Mohon tunggu...
Februadi Bastian
Februadi Bastian Mohon Tunggu... -

an ordinary man, yang selalu belajar memandang sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Bekerja sebagai buruh mengajar di sebuah universitas negeri di Indonesia timur. Memiliki seorang istri yang selalu mendukung dan seorang jagoan yang InsyaAllah akan selalu membanggakan kami. Tinggal di Makassar dan saat ini berdomisili Bogor untuk sementara waktu

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

3 Orang Idiot dan Prof Ng Aik Kwang

31 Oktober 2010   07:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:57 1253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

[caption id="attachment_309285" align="alignleft" width="300" caption="sumber : http://alumni.smadangawi.net/"][/caption] Pasti kita semua mengakui kalau film 3 idiots yang dirilis awal tahun ini adalah film yang bagus, film yang di dalamnya bertebaran pesan2 moral. Film yang menceritakan tentang persahabatan, menceritakan bagaimana melawan ketakutan, bagaimana seharusnya kita mengikuti kata hati, dan mengajarkan kita untuk ikut membantu orang lain mewujudkan impiannya. Film ini juga mengajarkan bagaimana cara belajar yang benar dan bagaimana menikmati proses menimbah ilmu pengetahuan. Selain itu Film ini juga menceritakan bagaimana menyikapi pandangan orang lain mengenai kesuksesan, dimana sebagian besar orang masih beranggapan bahwa sukses itu adalah materi bukan kebahagiaan. Karena sedemikian rupanya lingkungan menerjemahkan kata sukses itu maka berimbas pula pada dunia pendidikan kita. Sudah sering kita mendengar istilah kuliah/sekolah untuk mendapatkan ijazah, ijazah untuk melamar pekerjaan yang bagus, pekerjaan yang bagus akan membuat kita menjadi orang kaya, kaya menjadikan kita terpandang (hehehe). Akibatnya kita  belajar untuk mengejar nilai bukan mendapatkan ilmu. Sy ingat cerita istri saya tentang anak-anak TK yang jadwalnya penuh dengan les, pulang sekolah masuk les membaca, setelah itu les berhitung, setelah itu les bahasa inggris, setelah itu les musik, astagfirullah anak sekecil itu berkelahi dengan waktu (mengutip lirik lagunya Iwan Fals) bayangkan anak TK yang seharusnya waktunya diisi dengan bermain malahan dipaksakan begitu untuk memenuhi ambisi orang tuannya agar anaknya bisa menjadi lebih dibandingkan dengan anak lainnya. Akhirnya anak-anak belajar untuk untuk menghapal bukan lagi memahami pelajaran. Nah beberapa waktu lalu saya menerima email (email ini mungkin sudah beredar di beberapa milis) tentang resensi sebuah buku yang ditulis oleh Prof. Ng Aik Kwang dari University of Queensland. Prof Kwang dalam bukunya yang kontroversial berjudul "Why Asians Are Less Creative Than Westerners" (2001) mengemukakan beberapa hal yang membuka mata dan pikiran banyak orang antara lain :

  1. Bagi org Asia, ukuran sukses dalam hidup adalah banyaknya materi yang dimiliki (rumah, mobil, uang dan harta lain). Passion (rasa cinta thdp sesuatu) tdk dihargai. Sebagai akibatnya, bidang kreatifitas kalah populer oleh profesi dokter, lawyer, dan sejenisnya yang dianggap lebih cepat bisa menjadikan seseorang utk memiliki kekayaan banyak.
  2. Bagi org Asia, banyaknya  kekayaan yg dimiliki lbh dihargai drpd cara utk memperoleh kekayaan tersebut. Tidak heran bila ceritera, novel, sinetron atau film yang disukai adalah yang bertema orang miskin menemukan harta karun, atau dijadikan istri oleh pangeran dan sewjenis itu. Tidak heran pula bila perilaku  koruptif pun ditolerir/diterima sbg sesuatu yg wajar.
  3. Bagi org Asia, pendidikan identik dengan hafalan berbasis "kunci jawaban" bukan pengertian. Ujian Nasional, tes masuk PT dll semua berbasis hafalan. Sampai tingkat sarjana, mahasiswa diharuskan hafal rumus2 Imu pasti dan ilmu hitung lainnya bukan diarahkan utk memahami kapan dan bagaimana menggunakan rumus rumus tersebut.
  4. Karena berbasis hafalan, di sekolah di Asia murid dijejali sebanyak mungkin pelajaran. Mereka dididik menjadi "Jack of all trades, but master of none" (tahu sedikit sedikit ttg banyak hal tapi tidak menguasai apapun).
  5. Karena berbasis hafalan, banyak pelajar Asia bisa jadi juara dlm  Olympiade Fisika, dan Matematika. Tapi hampir tidak pernah ada org Asia yang menang Nobel atau hadiah internasional lainnya  yg berbasis inovasi dan kreativitas.
  6. Orang Asia takut salah (kiasi) dan takut kalah (kiasu). Makanya sifat eksploratif utk memenuhi rasa  penasaran dan keberanian untuk mengambil resiko kurang dihargai.
  7. Bagi org Asia, bertanya artinya bodoh, makanya rasa penasaran tidak mendapat tempat dalam proses pendidikan di sekolah.
  8. Karena takut salah dan takut dianggap bodoh, di sekolah atau dalam seminar atau workshop, peserta jarang mau bertanya tetapi stlh sesi berakhir peserta mengerumuni guru / narasumber utk minta penjelasan tambahan.

Saya melihat banyak kecocokan antara film 3 idiots dan hasil pemikiran Prof Kwang dan hal ini betul-betul cocok dengan keadaaan sekarang, khususnya sistem pendidikan di Indonesia. Entah apakah Rajkumar, sutradara 3 idiots sangat terinspirasi oleh buku Prof Kwang atau keadaan ini memang sangat nyata dan sudah kasat mata. Berapa banyak dari kita yang tidak mencapai cita-citanya sewaktu kecil, atau berapa banyak dari kita yang tidak menjadikan talenta atau keahlian yang diberikan Tuhan untuk dikembangkan, dan berapa banyak dari kita yang cita-citanya dibentuk oleh lingkungan atau orang tua kita? Dalam kehidupan sekarang kita harus bersaing dengan orang lain, Rektor Viru dalam 3 idiots mengatakan  "Hidup adalah sebuah perlombaan, jika Anda tidak cukup cepat, maka Anda akan diinjak-injak"  tidak ada salahnya dari kalimat tersebut, namun ada yang lebih baik selain perlombaan, yaitu "kerjasama!", sangat sukar menemukan sekolah yang mengajarkan kerjasama bagi siswanya, semua diajarkan untuk menjadi nomor satu, Boleh saja Prof Kwang mengatakan bahwa orang Asia kurang kreatif dibandingkan dengan orang Amerika atau Eropa, namun dalam hal kerjasama, bahu membahu dan gotong royong setidaknya orang Asia masih lebih tinggi dibandingkan dengan orang Amerika atau Eropa. Ki Hajar Dewantara meletakkan pondasi dari sistem pendidikan kita berdasarkan asas kerjasama bukan kompetisi atau persaingan, (ingat makna dari semboyan Ing ngarso suntolodo, Ing madya mangun karso dan Tutwuri Handayani?). Namun mau tidak mau sistem pendidikan kita terpengaruh oleh sistem pendidikan global yang mendewakan persaingan, sehingga hampir tiap kelas ruang belajar atmosfir persaingan sengaja diciptakan. Parahnya lagi beberapa sekolah memisahkan siswa-siswa pintarnya dalam suatu kelas khusus, dengan alasan mereka tidak bisa disaingkan dengan murid-murid yang lain yang kurang jenius (nah sekali lagi alasannya persaingan, bukan kerja sama). Akh.. paling enak memang menulis sesuatu kondisi ideal.. biarlah saya belajar banyak dari tulisan-tulisan yang saya buat. Terima kasih telah membacanya... Pendidikan itu adalah seperti menyalakan api, bukan mengisi teko. Artinya pendidikan seharusnya menyalakan inspirasi dan semangat untuk belajar, bukan memenuhi otak dengan hapalan (Socrates 470-399 SM) Bogor, 29 Oktober 2010 Salam Februadi Bastian

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun