Mohon tunggu...
Febri Resky Perkasa Siregar
Febri Resky Perkasa Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Warung Kopi

Jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sebelum Menulis: Bercerminlah pada Sastrawan dan Budayawan

3 Januari 2020   19:03 Diperbarui: 3 Januari 2020   19:15 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini hanyalah sebuah tulisan. Mungkin familiarnya bisa disebut Cerpen, Biografi singkat atau apalah. Dan mungkin juga menjadi sebuah renungan.

Singkat cerita ada seseorang yang baru saya kenal dua bulan lalu. Namanya Pak Tjipmangto (nama samaran). Saya tak sengaja bertemu ketika perjalanan pulang dari Jakarta ke Solo menggunakan kereta. Saat itu saya mencari tempat duduk sambil melihat nomor bangku di lembaran karcis. Ketemu, dan mata saya tertuju pada seorang kakek. 

Usianya mungkin sudah hampir 80 tahun. Ia tertegun memandangi suasana stasiun di balik jendela gerbong. Saya pun duduk sambil menyapa dan Ia hanya tersenyum lalu kembali memandangi suasana stasiun. Beberapa menit setelah kereta berjalan saya beranikan diri memulai obrolan. Menanyakan asal dan seputar apa saja. 

Awalnya ia menceritakan bahwa dirinya sehabis melayat kawan lamanya yang meninggal. Setelah itu ia menceritakan beberapa hal tentang dirinya saat jadi eksil di Belanda. Tahun 2006 Ia baru kembali ke Indonesia agar bisa bertemu dengan anak dan Istrinya, namun sayang Istrinya sudah memiliki Suami baru. 

Beliau belum memperkenalkan namanya tapi saya berusaha menebak. Pak "......" ya? Dia hanya mengangguk. Beliau ini ternyata adalah seorang Wartawan Senior, Budayawan, juga Sastrawan pada zamannya. Dari namanya mahasiswa yang kuliah di Jurusan Sastra pun pasti tahu. Tapi saya tetap tulis namanya disini dengan nama samaran Tjipmangto.

Saya pernah membaca tulisan beliau. Puisi, cerpen dan novel banyak ragamnya. Namun, khusus esai atau opini tulisan-tulisannya sarat dengan kritik dan bisa menusuk pembacanya. Tapi beliau menyampaikan bahwa Menulis adalah cara yang tepat untuk jauh dari kedengkian. Sekalipun kita membenci sesuatu itu sebagai obyek menulis alangkah baiknya kita jadikan motivasi atau cukup jadi bahan pemikiran yang 'seharusnya'. Beliau merasa bahwa ketenangan akan datang saat menulis. 

Setiap kata-kata yang silih berganti baik itu diketik atau dibaca akan menjadi 'sesuatu' bagi beliau. Sehari-hari dia hanya menulis dan membaca tulisannya kembali untuk diri sendiri. Temanya tentang apa saja. Sejarah dan Sastra adalah hal yang sering ia tulis sekarang. Baginya itu semacam rekreasi dan refleksi pada dirinya.

Judul buku-buku yang pernah ia tulis sebut saja "Bahasa: Sebuah Identitas", "Asal-Usul Bahasa Indonesia", "Sejarah Kerajaan di Tanah Jawa",  masih banyak buku-buku karyanya yang beredar di pasaran atau tertumpuk di toko buku-buku bekas. Saya juga teringat di di salah satu buku biografinya ia adalah sosok yang cerdas dan idealis menurut rekan-rekannya. Tak banyak omong, bicara hanya seperlunya saja. Oleh karena itu beliau jadi panutan.

Kini, Pak Tjipmangto jauh dari hingar bingar. Seakan-akan  hilang ditelan bumi. Ia pun jarang keluar rumah. Jika di undang oleh rekan-rekannya atau lembaga manapun ia menolak kecuali jika keluarganya atau ada kawannya yang meninggal. Pernah ia ditawari oleh beberapa media dengan macam jabatan dan fasilitas tapi ia tetap menolak. Baginya media-media sekarang sudah tak seperti dulu. Sikap itu memang menjadi prinsipnya kini. Peta politik ditambah lagi dengan perkembangan era digital yang tak karuan semakin mempertegas sikapnya.

Di ujung perjalanan ketika kereta sudah masuk di stasiun Bekasi. Beliau berpesan kepada saya. Jika menjadi penulis harus rendah hati. Jangan sombong. Apalagi menulis dengan tulisan 'tak elok' kecuali tulisan 'tak elok' punya makna sastra, tak apa. 

Sebuah Tulisan menurutnya adalah nurani. Beliau juga menambahkan di era digital sekarang (istilah milenialnya: Era Revolusi Industri 4.0), orang-orang yang membagikan sebuah tulisan atau link berita maupun video di media sosial adalah orang mempunyai niat baik tapi terkadang salah arah dan bisa ganti kelamin kalau lagi nyinyir. Nyinyirnya tentang apa saja terutama terhadap yang dikambing hitamkan.

Menurutnya akan lebih bermanfaat jika yang dibagikan atau ditulis di media sosial itu seperti Tips menanam bonsai, Kiat mencegah banjir, Info bencana, Ucapan selamat ulang tahun, 1001 tips dan trik jadi Pengusaha, Cerita Rakyat, Puisi, Cerpen, Sejarah, Tradisi di daerah-daerah Indonesia. Mendengar ucapan beliau saya jadi berpikir tapi ternyata Pak Tjipmangto sedikit mual menceritakan hal itu. Beliau langsung mengalihkan topik pembicaraan. Perlahan beberapa guyonan tentang masa muda diceritakan olehnya.

Pemandangan terus berganti dari balik jendela gerbong. Tak terasa kereta sudah sampai di pemberhentian terakhir. Saya hanya bisa mengucapkan terima kasih kepada beliau yang sudah menceritakan pengalamannya. Kami berdua keluar dari gerbong. Hari sudah petang, senja tak nampak karena tertutup bangunan. Saya dan beliau akhirnya berpisah di pintu keluar. Saya hanya bisa melihat dari kejauhan semangat beliau yang masih menyala namun disimpan dengan bijak.

Ya, pengarang tangguh dan rendah hati sekelas Pramoedya Ananta Toer, Umar Kayam, W.S Rendra, N. Riantiarno, Nh. Dini dan Tjipmangto yang saya samarkan namanya ini hanyalah beberapa contoh pelaku sastra juga budayawan di Indonesia. Para pendahulu susastra itu membentuk tata laku bahasa komunikasi susastra. 

Setiap penulis mempunyai ciri khasnya masing-masing. Itu sebabnya pula kalau seumpama jadi penulis dilarang sombong, kata perumpamaan bahasa di atas langit ada langit. Apalagi penulis eceran seperti saya, anak bawang warung kopi, suka minjem korek kalau lagi mau ngerokok. Oiya, Pak Tjipmangto hanyalah tokoh fiksi.

Nama Tjipmangto saya ambil dari bahasa England, Chipmunk (tupai) ditambah to he.. he.. he.. biar klasik dan khas Indonesia jadi Tjipmangto. Saya tulis untuk kaum nyinyir agar bercermin. Selamat tahun baru 2020. Semoga langit Jakarta dan sekitarnya memahami.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun