang walaupun terhalang pepohonan masih saja membuat dingin menggigit kulit. Hilang arah. Badan lelah. Kaki pegal. Perut lapar. Tapi tidak putus asa. Berbekal GPS sebagai penentu arah kami terus melangkah.

Berangkat dari Kandang Badak pukul 14.30 sampai di puncak pukul 21.30. Dengan kata lain, jarak menuju puncak yang hanya 1,8 km ditempuh dalam waktu 7 jam. Maklum masih pemula. Masih belum bisa mengatur nafas.

Tenda kami dirikan di lembah Mandalawangi, sekitar 200 m ke arah barat dari puncak. Lembah ini berupa tanah yang sangat lapang dengan tanaman semak hanya setinggi dada hingga mata, membuat terpaan angin dingin makin terasa. Setengah jam lebih kami berjuang mendirikan tenda berbekal senter, tangan yang kebas, dan kaki yang susah diajak kerjasama. Badan yang menggigil sepanjang malam membuat saya mengambil kesimpulan, jangan lupa bawa sleeping bag, kaos tangan, kaos kaki, dankupluk di kemudian hari ketika mendaki gunung lagi.

Dingin pagi di puncak Pangrango menusuk tulang. Kebiasaan badan yang terlalu dimanjakan iklim tropis yang hangat. Mata air dengan debit yang kecil di sebelah utara lembah merupakan satu-satunya sumber air yang dimanfaatkan seluruh pendaki. Sejenak, kami menyegarkan badan sambil berfoto ria, mengekspresikan jiwa narsis, menghangatkan diri, serta mengisi energi dengan sarapan minus gizi.

Tidak ingin kemalaman seperti hari sebelumnya, kami segera bersiap-siap untuk beranjak turun. Pukul 07.00 tepat perjalanan yang tidak kalah menantang itu pun dimulai. Sempat berhenti di puncak untuk mengagumi puncak Gunung Gede yang terlihat dari puncak Gunung Pangrango. Seolah kedua gunung itu saling mendukung dan mengawasi. Seperti mahkota kembar yang berdiri di bumi Pajajaran. Kawah yang masih mengeluarkan asap itu terlihat angker, angkuh, jauh seolah tak terjamah, sekaligus megah.

Total waktu perjalanan menuruni gunung sekitar 7 jam. Dibandingkan dengan ketika mendaki yang mencapai dua kali lipatnya. Waktu tempuh tergantung kecepatan jalan dan kemampuan fisik masing-masing individu. Banyak yang mendahului saya menuju puncak tapi banyak juga yang memutuskan untuk mendirikan tenda jauh sebelum puncak karena kelelahan.

Mimpi untuk mencapai puncak gunung tercapai sudah. Karena sebelumnya, beberapa kali mendaki gunung belum ada yang mencapai puncak karena faktor kabut dan kelelahan. Bersyukur karena mimpi itu terwujud saat ini. Saatnya kami pulang dengan membawa banyak pelajaran. Pulang untuk terus meningkatkan potensi diri dan bukan untuk berhenti bermimpi.

Teringat status seorang kawan, “Karena seorang pengembara tidak pernah. Dan tidak akan pernah. Memiliki rumah untuk pulang. Pulang hanya akan membuatnya berhenti bermimpi (Vidia Chandra).” Sejatinya kita semua adalah manusia pengembara. Dengan tujuan akhirat yang kekal, melalui kematian yang pasti. Kita selalu diingatkan melalui kejadian yang selalu ada di sekeliling kita. Adalah keputusan kita untuk mau diingatkan atau tidak. Now, I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth (Walt Whitman_ dicopas Aldino Rizaldy). Never stop travelling.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun