Mohon tunggu...
Febroni Purba
Febroni Purba Mohon Tunggu... Konsultan - Bergiat di konservasi ayam asli Indonesia

Nama saya, Febroni Purba. Lahir, di Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Menempuh pendidikan SD hingga SMA di Kota Medan. Melanjutkan kuliah ke jurusan ilmu Peternakan Universitas Andalas. Kini sedang menempuh pendidikan jurusan Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia. Pernah menjadi jurnalis di majalah Poultry Indonesia selama tiga tahun. Majalah yang berdiri sejak tahun 1970 ini fokus pada isu-isu ekonomi, bisnis, dan teknik perunggasan. Di sana ia berkenalan dengan banyak orang, mengakses beragam informasi seputar perunggasan Tanah Air dan internasional. Samapai kini ia masih rajin menulis, wawancara dan memotret serta berinteraksi dengan banyak pihak di bidang peternakan. Saat ini dia bergabung di salah satu pusat konservasi dan pembibitan peternakan terpadu ayam asli Indonesia. Dia begitu jatuh cinta pada plasma nutfah ayam asli Indonesia. Penulis bisa dihubungi via surel febronipoultry@gmail.com. atau FB: Febroni Purba dan Instagram: febronipurba. (*) Share this:

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Ngopi di Filosopi Kopi

17 Juni 2015   07:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:44 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KEMARIN sore, sekitar pukul lima saya tiba kedai kopi di bilangan Blok M Jakarta Selatan untuk memenuhi janji bertemu dengan beberapa teman. Waktu itu memang jam pulang kantor sehingga banyak pengunjung di situ. Seorang kawan bernama Nura Jamil rupanya sudah berada di Blok M sejak siang. Dia sudah duluan menyeruput kopi latte dihiasi krim bermotifkan bunga.Aku pesan kopi espresso dingin. Ku minum dan rasanya memang nikmat apalagi saat tubuhku kepanasan berkendara melewati macet dari Mangga Dua, Jakarta Utara. Suasana di Kedai kopi ini pun nyaman untuk bersantai ria melepas penat. Kedai kopi itu bernama Filosopi Kopi.

Pemilik kedai Filosopi Kopi ini adalah Rio Dewanto, yang juga aktor dalam filem Filosopi Kopi. Hari itu, Rio Dewanto terlihat sedang ngobrol santai bersama pengunjung di teras kedainya. Semula tak berniat aku untuk mewawancarainya. Tetapi karena kawanku mengajak Rio mengobrol lantas aku pun ikut bertanya beberapa hal kepadanya.  Seorang kawan bernama Ulfa berkata, “Gak nyesal gue datang ke sini karena bisa foto dengan Rio. Ganteng banget dia,” Kata Ulfa.

Memang Rio asyik diajak ngobrol. Dia bicara dengan ramah kepada kami. Strateginya memikat hati pengunjung sudah cakap. Bukan hanya orangnya ramah, Rio juga berwajah ganteng. Selain itu, Rio ternyata punya cita-cita untuk mensejahterakan petani kopi di Indonesia. Dia menilai bahwa petani kopi di Indonesia pada umumnya belum tahu menanam dan menjual kopi dengan baik. Karena itu, Rio bergiat dalam mengedukasi petani-petani kopi. “Kita datang ke daerah-dearah penghasil kopi. Di sana kita mengedukasi petani kopi tenang bagiamana merawat kopi dan menjual kopi yang baik,” tuturnya.

Untuk memperkenalkan aktivitas petani kopi kepada masyarkat, Rio berencana membuat video kegiatan petani kopi di youtube. Bahkan kata Rio, ia ingin bekerjasama dengan stasiun televisi untuk membuat program bertemakan tentang kopi.

Meskipun baru menjadi aktivis kopi, Rio sudah punya banyak rencana mulia dalam membangkitkan kopi Indonesia di mata dunia. Suami Atiqa Hasiolan itu tak sampai hati melihat petani Indonesia kalah saing dengan petani kopi luar negeri khusunya ASEAN. “Dalam menghadapi masyarkat ekonomi ASEAN ini bisa berdampak buruk jika petani kita belum kuat,” kesahnya.

Padahal Indonesia merupakan salah satu penghasil kopi terbesar di dunia. Menurut Rio, potensi kopi di Indoensia belum banyak digali. “Berdasarkan survei tahun 2013, Indonesia nomor empat peneghasil kopi terbesar di dunia. Pertama itu Brasil, kedua Jamaika, ketiga adalah Vietnam. Di Asia kita kalah dengan Vietnam karena secara edukasi sudah sangat maju. Petaninya sudah tahu bagaimana menanam kopi yang baik. Mereka tidak banyak megambil cabang dari batang kopi,” jelas Rio.Idealnya, lanjut Rio, tiap cabang kedua tanaman kopi tidak boleh diambil. “Jadi gak boleh diambil cabangnya secara banyak. 

Sayangnya, petani kopi di Indonesia masih kurang memahami cara merawat tanaman kopi. “Kekurangan petani kita adalah pengen cabangnya banyak supaya buahnya banyak. Padahal ketika cabangnya banyak kualitas kopinya gak baik sehingga kopinya dihargai murah,” ujarnya. Menurut Rio harga kopi telah mengikuti harga standar kopi duni. Ini yang belum dipahami petani kopi.

Mendengar penjelasannya itu, sebagai jurnalis yang tidak jauh dari seputar pertanian. Ku kasih masukan kepadanya, “Bro, cobalah motivasi juga mahasiswa pertanian di Indonesia supaya semangat mereka bertanam kopi. Dorong mereka melakukan penelitian tentang kop-kopi yang ada di Indonesia suapaya nanti menghasilkan kopi ternikmat di dunia. Apalagi masih banyak mahasiswa pertanian kurang atau tidak percaya diri dengan jurusan pertanian,” kataku.

“Oh, iya boleh dicoba,” jawabnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun