Mohon tunggu...
Febryanto malau
Febryanto malau Mohon Tunggu... Lainnya - Anthropologi

Humanity and justice

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Kebimbangan dan Kecemasan, Panggilan dari Keberadaan

3 Desember 2024   21:54 Diperbarui: 3 Desember 2024   21:58 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebimbangan dan kecemasan. Dua kata yang sering  menjadi tanda tanya besar dalam perjalanan hidup manusia. Mengapa mereka hadir? Apakah mereka bagian dari penderitaan yang tak terhindarkan, sebagaimana Jean-Paul Sartre menggambarkan kehidupan sebagai "terkutuk untuk bebas"? Ataukah mereka adalah panggilan atau undangan dari keberadaan untuk mengenal diri lebih dalam? 

Dalam dunia yang terus bergerak tanpa henti, kebimbangan dan kecemasan sering dianggap sebagai pengganggu. Namun, mari berhenti sejenak dan bertanya: Apa yang ingin mereka katakan kepada kita?   

Jean-Paul Sartre, dalam [Being and Nothingness], menyebut manusia sebagai makhluk yang "terkutuk untuk bebas." Kebebasan ini membawa manusia pada kebimbangan yang mendalam. Kebimbangan lahir dari kesadaran akan tanggung jawab atas setiap pilihan, dari ketakutan bahwa langkah kecil dapat membawa dampak besar yang tak terduga. 

Namun, kebimbangan ini bukan musuh. Ia adalah tanda bahwa manusia menyadari kompleksitas hidup, sebagaimana Sartre mengatakan bahwa "kita bertanggung jawab atas dunia dan diri kita sendiri sebagai bagian dari proyek kebebasan kita." Kebimbangan mengingatkan kita bahwa setiap pilihan adalah cermin keberadaan kita. 

Bukankah kebimbangan yang menyakitkan adalah bukti bahwa kita hidup dalam kebebasan yang otentik? 

Soren Kierkegaard, dalam [The Concept of Anxiet], menyebut kecemasan sebagai "the dizziness of freedom"—pusingnya kebebasan. Ia menggambarkan kecemasan sebagai reaksi terhadap kesadaran bahwa kita bisa memilih apa pun, bahwa kita memiliki kemungkinan tak terbatas. 

Kecemasan sering dianggap sebagai beban, tetapi Kierkegaard melihatnya sebagai sesuatu yang lebih dalam. Ia berkata, "Kecemasan adalah pendidik paling setia; hanya melalui kecemasan, kita belajar apa itu kebebasan." Dalam kecemasan, manusia berdiri di tepi jurang keberadaan, melihat semua kemungkinan di hadapannya, tetapi tidak tahu langkah mana yang akan membawa dia ke kedalaman atau ke puncak. 

Apakah mungkin kecemasan adalah panggilan dari jiwa untuk menghadapi kerapuhan sekaligus potensi kita? 

Martin Heidegger, dalam [Being and Time], memperkenalkan konsep Dasein, keberadaan manusia yang sadar akan waktu dan keterbatasannya. Dalam keberadaan ini, kebimbangan dan kecemasan bertemu sebagai dua elemen esensial. 

Heidegger menyatakan bahwa kecemasan eksistensial bukanlah sesuatu yang harus dilawan, melainkan diterima sebagai bagian dari proses menjadi otentik. Ia menulis, "Hanya ketika kita menghadapi kecemasan, kita benar-benar menyadari keberadaan kita sendiri." Kebimbangan, di sisi lain, menjadi pengingat untuk berhenti sejenak dan memikirkan apa yang sebenarnya penting. 

Dalam dialog antara kebimbangan dan kecemasan, manusia menemukan panggilan untuk terus bertanya, mencari, dan melampaui dirinya sendiri. Dari hal ini, kita belajar bahwa kebimbangan dan kecemasan adalah elemen tak terpisahkan dari hidup manusia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun