Sumber : Tribunews.com
Keluarga kami tertimpa musibah. Ibuku berusaha tegar saat menerima tetamu. Demikian pula ayahku. Begitu banyak tamu yang datang ke rumah kami. Para tetangga. Keluarga besar dari kampung. Rekan kerja ibu dan ayah. Para wartawan. Semuanya tumpah ruah ke rumah duka untuk berbelasungkawa, atau sekedar mendapat berita hangat dari tangan pertama. Aku adalah sosok terabaikan dalam hiruk pikuk rumah kami. Bukan masalah besar. Karena aku sudah terbiasa jadi anak kedua. Kedua secara harfiah, maupun maknawiah. Mas Bayu, kakak sulungku, adalah cahaya mercusuar keluarga kami. Selalu rangking pertama dari TK hingga SMA. Peraih medali emas olimpiade fisika tingkat nasional. Berhasil menjadi mahasiswa sebuah PTN bergengsi di ibu kota tanpa tes. Penghapal Al Quran. Senantiasa mendirikan sholat wajib berjamaah di mushola. Rajin membantu pekerjaan rumah tangga. Silahkan sebutkan seluruh kebaikan yang ada di muka bumi ini, mayoritasnya dimiliki oleh Mas Bayu. Wajarlah bila orang-tua lebih memerhatikan kakakku. Aku, si anak kedua, memang tak layak dibanggakan. Aku lancar membaca saat kelas 2 SD. Jangan kau tanyakan rangkingku. Bisa naik kelas saja aku sudah bersyukur. Ibu harus melotot serupa ikan mas koki setiap menyuruhku sholat wajib. Hapalan Al Quran-ku hanyalah surat-surat pendek semacam triple Qulhu. Aku lebih suka menggambar daripada membantu pekerjaan rumah tangga. Sungguh, aku hanyalah pecundang. Rupanya, Tuhan pun mencintai Mas Bayu. Yang Maha Kuasa tak ingin Mas Bayu berlama-lama di dunia yang penuh tipu daya ini. Sebulan lalu, Mas Bayu pulang ke Istana Keabadian. Ia pergi dengan cara mengenaskan. Tenggelam di danau kampusnya. ‘JUARA OLIMPIADE FISIKA TEWAS BUNUH DIRI’ demikian judul berita di halaman depan koran-koran ibukota. Konon Mas Bayu menenggelamkan diri sambil menyandang ransel berisi batu bata. Menurut keterangan beberapa teman kost-nya, Mas Bayu tampak murung beberapa hari sebelum jasadnya ditemukan polisi. “Anak saya tak mungkin bunuh diri. “ Ibuku nyaris histeris di depan Polisi Penyidik. “Kami belum menyimpulkan anak Ibu bunuh diri. Itu hanya asumsi wartawan. Biasalah, demi meningkatkan oplah,” hibur Briptu Sulaiman. “Pintar sekali mereka mengail di air keruh.” Ibuku meremas-remas tissue untuk melampiaskan kemarahannya. “Kami akan melakukan pendalaman kasus, Bu. Insya Allah, beberapa saat lagi kita bisa mengetahui kebenarannya. Apakah anak Ibu bunuh diri atau dibunuh.” Janji Briptu Sulaiman sedikit menenangkan perasaan ibuku. Polisi Indonesia memang trampil menguak misteri pembunuhan. Seminggu kemudian, ayahku mendapat telepon dari Polda Metrojaya. Pembunuh Mas Bayu berhasil ditangkap. Kini, tersangka diamankan dalam penjara di Markas Polda Metrojaya. Kami segera berangkat ke Jakarta memakai pesawat untuk melihat sosok pembunuh Mas Bayu yang kami cintai. Kami? Hei, kalian jangan mengira aku iri pada Mas Bayu hingga membencinya. Mas Bayu sangat baik kepadaku. Ia selalu menghiburku saat dimarahi ayah atau ibu. “Percaya deh Tian, kamu bakal jadi pengusaha sukses. Kamu tuh kreatif, pinter gaul dan berintuisi tajam. Met Ultah ke-17. Sukses ya, Bro!” Demikian isi greeting card dalam hadiah ulang tahun yang dikirim Mas Bayu dari Jakarta. Hadiah terakhir dari kakak kesayanganku. Mungkin kamu belum tahu, aku merancang t-shirt dan sepatu kasual yang dipasarkan secara online. Kamu akan terkejut bila mengetahui jumlah tabunganku di Bank Negara. Yang jelas, aku bisa membeli satu unit city car secara kontan. Ssst...jangan sampai kedengaran ibuku. Bisa-bisa aku dilarang berbisnis karena harus serius belajar untuk menghadapi UAN. Huh, persetan dengan UAN. Pukul 16.00 petang, kami tiba di Markas Polda Metrojaya. Polisi mengijinkan kami menemui tersangka sepanjang kami tidak bertindak emosional. Kini, kami berhadapan dengan tersangka pembunuh Mas Bayu. Dia masih muda. Usianya sekitar duapuluh tahun. Wajahnya mencerminkan ketakutan. Kedua tangannya diborgol. “Kenapa kamu bunuh anakku?” tanya ibuku dengan suara bergetar. “Maaf, saya nggak sengaja,” kata pemuda itu dengan suara pelan. Ia tak berani menatap wajah ibuku. “Apakah...apakah kamu tidak takut pembalasan Allah uh...” Ibuku tak sanggup menahan tangisnya. Ia menumpahkan tangisnya dalam pelukan ayah. Polisi segera menghentikan pertemuan kami dengan tersangka. Pemuda itu digelandang kembali ke dalam sel-nya, sedangkan ayah memapah ibu keluar markas polisi. “Dia harus dihukum seberat-beratnya,” gumam ibuku berulang-kali “Percayalah Bu, Undang-Undang di negara kita telah menetapkan hukuman yang adil bagi para pelaku kriminal. Yang penting, pembunuh anak kita sudah tertangkap. Kita harus ikhlas menerima takdir ini. Biarkan Bayu beristirahat dengan tenang di alam sana. Aku yakin, Tuhan memberinya pembaringan yang nyaman. Balasan atas seluruh kebaikannya selama di dunia.” Ayah berusaha menenangkan perasaan ibuku. “Aku mau langsung pulang ke Semarang,” kata ibuku. "Ya, aku juga malas nginap di sini,” imbuh ayahku. “Hm, aku mau tinggal di sini selama beberapa hari.” Pernyataanku mengejutkan ayah dan ibu. “Ngapain kamu di sini?” tanya ayah, bingung. “Tian mau survey universitas swasta. Buat jaga-jaga aja. Siapa tahu nggak lolos SBMPTN.” “Hm, ya sudah, kalau begitu kamu diantar dulu ke rumah Lek Sugeng di Kelapa Gading. Dari sana, ibu dan ayah meluncur ke Bandara Suta,” kata ayahku. Thanks God, ayah menerima alasanku. Keesokan harinya aku segera melaksanakan rencanaku. Aku menemui tersangka pembunuh kakakku. Berbincang sejenak dengannya. Lalu meluncur dengan taksi ke Tanah Abang. Menemui mitra bisnisku, pemilik kios yang menjual aneka kaos polos. Mitra bisnisku adalah ‘penjaga keamanan’ alias preman Tanah Abang. Aku mengenalnya melalui Komunitas Wirausaha Muda. “Aku ikut berduka-cita,” kata Bang Pitung. Pemuda bertato itu merangkulku. Matanya berkaca-kaca. Sobat, mungkin kamu belum tahu. Kadang empati orang-orang macam Bang Pitung lebih besar daripada ‘kalangan terhormat’. “Terima kasih, Bang. Kedatanganku ke sini justru mau minta bantuan Abang.” Aku menceritakan rencanaku pada Bang Pitung. Preman Tanah Abang itu segera memahami maksudku. “Oke, kalau begitu kita ke tempat kos-nya Baby aja. Cewek itu pasti bisa bantuin kamu.” Bang Pitung segera menutup kiosnya. Sejurus kemudian, aku telah dibonceng Bang Pitung. Kami bermotor ke ‘tempat kos remang-remang’. Ibuku pasti pingsan bila mengetahui aku berkunjung ke wahana pemuas napsu itu. “Siap, kasih waktu seminggu deh, dijamin dia bertekuk-lutut padaku,” janji Baby. “Oke, kalau kamu berhasil melaksanakan misi ini, aku kasih segini.” Aku mengacungkan sepuluh jariku ke hadapan wajah Baby. “Siip deh.” Baby mengacungkan jempol seraya mengedipkan matanya. “Ngomong-ngomong, kamu nggak minat bobo siang di sini?” Aku tergelak. “Maaf Baby, banyak yang mau aku kerjain,” elakku. Huh, jantungku kok berdebar aneh begini sih. Baby memang cantik dan seksi. Tapi, please...aku tak mau berhubungan dengan cewek macam Baby. Mahal bo. Banyak penyakitnya pula.
****
SEMINGGU KEMUDIAN... Pagi-pagi, ibuku menelepon dari Semarang. “Tian, kamu kok belum pulang? Sudah ketemu universitas yang kamu minati?” “Ehm...i...iya...sudah Bu. Besok deh pulangnya.” “Hei, kedengarannya kok nggak yakin sih?” “Janji deh, Bu. Besok Tian sudah ada di rumah.” Aku menepati janjiku. Pukul 14.00 siang keesokan harinya, aku telah tiba di rumah. Ibuku histeris sewaktu melihat pemuda yang datang bersamaku. “Pembunuh! Kenapa kamu ada di sini?” Ibuku menampilkan Trollface. “Sabar, Bu. Ijinkan kami masuk. Biar Tian ceritakan semuanya.” Untunglah ibuku bisa menahan diri. Kami dipersilahkan masuk. Setelah menikmati minuman dingin dan camilan yang dihidangkan Yuk Narti, aku mulai bercerita. KRONOLOGI PEMBUNUHAN MAS BAYU Sudah lama Reyhan menaruh hati pada Kayla. Gadis tercantik di Fakultas MIPA. Sayang, cintanya bertepuk sebelah tangan. Kayla justru jatuh cinta pada Bayu, adik kelasnya. Ah, gadis mana yang sanggup mengabaikan pesona kakakku? Kayla dan Bayu sering melewatkan waktu berdua. Statusnya sih belum ‘jadian’. Mungkin sekedar TTM. Hal ini memancing kecemburuan Reyhan. Padahal Kayla bukan pacar Reyhan. Suatu hari, Reyhan meminjam buku Pengantar Kalkulus pada Mas Bayu. Tentu saja Mas Bayu meminjamkannya. Reyhan adalah kakak kelas yang dihormatinya. Buku itu berada di tangan Reyhan selama dua bulan. Mas Bayu kelimpungan. Ia membutuhkan buku itu untuk menghadapi UTS. “Maaf Kak Reyhan, bukunya bisa saya ambil?” tanya Mas Bayu, sopan. “Besok deh aku kembalikan,” jawab Reyhan. Setelah menunggu dua hari, buku itu tak kunjung kembali. Akhirnya Mas Bayu menyambangi Reyhan ke tempat kos-nya. Kondisi tempat kos sepi. Hanya ada Reyhan di sana. “Ngapain nyusul ke sini?” tanya Reyhan, bengis. “Saya mau ambil buku, bisa ya Mas?” Mas Bayu memohon dengan mimik memelas. “Ya udah, ikut aku ke kamar!” Mas Bayu mengikuti Reyhan ke kamarnya. Sesampainya di sana, Reyhan membekap mulut Mas Bayu. Kakakku meronta-ronta. Tapi kekuatannya tak sebanding dengan energi setan milik Reyhan. Akhirnya, Mas Bayu terkulai kehabisan napas. Jasad Mas Bayu disembunyikan Reyhan di bawah tempat tidurnya. Reyhan meminjam mobil temannya. Ketika malam tiba, ia membawa jasad Mas Bayu ke danau kampus memakai mobil. Jasad itu terbungkus dalam karung. Agar jasadnya tidak muncul ke permukaan, Reyhan meletakkan batu bata dalam ransel yang disandang Mas Bayu. Kemudian Reyhan menemui Madi, anak penjual gorengan di kampus. Madi dibayar agar menginap di kamar kos Mas Bayu. Juga memegang surat wasiat yang seolah ditulis oleh almarhum. Madi ditangkap polisi karena sidik jarinya ada dalam surat wasiat. “Awas, kalau kamu cerita tentang aku, seluruh keluargamu akan mati. Aku kenal semua preman di sini lho,” ancam Reyhan beberapa saat sebelum Madi ditangkap. Ibu terpana mendengar ceritaku. “Kamu hebat sekali, Tian. Bagaimana kamu tahu bukan Madi yang membunuh Bayu?” Aku hanya tersenyum. Ibu belum tahu bakatku membaca mimik manusia. Saat bertemu dengan Madi di penjara Polda Metro Jaya, aku tak melihat mimik bersalah di wajahnya. Hanya terlihat mimik ketakukan. Maka, aku segera tahu bahwa Madi bukan pembunuh kakakku. Tapi, aku tak mau ibu mengetahui kemampuanku membaca mimik wajah. Bisa-bisa aku disuruh kuliah di Jurusan Psikologi. Padahal aku tak ingin kuliah. Aku hanya ingin mengikuti kursus singkat yang menunjang aktivitas bisnisku. Bagiku, belajar dari kearifan alam lebih menarik daripada sekolah formal. “Yang hebat sih temanku. Dia berhasil membuat Reyhan mengakui perbuatannya.” Aku mengalihkan topik pembicaraan. “Oh ya, bagaimana caranya?” Ibuku menatapku dengan mulut separuh terbuka. “Temanku mengaku sedang menulis buku mengenai pembunuh yang tidak tertangkap polisi. Ia bilang pernah membunuh tapi nggak ketahuan. Jadi, Reyhan menceritakan perbuatannya dengan bangga. Ceritanya terekam dalam penyadap suara yang diaktifkan melalui kartu GSM. Langsung terhubung dengan HP-ku.” “Alatnya pasti mahal. Darimana kamu dapat uang?” Ibu menatapku curiga. Aku salah tingkah. Oh, haruskah aku menceritakan aktivitas bisnisku pada ibuku? “Bu, maaf, kamar kecil di mana ya?” Pertanyaan Madi menyelamatkanku, walau sejenak.
- TAMAT -
Catatan : SBMPTN = seleksi bersama mahasiswa perguruan tinggi negeri Trollface = wajah bengis TTM = teman tapi mesra Cerpen ini pertama kali dimuat di blog pribadi saya ibufabina.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H