Mohon tunggu...
Febroni Purba
Febroni Purba Mohon Tunggu... Konsultan - Bergiat di konservasi ayam asli Indonesia

Nama saya, Febroni Purba. Lahir, di Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Menempuh pendidikan SD hingga SMA di Kota Medan. Melanjutkan kuliah ke jurusan ilmu Peternakan Universitas Andalas. Kini sedang menempuh pendidikan jurusan Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia. Pernah menjadi jurnalis di majalah Poultry Indonesia selama tiga tahun. Majalah yang berdiri sejak tahun 1970 ini fokus pada isu-isu ekonomi, bisnis, dan teknik perunggasan. Di sana ia berkenalan dengan banyak orang, mengakses beragam informasi seputar perunggasan Tanah Air dan internasional. Samapai kini ia masih rajin menulis, wawancara dan memotret serta berinteraksi dengan banyak pihak di bidang peternakan. Saat ini dia bergabung di salah satu pusat konservasi dan pembibitan peternakan terpadu ayam asli Indonesia. Dia begitu jatuh cinta pada plasma nutfah ayam asli Indonesia. Penulis bisa dihubungi via surel febronipoultry@gmail.com. atau FB: Febroni Purba dan Instagram: febronipurba. (*) Share this:

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Relawan dan Gempa 30 September 2009 di Sumbar

8 Desember 2013   07:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:11 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_282536" align="aligncenter" width="300" caption="Bangunan rumah rusak berat akibat gempa (Dok. Pribadi)"][/caption]

Gempa 30 September 2009 (G30S) di Sumatera Barat adalah gempa hebat yang pernah terjadi di ranah Minang Kabau. Sebagian besar masyarakat Sumbar mengira bahwa waktu itu kiamat sudah datang. Aktivitas sekolah, perkuliahan, perkantoran, dll terpaksa diliburkan untuk beberapa waktu.

[caption id="attachment_282542" align="aligncenter" width="300" caption="Gambar bangunan dengan lantai 2 menjadi lantai 1 (Dok. Pribadi)"]

1386462156969701669
1386462156969701669
[/caption]

Saat itu saya ngekos di Kota Padang dengan status sebagai mahasiswa. Tidak sedikit kawan-kawan mahasiswa asal luar Sumbar hengkang ke kampungnya masing-masing untuk sementara waktu. Di usia 18 tahun  waktu itu, saya memilih untuk tinggal di Kota Padang dan menolong korban gempa ketimbang pulang kampung. Saya adalah mahasiswa Universitas Andalas, Padang, angkatan 2008, asal Medan, Sumatera Utara. Bagi saya menjadi relawan bukanlah sekadar menghadapi tantangan lebih dari itu relawan adalah soal panggilan hati untuk melayani sesama manusia.

[caption id="attachment_282541" align="aligncenter" width="300" caption="Bangunan rata dengan tanah di Koto Tinggi, Pariaman (Dok. Pribadi)"]

1386461929301152124
1386461929301152124
[/caption]

Sempat terpikir pulang kampung seperti banyak rekan-rekan mahasiswa lainnya yang memilih pulang dan kembali saat keadaan mulai kondusif. Bahkan beberapa mahasiswa hengkang dari kampus, alias pindah.  Tapi saya pilih untuk tidak pulang. “Saya harus tolong saudara-saudara saya di sini,” kata suara hati. Saya senang ketika orang tua pun mendukung saya menjadi relawan, tentu dengan nasihat agar saya lebih berhati-hati—karena diperkirakan akan ada gempa hebat  mengguncang Sumbar.

Gempa berkekuatan 7,6 Skala Richter (SR) itu meluluhlantakkan Sumatera Barat khususnya di Kota Padang, Kabupaten Pariaman, Agam dan Solok Selatan. Ribuan tempat tinggal hancur dan ratusan orang meninggal dunia. Rumah Sakit (RS) juga rusak di guncang gempa, korban yang luka-luka terpaksa dirawat seadanya. Di hari pertama saat gempa, saya dan beberapa kawan mengunjungi RSYos Sudarso di Kota Padang. Suasana di RS tersebut sangat menyedihkan. Sejumlah mayat baris tergeletak di halaman RS. Sejumlah korban terluka akibat reruntuhan gempa terpaksa menahan sakit karena harus mengantri ditangani petugas kesehatan.  Luka ringan hingga luka parah seperti: anggota tubuh (kaki, tangan, badan, kepala) pasien luka-luka dan terpaksa dijahit tanpa bius. Salah seorang teman saya terpaksa jari kakinya diamputasi.

