“Sebentar lagi aku akan jadi artis terkenal.” Marlina menari-nari di muka cermin besar. Sesekali, ia kibaskan rambutnya yang pirang bergelombang, hasil penataan salon tetangga.
“Selamat tinggal Salon Mamas. Aku tak akan jadi menjadi pelangganmu lagi. Uangku sudah cukup untuk perawatan di Salon Premium. Mungkin di antara salon itu ada yang berniat menjadikanku modelnya. Ya, siapa tahu?” Marlina terbahak seraya menghempaskan diri ke ranjang. Ranjang tua itu berderit akibat beban tubuh sintal Marlina.
Untuk yang kesekian kalinya, Marlina membaca pesan Whatsapp dari Om Hasto, seorang pemilik Production House ternama. “Hai cantik, jam tujuh malam nanti, datanglah ke pesta pergantian tahun di resto Italy, Hotel Mercy Buana! Jangan telat ya! Aku akan memperkenalkanmu pada sutradara sinetron terkenal. Dia tertarik menjadikanmu bintang utama dalam sinetronnya. Pakailah baju yang aku belikan kemaren.”
Marlina mengenang kaleidoskop kariernya. Sejak SMP, Marlina sudah bergabung dalam Orkes Melayu Dinihari. Orkes Melayu itu membawakan tembang khas daerah pesisir dalam berbagai acara hiburan rakyat. Marlina menjadi bintang Orkes Melayu Dinihari. Kecantikannya merupakan anugerah terbaik dari Yang Kuasa. Para pria berebut memberikan saweran atau mengajaknya berkencan. Tentu saja ajakan itu ditolak Marlina. Gadis molek itu menginginkan pria kaya dan bermartabat sebagai kekasihnya.
“Mar, mau nggak ikut aku ke Jakarta? Ada produser sinetron hendak mengorbitkanmu jadi aktris,” tawar Kang Dani, pimpinan Orkes Melayu Dinihari.
“Iya, aku mau. Kapan berangkatnya?” Marlina antusias menerima tawaran itu. Tak menyadari jalan terjal yang kelak menghadangnya.
Ternyata Marlina menjadi figuran sinetron dengan bayaran limapuluh ribu rupiah per hari. Hanya sepersekian dari saweran yang diterimanya selaku bintang Orkes Melayu. Tapi, pantang bagi Marlina kembali ke kampungnya. Dia tak mau menjadi bahan cemoohan penyanyi wanita saingannya di Orkes Melayu Dinihari.
“Bang, saya ingin mendapatkan peran dalam sinetron, bagaimana caranya?” tanya Marlina pada Bang Ishak, sutradara sinetron nan temperamental.
“Kau harus belajar akting. Pergilah ke sanggar-sanggar teater. Belajar pada guru seni drama yang nongkrong di sana. Aktingmu payah benar. Aku tak berani memasukanmu dalam scene walau untuk sebaris dialog.”
Perkataan Bang Ishak menohok perasaan Marlina. Pupus sudah minatnya menjadi aktris sinetron terkenal. Tapi, Marlina masih punya cita-cita cadangan. Ia ingin menjadi penyanyi terkenal. Dalam bayangannya, Marlina melihat dirinya menyanyikan soundtrack sinetron remaja.
“Perkenalkan, nama saya Marlina. Mau tanya ke Mbak Icha nih, bagaimana caranya menjadi penyanyi terkenal?” tanya Marlina dalam kesempatan temu artis dan penggemar di sebuah mall.
Icha Cantika, penyanyi yang terkenal berkat menyanyikan sountrack sinetron remaja, tercenung sejenak sebelum menjawab. “Menjadi sukses nggak segampang bikin popmie. Saya mengawali karier dari ‘Pemandu Karaoke’. Di sana saya mempelajari berbagai genre lagu. Setelah itu, saya latihan menyanyi di berbagai klub malam. Kadang bayarannya hanya seporsi makan malam, karena saya belum punya 'nama'.”
