Indonesia adalah negara demokrasi terbesar dengan pemilihan langsung paling unik di dunia. Negara super hero Amerika, membangun demokrasi susah payah selama ratusan tahun dengan tingkat kecerdasan di atas rata-rata tidak mau menerapkan demokrasi langsung dalam memilih pemimpin bangsa. Harapan rakyat ketika pesta demokrasi digelar ini sebuah kebahagian besar yang dirasakan rakyat yang bisa secara langsung mengikuti pemilihan secara terbuka demi mendapatkan sosok pemimpin amanah dan bertanggungjawab terhadap kebutuhan rakyat.Dengan kata lain, fungsi utama demokrasi bagi masyarakat adalah untuk memilih dan melakukan pengawasan terhadap wakil-wakil mereka. demokrasi merupakan ekspresi paling nyata dari kedaulatan rakyat sehinggah rakyat khususnya di daerah tidak hanya menjadi penonton dan korban politik tapi ikut menentukan masa depan mereka dan daerahnya.Namun realitanya teknis di lapangan berbeda dengan hasrat demokrasi itu sendiri. Wujud konkrit dari wajah demokrasi saat ini hanya kepentingan pragmatis saja. Pada saat pemilu berlangsung politik pencitraan “membabi buta”, cara kotor pun dilakukan untuk menarik simpati bangsa. Masyarakat akan menonton segala sandiwara ini ketika pemilu ini berlangsung. Permasalahan terus saja mengalir deras dan selokan pun tak mampu menampungnya. Hingga jadi sebuah kubangan besar yang penuh kotoran. Apa yang perlu di benahi agar wajah demokrasi masa depan sedikit bahagia Karena demokrasi sebuah alat menuju kesejahteraan rakyat.
Perubahan yang terjadi dalam sebuah demokrasi masih bergerak pada tatanan politik pemerintahan secara prosedural bukan pada struktur sosial secara trasformatif menuju konsolidasi demokrasi dan begitulah kenyataan wajah demokrasi indonesia.Selama ini sering kita mendengar, orang–orang yang dikenal sangat berhasil saat memimpin lembaga, instansi atau perusahaan, ternyata saat menjadi pemimpin eksekutif pemerntahan tidak bisa berbuat banyak untuk rakyat. Bahkan mereka sering membuat rakyat menderita. Sebabnya seragam, tiga tahun pertama sibuk memngembalikan utang atas modal kampanye, dua tahun terakhir sibuk mempersiapkan Pemilu, selama lima tahun pemerintahannya harus membuat kebijakan–kebijakan “pro pasar” karena keberhasilannya terpilih tak lepas dari peran serta mereka dan inilah realitas dalam kehidupan demokrasi di Indonesia.
Proses politik boleh jadi tarik menarik demi mencapai suatu hasil yang diinginkan, politik sejatinya memperjuangkan hal yang baik-baik. Baik menurut dia baik menurut kelompoknya tapi jarang dan sulit untuk baik bagi semuanya. Jadi perjuangkalanalah hal-hal baik secara politik karena yang bisa merubah nasib suatu kaum adalah kaum itu sendiri.
Segala kekurangan terhadap mekanisme yang dibangun, Indonesia menjadi contoh di mana kekuasaan hanyalah menjadi mainan anak-anak yang dapat dibongkar pasang bergantung keinginan dan restu pimpinan partai politik. Kosongnya regulasi dalam mekanisme pemilihan kepala daerah telah dimanfaatkan sedimikan rupa oleh parah aktor di daerah, untuk mempertahankan kekuasaan tanpa batas waktu.Kesewenang-wenangan kepala daerah dalam melakukan mutasi PNS akan dapat mengurangi kualitas kinerja PNS itu sendiri dalam menjalankan Roda pemerintahan Misalnya, saat pelaksanaan pilkada, Kepala daerah yang ingin mencalonkan lagi untuk kedua kalinya merupakan ancaman bagi para PNS yang harus mengikuti keinginannya, jika tidak diikuti jabatan mereka dipertaruhkan singkat cerita mereka dimutasi di tempat yang terpencil. Pilihan yang sulit ketika pegawai negeri sipil sebagai abdi negara harus dibenturkan dengan pilihan kepentingan politik. Contoh kasus http://kaltim.tribunnews.com/2012/03/04/pemimpin-beda-kualitas-mutasi-di-pemkab-nunukan-masih-sama dan http://kaltim.tribunnews.com/2012/03/02/dprd-nunukan-diminta-panggil-baperjakat, Ini adalah regenerasi politik didasarkan pada ikatan genealogis. Bila dibiarkan, kondisi akan semakin kronis dan membuat gurita di kalangan PNS yang syarat KKN dan sekarang berkembang pada tingkat daerah dengan memanfaatkan loop hole otonomi daerah.Pada dasarnya Pegawai Negeri Sipil (PNS) di negara manapun mempunyai tiga peran yang serupa. Pertama, sebagai pelaksana peraturan dan perundangan yang telah ditetapkan pemerintah. Kedua untuk mengemban tugas ini, netralitas PNS sangat diperlukan. Ketiga, melakukan fungsi manajemen pelayanan publik. Ukuran yang dipakai untuk mengevaluasi peran ini adalah seberapa jauh masyarakat puas atas pelayanan yang diberikan PNS.
Namun demikian, pengisian jabatan-jabatan struktural di daerah sangat rentan dipengaruhi oleh kepentingan politik dan subyektifitas kepala daerah sebagai pembina pegawai negeri sipil (PNS) di daerah. Sedangkan sistem Manajemen Kepegawaian sesuai dengan Penjelasan UU Nomor 32 Tahun 2004, menyatakan bahwa kondisi pemerintahan saat ini tidak murni menggunakan unified system namun sebagai konsekuensi digunakannya kebijakan desen-tralisasi maka dalam hal ini menggunakan gabungan antara unified system dan separated system, artinya ada bagian kewenangan yang tetap menjadi kewenangan pemerintah, dan ada bagian-bagian kewenangan yang diserahkan Bupati untuk selanjutnya dilaksanakan oleh Pembina Kepegawaian Daerah. Manajemen sumber daya aparatur yang meliputi proses penerimaan, pengembangan, promosi, mutasi hingga pemberhentian dan pensiun, sejatinya adalah proses yang harus lepas dari pengaruh politik. Namun, kenyataan menunjukkan hal yang sebaliknya. Pemilukada sebagai mekanisme politik dalam penentuan bupati mempengaruhi netralitas birokrasi yang berujung pada mekanisme promosi dan mutasi jabatan birokrasi.
Sejatinya PNS harus siap menerima sesuatu jabatan harus siap pula untuk melepas jabatan yang didudukinya itu pada suatu waktu tertentu. Bahkan kehilangan jabatan tersebut tidak perlu dikuatirkan. Apabila sistem sudah ditata rapih, setiap PNS tidak perlu mengejar jabatan hanya sekedar untuk mempertahankan kesejahteraan hidup bersama keluarganya. Selain itu, sistem kepegawaian yang memenuhi ketiga kreteria tersebut akan menjaga integritas dan kepribadian setiap PNS yang sangat diperlukan untuk mewujudkan peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa dan negara seperti diamanatkan dalam Undang-undang No. 43 Tahun 1999.
Sikap kolusif dan nepotis cenderung membuat kepala daerah melakukan mutasi PNS motif dari kepentingan politik, akhirnya dampak mutasi tersebut mengakibatkan tiga hal diantaranya pertama, Inkonsistensi pelayanan publik, yakni sering terjadinya perubahan kebijakan dan pelayanan publik. Kedua, Intervensi tidak baik dari pihak yang di mutasikan dan masyarakat sering terjadi kecemburuan sosial, akibatnya profesional pelayanan publik berkurang. Ketiga, Konflik sering terjadi balas dendam ketidak harmonisan pihak yang yang tidak senang terhadap hal tersebut sehinga konsentrasi PNS melayani masyarakat buruk.Jika ditarik benang merah akar permasalahan terjadi karena adanya ambiguitas dalam peraturan-peraturan yang membahas netralitas birokrasi dengan peraturan mengenai pembina pegawai negeri sipil (PNS). Ditambah lagi penentuan pengisian jabatan struktural dan belum bersandarkan pada kompetensi yang dimiliki oleh seorang aparatur.
Netralitas PNS akan sangat sulit ketika seorang kepala daerah tidak memahami atau bahkan tidak tahu mengenai prinsip kepegawaian daerah dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang penyelenggaraan otonomi daerah yang sangat jelas memberikan suatu kejelasan dan ketegasan bahwa ada pemisahan antara pejabat politik dan pejabat karier baik mengenai tata cara rekrutmennya maupun kedudukan, tugas, wewenang, fungsi, dan pembinaannya. Berdasarakan prinsip yang dianut, maka demikian pembina kepegawaian daerah adalah pejabat tinggi karier.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H