[caption id="attachment_282538" align="aligncenter" width="300" caption="Bantuan baru tiba (Dok. Pribadi)"]

13864615941365088316
13864615941365088316
[/caption]

Melihat kurangnya tenaga kesehatan saya dan teman-teman memutuskan untuk tinggal selama 10 hari di RS Yos Sudarso. Suara teriakkan dan tangisan menyelimuti RS. Dengan jumlah dokter dan perawat tidak seimbang dengan korban (pasien) kami turut membantu: menggendong korban ke luar-masuk kamar mandi dan membantu makan-minum.

Setelah hari ke-11 saya dan kawan-kawan berangkat ke desa Koto Tinggi (Kab. Pariaman), salah satu daerah terparah. Ada 3 desa yang hilang akibat longsor yang berasal dari gempa. Saat kami ke sana masih ada beberapa petugas berusaha mengangkat korban jiwa terkena longsor tersebut. Jalan menuju desa tersebut macet karena banyak relawan dan petugas penanggulangan bencana (Tim Sar, BNPB, TNI/Polri) masuk untuk segera mengevakuasi korban. Sejumlah relawan yang membawa bantuan sepertinya tidak habis-habisnya. Tetapi kebutuhan warga korban gempa jauh lebih banyak sehingga esok harinya kami kembali mengirim bantuan ke daerah tersebut.

[caption id="attachment_282534" align="aligncenter" width="300" caption="Periksa kesehatan kepada masyarakat dengan tim dokter muda (Dok. Pribadi)"]

13864610451208181393
13864610451208181393
[/caption]

Setelah beberapa lama pasca gempa beragam penyakit mulai menyerang banyak warga. Kebutuhan tenaga kesehatan sangat dibutuhkan. Dan salah satu lembaga sosial menugaskan saya untuk menjemput para relawan kesehatan (dokter dan perawat) di bandara. Mereka datang dari berbagai daerah Indonesia, diantaranya: Medan, Jakarta, Bandung, Makassar, NTT, Papua, dll. Mereka semua adalah orang-orang muda—putra dan putri—Indonesia. Keindonesiaan betul-betul nyata di mana ada saling tolong-menolong tanpa pandang perbedaan.

[caption id="attachment_282535" align="aligncenter" width="300" caption="Longsor akibat gempa (Dok. Pribadi)"]

1386461291759034944
1386461291759034944
[/caption]

Pengalaman menjadi relawan mengajari saya tentang ketulusan hati menolong sesama manusia. Tak peduli agama atau sukunya apa. Melayani adalah panggilan mulia dari Tuhan kepada setiap manusia. Barangkali Tuhan mengajarkan kepada kita apakah kita masih mau peduli kepada orang lain.

Relawan pada hakikatnya adalah bekerja secara rela tanpa berharap imbalan dalam bentuk apapun. Rela memberikan diri untuk menolong sesama, baik daya maupun dana. Saya tahu ada orang yang jadi relawan dengan motivasi imbalan atau karena ingin mendapat pengalaman untuk ditempelkan pada daftar riwayat hidup (curriculum vitae).

Kebahagian menjadi relawan ketika memberikan sesuatu yang dimiliki sesorang untuk menolong orang lain tanpa ada maksud apa-apa. Apalagi sekadar ikut-ikutan atau mencari keuntungan pribadi.

[caption id="attachment_282540" align="aligncenter" width="300" caption="Berbagi bantuan kepada masyarakat korban gempa (Dok. Pribadi)"]

1386461847614762690
1386461847614762690
[/caption]

Selamat hari Minggu. Semoga bermanfaat.

Jakarta, 8 Desember 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun