Siang itu, tak biasanya anak perempuan saya yang berusia 3 tahun mau bermain dan berbaur dengan riang di sebuah taman bermain yang riuh. Anak yang biasanya malu-malu itu sampai tak menghiraukan panas terik matahari yang rasanya seolah persis di atas kepala kami kala itu. Tidak hanya ceria dan mau bermain bersama teman baru dengan cepat, ia pun mampu mempraktikkan salah satu ilmu penting yang selama ini saya dan istri saya ajarkan kepadanya, mengantre.
Berkali dia naik dan berseluncur di perosotan yang tersedia dalam antrean dan giliran yang cukup teratur dengan diiringi gelak tawanya yang khas. Bahagia yang tak terkira! Pola yang terus berulang sampai seorang anak dengan usia menjelang remaja menyerobot antrean persis di depan anak saya. Tak terbayang, panasnya cuaca ditambah panasnya hati; ingin rasanya memaki anak yang jauh lebih tua itu, tetapi saya putuskan untuk fokus pada respon anak saya; saya pun tidak salah. Hasil tak akan mengkhianati proses.
Didikan yang saya dan istri berikan pun terbayar; anak saya mampu menerima "kekalahan" tersebut melalui pilihannya untuk tetap bermain perosotan yang ia sukai  dengan dibingkai rasa sukacita yang masih seperti semula.
Anak mungil ini mengingatkan saya bahwa mental pemenang itu haruslah kita miliki jika kita ingin terus melaju meraih apa yang menjadi tujuan kita. Kemudian, seperti sukacita yang tetap anak saya rasakan, sukacita dan kebahagiaan manusia pada umumnya adalah perihal pola pikir; sekalipun hak kita dirampas, dengan pola pikir yang tepat sesuai kebutuhan dan konteks yang melekat pada diri kita, kebahagiaan tentu dapat kita raih.
Selain itu, mengalah di saat yang tepat adalah bentuk kebijaksanaan yang membawa damai untuk banyak pihak. Bisa dibayangkan, apabila anak saya memutuskan untuk menangis (yang sesungguhnya adalah respon wajar), ada kemungkinan saya akan merasa marah dan memaki anak tersebut; keributan pun terpicu, dan tidak menutup kemungkinan akan ada video viral perkelahian dua bapak di sebuah taman bermain kecil. Norak dan konyol! Yang mengerikan, kemungkinan akan adanya trauma pada diri anak saya dan si anak penyerobot tadi.
Singkatnya, saya sangat bersyukur karena dapat menyaksikan pertumbuhan mental anak saya yang juga membuat saya sendiri semakin bertumbuh dan tidak salah langkah. Perihal anak penyerobot tadi? Ya, seharusnya memang tetap ditegur, tetapi prioritas saya saat itu adalah memastikan keamanan dan respon anak saya yang pada akhirnya membuat saya terkesima dan tersenyum bangga. Ah, sudah. Saya jadi mesam-mesem sendiri saat ini... jadi malu... eh, bangga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H