Icha menenguk softdrink yang disediakan panitia sebelum melanjutkan ceritanya. “Saya pernah ikut kontes menyanyi di televisi, dan terhenti di babak eleminasi. Tapi, saya tak putus asa. Saya terus berlatih. Ngamen dari panggung ke panggung. Lama kelamaan, karakter vokal saya terbentuk. Akhirnya, kurang lebih empat bulan lalu, seorang produser sinetron meminta saya menyanyikan soundtrack sinetronnya. Mungkin, saya terpilih karena honor saya nggak mahal.”
“Saya nggak nyangka lagu yang saya nyanyikan bakal jadi hits. Itulah bonus kerja keras saya selama lima tahun. Namun, saya belum puas dengan pencapaian ini. Saya mau ambil kursus vokal untuk mematangkan karakter vokal saya. Say a ingin seperti Mbak Tidi DJ, Mbak KD atau Teteh Reza. Mohon doa dari teman-teman yang ada di sini.”
Tepuk tangan membahana saat Icha menyudahi jawabannya. Icha terlihat menghapus air yang menggenangi pelupuk matanya. Beberapa orang terinspirasi oleh jawaban Icha. Sedangkan Marlina malah mengeluh dalam hati. “Ih, berat banget perjuangan menjadi artis terkenal. Adakah cara cepat agar aku dikenal banyak orang?”
Agaknya bisikan hati Marlina terdengar oleh seorang pria berperut buncit yang mengamati Marlina sejak tadi. Pria itu perlahan mendekati Marlina.
“Gadis cantik, maukah saya tunjukan cara cepat menjadi terkenal?” bisik pria itu seraya memasukkan kartu namanya dalam genggaman Marlina. ‘Roland Anggara,' agensi model’ demikian informasi yang terbaca Marlina dari kartu nama warna marun itu.
“Ayo kita bicara di tempat yang tenang!” Roland membimbing Marlina menuju meja di pojok foodcourt.
Untuk sesaat pria itu melumat sekujur tubuh Marlina melalui tatapannya. Semestinya Marlina jengah diperlakukan demikian oleh pria asing. Namun, demi tuntutan hasrat menjadi artis terkenal, Marlina mengabaikan semua nilai moral yang pernah diajarkan guru mengajinya di kampung.
“Hm, sempurna, kamu pantas membintangi iklan sabun yang akan kami buat. Mau?”
“Ka...kapan syutingnya?” Marlina tergagap karena terlalu bersemangat. Menjadi model iklan akan melambungkan namanya. Terlebih bila wajahnya terpampang di beberapa billboard ibu kota. Ah, ternyata ada cara jitu menjadi terkenal tanpa keringat dan airmata.
“Sekarang juga. Timku sudah menunggu di kantor. Tampaknya kita harus bergegas. Kalau tidak, salah satu temanku akan menemukan gadis lain, dan kamu batal jadi model.”
Marlina setengah berlari saat mengikuti langkah Roland ke tempat parkir di lantai bawah. Sejurus kemudian, sebuah mobil sedan keluaran tahun tujuhpuluhan meluncur ke gedung tua di belahan kota yang kurang terpelihara.
“Kami baru merintis agensi model. Jadi hanya sanggup menyewa gedung di tempat semacam ini. Tapi, percayalah, dengan memiliki model jelita semacam kamu, agensi kami akan naik daun,” jelas pria buncit untuk mempupuskan kecurigaan Marlina.
Di ruang depan, empat orang pria tengah duduk mengelilingi meja kayu sengon. Botol minuman keras dan rokok memenuhi permukaan meja. Keempat pria memandangi Marlina dengan sorot mata anjing pemburu. Gadis itu ketakutan.
“Tenang Marlina, teman-temanku baik-baik kok. Nah, coba kamu kenakan bikini ini di hadapan kami. Silahkan berganti baju ke kamar di sana.” Roland menganggukan kepala ke kamar di ujung ruangan.
Marlina sempat ragu berbikini di hadapan empat orang pria itu. Meskipun bukan pemeluk agama yang taat, tapi Marlina memahami adab ketimuran dalam berbusana di muka umum.
“Kenapa ragu? Kamu punya panu di punggungmu ya?” ejek pria berkumis tebal.
“Enak aja, walaupun orang kampung, aku selalu menjaga kebersihan kulitku.” Marina melotot marah pada keempat pria itu.
“Kalau begitu, tunggu apa lagi, segera kenakan bikini itu! Tunjukan pada kami kalau kamu nggak panuan! Atau, kamu mau gadis lain yang menjadi model iklan kami?” ancam Roland.
Marina segera menuju kamar di ujung ruangan untuk mengganti busana kasual dengan bikini. Ia tak mau kehilangan kesempatan emas ini. Beberapa saat kemudian, ia keluar kamar dengan malu-malu. Tangannya berusaha menutupi bagian tubuhnya yang terbuka. Sayangnya, tangan Marlina kurang lebar untuk menutupi keindahan yang seharusnya dipersembahkannya bagi pria yang berhak menikmatinya.
Para pria bejat telah dirasuki napsu insani paling primitif. Mereka menyerbu tubuh indah Marlina, lantas meneguk anggur terlarang yang milik gadis itu. Harga diri Marina ditelan bulat-bulat oleh rombongan serigala rakus itu. Marlina pingsan, tak berdaya melawan empat pria kesetanan.
Tatkala siuman dari pingsannya, Marlina menjerit. Tapi, hanya seekor tikus besar yang mendengar jeritan Marlina. Keempat pria mesum telah menghilang dari gedung tua. Marlina bangkit perlahan, terpatah-patah mengenakan busananya. Sekujur tubuhnya terasa nyeri, sedangkan perih di hatinya lebih tak terperi.
Selama beberapa hari, Marina termangu di kamar kost yang sempit. Uangnya tinggal sepuluh ribu rupiah. Sementara panggilan untuk membintangi iklan ataupun sinetron tak pernah menghampirinya.
Tiba-tiba, Marlina teringat kartu nama milik salah satu sutradara Production House terkemuka. Pria tua itu berjanji akan memberi peran untuk Marina asalkan gadis itu bersedia menggenapi malamnya. Saat itu, Marina menolak keinginan si pria tua dengan tegas. Namun, kini kondisinya sudah berbeda. Mahkota Marlina telah direnggut sekumpulan serigala jahat. Tak mengapa bila ia persembahkan dirinya yang ternoda pada tua bangka itu.
“Om Tino, apa kabar? Marlina kangen Om. Kapan kita ketemu?” Demikian bunyi pesan singkat Marlina kepada sutradara tua.
Marlina tak harus menunggu lama. Beberapa saat kemudian, sutradara tua menghubunginya. Mereka sepakat untuk bertemu di sebuah hotel melati. Sutradara tua akan mengirim taksi untuk menjemput Marina karena gadis itu mengeluh tak punya uang.
Ternyata sutradara itu berbohong. Marina hanya diberi peran figuran seperti biasanya. Namun, sutradara itu memberinya uang yang cukup untuk kebutuhan hidup sebulan. Demikianlah awal karir Marina sebagai ‘penggembira’ sutradara maupun pemilik produktion house. Guna bertahan dalam jeram kehidupan metropolitan, Marlina mengabaikan norma sosial dan agama.
Dering HP membuyarkan lamunan Marina. “Kamu sudah siap? Sebentar lagi aku kirim sebuah mobil sport untuk menjemputmu. Acara kita dihadiri sosialita ibu kota, jadi kamu harus tampil gaya. Kalau bisa, sekarang saja kamu tunggu mobil di depan gang. Terima kasih ya sayang.” Telepon langsung ditutup Om Hasto, tanpa memberikan kesempatan pada Marina untuk menjawab.
Marina mengenakan sepatu buatan Italia yang dibelikan Om Hasto. Ia mematut diri sekali lagi di muka cermin. Dirinya tampak anggun dalam balutan adibusana karya desainer papan atas.
“Aku memang terlahir untuk menjadi terkenal,” gumam Marlina seraya menggenggam clutch mahal yang juga dibelikan Om Hasto. Bagi Marlina, pertemuan dengan Om Hasto sebulan lalu adalah de javu. Om Hasto kerap muncul dalam mimpi Marlina, mimpi menjadi artis terkenal.
Sebuah mobil sport warna merah, muncul di muka gang sempit. Sopir turun dari mobil lalu membukakan pintu belakang untuk Marlina. Gadis itu melangkah anggun ke dalam mobil, seolah sedari lahir telah mengendarai mobil mewah.
“Mbak, ada titipan dari Pak Hasto. DP honor untuk peran utama di sinetron. Beliau minta, uang itu dihitung di rumah saja, seusai acara. Semoga Mbak berkenan dengan usulan beliau,” kata sopir dengan intonasi rendah.
“Iya, saya tak akan terburu-buru membukanya,” tegas Marlina penuh wibawa. Ia mulai membiasakan diri berperilaku layaknya kaum berada.
Mobil mereka kini memasuki pelataran hotel. Seorang petugas hotel membukakan pintu mobil yang ditumpangi Marlina. Pria itu membungkuk sopan. Marlina mengangguk lalu melangkah anggun di atas karpet merah hotel. Tangannya menggenggam clutch dan amplop cokelat tebal yang berisi honornya.
“Ah Marlina, akhirnya kamu datang juga.” Om Hasto merangkul Marlina dan melayangkan ciuman pipi kiri-kanan ala selebriti. Mereka memasuki restoran Italia yang terletak di sayap kiri hotel. Tampilan restoran tampak meriah dengan hiasan pesta tahun baru. Grup Band papan atas ibu kota menyanyikan tembang andalan mereka di panggung hiburan.
“Kenalkan, ini Bung Ray, sutradara sinetron yang mumpuni.” Om hasto memperkenalkan pria yang duduk seorang diri di meja bundar kepada Marlina. Mereka menemani pria yang tampak pendiam itu di mejanya.
“Sudah terima honormu?” tanya Om Hasto sambi mengajak Marlina bersulang.
“Sudah Om, terima kasih.” Marlina mengangkat gelas cocktail di hadapannya lalu bersulang dengan Om Hasto. Kepala Marlina terasa berat setelah meneguk separuh isi gelas itu. Dia tak terbiasa dengan minuman beralkohol. Marlina mulai menguap. Gadis itu berusaha menegakkan kepalanya, namun rasa kantuknya bagai lumpur penghisap kesadaran.
Dalam kondisi nyaris tertidur, Marlina mendengar keributan di sekitarnya. Sayup terdengar teriakan Om Hasto. “Saya hanya pemakai, gadis itu pengedarnya! Silahkan cek amplop yang dibawanya!”
Seorang wanita berambut cepak menyeret Marlina keluar ruangan. Sementara Om Hasto dan sutradara sinetron juga digelandang keluar ruangan oleh sepasang pria berbadan tegap. Marlina tertatih mengikuti langkah wanita itu. Dalam kondisi setengah sadar, ia merasa kilatan lampu blitz kamera wartawan menghujani dirinya.
“Ah, akhirnya aku menjadi artis terkenal,” racau Marina.
Marlina benar. Keesokan harinya, ia jadi terkenal di seantero jagad. Foto dirinya terpampang di media cetak maupun media online. Di bawah foto dirinya, tersemat judul berita berukuran besar : ARTIS PENDATANG BARU DITAHAN POLISI KARENA JADI PENGEDAR NARKOBA.
Bogor, 30 Desember 2014
Catatan :
Tadi siang, saya tercenung saat baca tulisan Mbak Ifani yang cantik. Judulnya artis pamer kekayaan (Kompasiana, 6 Mei 2015). Tulisan yang fenomenal bagi saya. Dalam jangka sehari telah tayang seribuan kali. Nah cerpen ini senada dengan tulisan mbak Ifani. Mumpung lagi happening, saya posting aja cerpen ini.
Ilustrasi milik Kapanlagi.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H