SETIAP menjelang puasa dan Lebaran, harga komoditas pangan selalu melonjak. Tak terkecuali daging sapi. Jelang Lebaran tahun ini, pemerintah bertekad menjungkirbalikan harga daging sapi menjadi Rp 80 ribu per kilogram dengan operasi pasar murah. Pemerintah juga mensosialisasikan mengenai potongan daging sapi.
Pasalnya, masyarakat dinilai belum mengetahui beragam potongan daging sapi yang berbeda harga, diantaranya: has dalam dan luar (sirloin dan tenderloin), paha depan dan paha belakang (thick Flank dan thick Rib), tanjung (Rump), kepala, buntut, dll.
Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong mengatakan, sapi itu punya bagian tubuh yang berbeda-beda. “Makan (daging sapi) di restoran, café, warung, atau di kaki lima, golongan daging itu beda-beda. Yang paling mahal itu tentunya daging golongan primary cut bisa mencapai Rp 120 ribu – Rp 130 ribu per kilogram,” bebernya dalam acara Kompasiana Nangkring bertajuk “Daging Sapi: Beda Potongan, Beda Harga” di Anomali Coffe, Jakarta, Rabu (22/6).
Terkait penggolongan daging sapi, ada empat bagian (potongan) daging sapi yang perlu diketahui masyarakat yaitu: Primary Cut (Has dalam, Has luar, Lamusir) harganya Rp120 ribu – Rp130 ribu/kg; Secondary Cut Type A-B (Samcan, Tanjung, Sengkel, Gandik, Sampil, Pendasar) harganya Rp80 ribu – Rp115 ribu/kg; Manufacturing Meat (Tetelan 65-95 CL, Daging Dadu, Daging Giling) harganya Rp40 ribu – Rp60 ribu/kg; Fancy dan Variaty Meat (Lidah, Bibir, Buntut, Daging Kepala) harganya Rp65 ribu – Rp 100 ribu/kg. Keterangan gambarnya dapat dilihat pada infografis di bawah ini.
Selain itu, kata dia, untuk mencegah kerusakan struktural sektor peternakan sapi. Harga daging sapi yang tinggi setiap hari besar keagamaan berdampak terhadap pembantai sapi indukan produktif oleh peternak. Pasalnya, ketika sapi indukan produkitif dipotong maka produksi ternak sapi akan berhenti beranak.
Infrastruktur dan efisiensi
Infrastuktur yang tidak memadai dinilai sebagai salah satu penyebab tingginya harga daging sapi di Indonesia. Jarak lokasi penggemukan sapi (feedlot) dengan rumah potong hewan bisa memakan waktu 12 jam karena macet. Infrasturktur di Indonesia kalah dengan Singapura dan Malaysia. “Jarak tempuh dari feedlot ke RPH di Singapura dan Malaysia hanya setengah jam,” kata Thomas.
Selain masalah infrastruktur, masalah efisiensi juga ditengarai mahalnya harga daging sapi di Indonesia. Pria yang akrab disapa Tom itu sempat menceritakan pengalamannya berkunjung ke RPH di Australia. RPH di sana sudah sangat industrialisasi. “Semua pemotongannya menggunakan mesin. Satu pabrik (RPH) bisa mengolah ratusan karkas per jam. Efisiensinya tinggi sekali,” jelasnya.
Pemerintah terus berupaya menekan harga daging sapi terutama di kawasan Jabodetabek dan Jawa Barat. Kedua wilayah tersebut dianggap menjadi acuan harga daging sapi di seluruh wilayah Tanah Air. Jika harga daging sapi di Jabodetabek dan Jawa Barat tinggi, maka harga daging sapi di wilayah lain biasanya turut naik. Sebaliknya, jika harga daging sapi di Jabodetabek dan Jawa Barat turun, maka harga daging sapi di daerah lain ikut turun.
Melepas ego sektoral
Tanggal 11 Juni lalu, empat menteri—Amran Sulaiman (Menteri Pertanian), Thomas Lembong (Menteri Perdagangan), Saleh Husin (Menteri Perindustrian), dan Puspayoga (Menteri Koperasi dan UKM)—bersepakat untuk menstabilkan harga pangan. Sebelumnya ada indikasi bahwa pengendalian harga pangan khususnya daging sapi mengalami kegagalan. Hal itu sempat diakui oleh Thomas Lembong. “Jadi memang benar bahwa saya secara terbuka mengakui bahwa pemerintah telat (impor daging sapi) dalam hal ini. Sekarang kami terutama kementerian terkait sudah sangat cair,” ungkapnya dengan suara sedikit pelan di hadapan para blogger Kompasiana.
Ia mengakui bahwa pemerintah tidak bisa jalan sendiri untuk mencapai target yang diharapkan. Untuk itu, dia meminta kepada para para penulis (anggota) Kompasiana bisa memantau kebijakan pemerintah. “Kami mohon kepada kawan-kawan semua (anggota Kompasiana), presser jangan dilepas, tetap pantau dan kritik kami. Terus tetang itu sangat membantu melepaskan ego sektoral antar kementerian,” pungkasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H