Saya tergerak membuat tulisan ini karena kebanyakan rekan saya yang ‘salah alamat’ dalam memilih jurusan kuliahnya. Kenapa kuliah bisa salah jurusan? Apa dulu tidak di pertimbangkan dahulu? Pertanyaan semacam itu dapat dengan mudah saya jawab, karena saya juga salah satu dari sekian jiwa yang ‘nyasar’.
Banyak faktor yang biasanya membuat seorang mahasiswa salah jurusan, mulai dari pilihan orangtua sampai dengan daripada tidak kuliah, dan saya tergolong yang terakhir. Tahun ke dua dan ke tiga menjadi puncak pengujian konsistensi dimana perkuliahan makin padat dan tugas-tugas berdatangan silih berganti bak rintik hujan. Alih-alih ingin belajar agar pintar, justru malah patah arang di tengah jalan. Lha gimana? Wong mengerjakan sesuatu yang tidak kita cintai memang terasa berat. Istilah witing tresna jalaran saka kulina terkadang juga tidak berlaku untuk hal satu itu.
Mahasiswa yang merasa jiwanya tersesat di jurusan yang salah sebenarnya tidak perlu merasa patah semangat. Biarpun nasi sudah menjadi bubur, toh bubur masih bisa dimakan, bahkan Tuhan sudah menyiapkan suwiran daging ayam dan kerupuk agar lebih nikmat. Justru dengan salahnya jurusan kuliah, kita melatih diri di tempa dengan hal-hal diluar batas nyaman, menjadikan diri kita lebih kuat menghadapi dunia kerja. Toh apa yang kita pelajari tidak melulu akan kita aplikasikan sepenuhnya di dunia kerja kelak. Paling tidak, perkuliahan memberikan pola pikir yang berbeda bagi perkembangan otak kita, membuat cara berikir menjadi lebih sistematis.
Menyoal rintangan yang bernama tugas dan skripsi, kerjakan saja semaksimal mungkin tidak perlu ngoyo. Masih ingat tokoh superhero ultraman? dia selalu mendapatkan musuh yang tidak pernah di inginkan, tapi yang saya suka dia selalu menang, meskipun kemenangan didapat setelah alarm lampu merah di dadanya menyala-nyala.
Sekian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H