Memang tak tertahankan sedihnya hatiku ketika kakekku yang kusayangi menghembuskan nafas terakhirnya. Sebuah kejadian yang sangat tak terduga. Karena sebelumnya tak ada tanda-tanda bahwa kunjungannya ke rumah sakit waktu itu merupakan kunjungannya yang terakhir. Beliau kan memang sering check up! Bukan hanya waktu itu saja. Walaupun sempat di kabarkan banyak orang beliau sakit parah, tapi kan belakangan kan ketauan cuma karena sakit gigi saja. Ah, hati ku padahal sudah sempat lega mendengar kabar itu. Walau cuma dari mulut orang-orang yang lewat ditiup angin sampai ke telinga ku. Perjumpaan ku yang terakhir dengan beliau pun tak mengisyaratkan perpisahan. Padahal baru satu minggu yang lalu.
Suara orang yang membacakan ayat-ayat Al-Qur'an semakin memilukan hati ku. Suara itu mengingatkan kebiasaan kakek yang selalu melantunkan susunan huruf ayat-ayat suci itu setiap habis subuh dan maghrib. Aku paling suka biasanya duduk di samping beliau dan menyandarkan kepalaku ke bahu beliau. Wanginya baju dan bau krim rambut beliau yang khas selalu jadi hal yang tak pernah lepas dari beliau. Entah apa yang dioleskan ke rambut yang sebagian putih itu. Kemudian setelah selesai membacakan ayat-ayat suci itu beliau biasanya akan langsung menggeserkan kitab Al-Qur'an tersebut ke arahku. Dan aku biasanya akan dengan suara bergetar pun membaca ayat demi ayat firman Tuhan sekalian alam itu. Beliau pun akan dengan spontan menghentikanku jika bacaan ku kurang tepat. Ah, bersyukur sekali aku mempunyai kakek seorang guru mengaji.
Bukan guru mengaji biasa, kakekku juga sekaligus pemimpin masyarakat. Beliau sangat dihormati dikarenakan kedalaman ilmu agama beliau dan kharisma yang menurutku belum ada tandingannya di kampung ku itu. Murid beliau banyak. Pengikutnya pun banyak. Mereka semuanya pengagum kakekku. Bahkan entah benar atau tidak kakekku bahkan dikabarkan punya kesaktian yang tidak dipunyai orang kebanyakan. Beliau pun dikabarkan selalu diampingi malaikat kemana saja beliau pergi. Ah, ada-ada saja pikir ku! Manusia hidup kan emang selalu didampingi malaikat Raqib dan Atid. Tapi tak urung aku pun jadi tambah bangga sama kakekku itu.
Tapi tetap saja ada orang yang tidak senang dengan kakekku yang suka ceplas-ceplos kalo ngomong. Mereka beranggapan kakekku sering asbun! Asal bunyi! Suka menyindir dan menuduh tanpa berlandaskan bukti yang kuat dalam ceramah-ceramahnya. Bahkan pandangan-pandangan kakekku berkaitan Islam dianggap sering nyeleneh.Pernah ada kejadian di kampungku dimana sekelompok orang mendirikan jamaah sendiri yang berbeda dengan jamaah umat Islam layaknya yang mengakui junjungan Nabi Muhammad sebagai Rasul Allah yang terakhir. Hampir saja mereka dibakar dan dianiaya oleh masyarakat karena tetap berkeras menyebarkan ajaran mereka. Tapi kakekku muncul di depan masyarakat yang emosi dan mengatakan bahwa masalah keyakinan merupakan ranah hak pribadi dan tidak bisa dipaksakan! Masyarakat banyak yang gak habis pikir dengan pendapat kakekku itu. Aku pun juga bingung! Tapi begitu lah kakekku! Mungkin aku aja yang gak ngerti pikir ku. Dan mungkin begitu juga yang ada dalam pikiran murid beliau yang semakin kuat mengaji sama beliau.
Tapi yang membuat aku lebih tidak mengerti lagi adalah sehari setelah meninggalnya kakekku, semua kelompok di kampung ku membicarakan kemungkinan untuk mengangkat kakekku sebagai Pahlawan Kampung. Ada apa ini? Belum jugakering wanginya bunga di makam kakekku semua orang sudah kasak-kusuk. Mereka bilang kakekku harus dinobatkan menjadi Pahlawan Kampung sebagaimana layaknya Sanusi sang Pejuang Kampungku yang berhasil mengusir Belanda dari kampungku. Dan setelah aku amat-amati ternyata tak satupun dari mereka yang mengusung ide tersebut yang merupakan murid kakekku. Bahkan sebagian besar mereka adalah kelompok-kelompok yang selalu keras mengkritik kakekku. Atau paling tidak pemimpin-pemimpin dari kelompok tersebut yang selalu menentang kakekku. Otomatis murid kakekku juga heran. Perlahan sikap mereka pun berubah. Biasanya mereka yang selalu waspada terhadap kelompok tersebut sekarang mulai melunak. "Ah, ternyata Bapak Anu, ternyata Bapak A, gak seperti yang kita pikirkan". "Mereka sangat respek dengan guru kita".
Hari demi hari berlalu, dan kemudian murid-murid kakekku yang jumlahnya begitu banyak mengaji dan selalu datang ke rumah mulai menghilang dan semakin hari semakin jarang berkunjung. Tempat mengaji yang dulu selalu berkumandang ayat-ayat Al-Qur'an mulai sepi pengunjung. Mereka telah terpecah, tak lagi satu tujuan. Mereka masih mengaji tapi bukan tempat kakekku lagi, tapi sudah terpencar ke kelompok-kelompok pengajian yang selama ini menentang gaya pengajian kakekku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H