Mohon tunggu...
Febri Fitrianingrum
Febri Fitrianingrum Mohon Tunggu... -

Sebut saja Bunga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nelayan dan Nasibnya

30 Desember 2014   10:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:11 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14199119421114126066

800 keluarga tinggal di pinggir Pantai Kenjeran tepatnya di Kelurahan Kedungcowek Kecamatan Bulak, Surabaya berprofesi sebagai nelayan. Ratusan rumah berderet dengan rapat sehingga terkesan padat. Setiap hari kecuali Jum’at mereka melaut dari pukul 11.00 sampai 17.00 WIB. menunggu air pasang, barulah mereka siap pergi untuk melaut.

Mirisnya, setelah saya melakukan tinjauan langsung ke lapangan, kehidupan nelayan tak seasyik perkiraan saya. Di benak saya para nelayan hidup di rumah biasa seperti kebanyakan orang. Namun pada kenyataan di lapangan rumah para nelayan di Kenjeran berbanding terbalik dengan perkiraan saya. Dilihat secara kasat mata, rumah para nelayan ini sangat kecil, sesak, dan kumuh. Lalat pun berterbangan di sekitar beranda rumah hingga tepi jalan.

Saat saya berjalan - jalan di sekitar pemukiman nelayan tersebut, banyak saya jumpai ibu – ibu nelayan yang sedang menjemur ikan hasi ltangkapan mereka. Ada juga yang sedang menjemur kerupuk ikan hasil olahan mereka sendiri. Setelah berhasil mengorek informasi dari mereka, banyak hal yang disampaikan terkesan sebagai curahan hati mereka. Terkait profesinya sebagai nelayan, sebagian dari nelayan ini menggantungkan hidupnya dari hasil laut saja. Tidak ada kerja sambilan lain untuk menutupi kekurangan ekonomi ketika sedang tidak musim ikan seperti bulan-bulan ini.

Padahal, penghasilan seorang nelayan tidaklah tentu setiap harinya. Kadang mereka mendapatakan tangkapan yang banyak, kadang lumayan, dan tidak jarang juga tidak mendapat hasil sama sekali. Namun, perjuangan nelayan kecil ini tidak berhenti sampai disitu. Penghasilan yang rata-rata 100 ribu perhari pun harus dipotong biaya transport dan uang makan ketika melaut. Penghasilan bersih mereka terhitung hanya 65 ribu perhari. Itupun kalau sedang musim ikan, nah jika sedang tidak musim? Bagaimana nasib mereka? Seperti saat ini, di laut sedang musim ikan kakap. Hanya nelayan bermodal besar yang bisa melaut. Nelayan kecil seperti kebanyakan penduduk pemukiman kenjeran ini bisa apa?

Namun, entah mengapa nelayan kecil ini tetap menggantungkan hidup mereka dari hasil tangkapan saja. Sama halnya dengan ibu-ibu kampong nelayan ini, kebanyakan dari mereka masih menggantungkan hidup merka dari hasil laut. Ikan-ikan hasil tangkapan ini diolah menjadi kerupuk. Jika harga ikan murah, maka mereka mampu memproduksi kerupuk. Namun,  jika harga ikan sedang naik, mereka tak dapat memproduksi kerupuk.

Dari hasil wawancara dengan penduduk,  di dapatkan hasil bahwa tingkat pendidikan mereka rendah. Banyak dari mereka yang hanya lulusan SD, atau SMP. Karena keterbatasan biaya, mereka harus dinikahkan. Begitu pula anak – anak mereka hanya lulusan SMA. Banyak pula karena penhasilan orang tua mereka sedikit, anak nelayan ini tidak tamat SMP dan memutuskan untuk bekerja. Demi membantu meringankan beban orang tua.

Hal ini serupa dengan relevansi teori kependudukan Karl Marx di masa kini bahwa tekanan penduduk bukan berasal dari bahanpangan, namun pada kesempatan kerja. Dari teori structural konflik Marx sangat sinkron sekali teorinya dengan kondisi yang terjadi pad hari ini, adanya kesenjangan social antara dua kelas yang berhadap muka dalam kondisi yang tidak terdamaikan ditengah masyarakat hari ini yaitu kelas proletariat (buruh, kaum miskin kota dll) dan kelas borjuasi / pemodal, kelas proletariat  tidak memiliki hak apapun atas alat produksi dan dengan demikian harus menjual satu - satunya yang ada padanya tenaga untuk bekerja kepada kelas borjuasi yang memiliki sejumlah alat produksi yang ada selain kedua kelas itu terdapat pula kelas pekerja yang lain yang belum sepenuhnya kehilangan hak milik atas alat produksi, tapi juga harus membanting tulang untuk penghidupannya yaitu kelas petani, pedagang kecil dan para nelayan.

Solusi yang bisa saya sarankan akan peristiwa terkait adalah perhatian khusus dari pemerintah untuk memperbaiki kondisi lingkungan, ekonomi, dan pendidikan di kampong nelayan Kenjeran, Surabaya. Bisa dimulai dari hal yang terkecil misalnya dengan mendirikan koperasi serba usaha untuk masyarakat nelayan itu sendiri agar bisa terbantu dari segi ekonomi, bisa juga dengan bantuan tabungan pendidikan untuk anak – anak nelayan  yang masih sekolah. Dan penataan lingkungan oleh Dinas Lingkungan Hidup agar pemukiman nelayan ini tertata rapi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun