Terjadi lagi, bukan di masjid yang dulu pernah saya ceritakan. Kalau dulu tentang anak kecil yang "dibully" oleh oknum marbot karena adzannya, kini tentang beberapa anak kecil yang bersiul di dalam masjid. Keduanya terjadi di dalam masjid (di antara adzan dan iqomah) dan pelakunya adalah oknum marbot.
Tulisan ini bukan dalam rangka mendiskreditkan marbot atau masjid, bahkan saya pribadi pun memiliki mimpi menjadi marbot kelak apabila mendapat kesempatan dari Allah. Tulisan ini menjadi pengingat buat diri pribadi, dan kita semua, untuk belajar lebih bijaksana dalam berucap, bertindak, dan memutuskan. Terutama dalam kaitan menjalankan peran sebagai pelayan umat.
Timer digital di masjid menunjukkan waktu iqomah kurang dari 1 menit. Saya pun berdiri di dekat salah satu tiang masjid sambil menunggu iqomah. Anak perempuan saya berlari kecil menuju tempat solat khusus perempuan di balik tirai. Tak lama kemudian, sang marbot bersuara keras sambil menengok ke salah satu arah di ruangan masjid. Saya tak ingat apa saja isi kalimatnya. Seketika saya mengikuti arah yang dimaksud oleh tatapan sang marbot. Saya dapati beberapa anak kecil sedang berada di titik tersebut. Tak berselang lama, marbot tersebut berdiri, berjalan ke arah anak-anak tersebut, sembari menyuruh mereka keluar dari masjid. Tak jauh dari anak-anak tersebut, seorang jamaah -yang juga sedang berdiri seperti saya- memberi isyarat lirih ke marbot bahwa mereka masih anak-anak. Di luar ekspektasi saya bahwa kejadian kala itu akan mendingin, sang marbot justru membentak jamaah tersebut dan melanjutkan langkahnya "mengusir" beberapa anak dari masjid. Beberapa anak tersebut terlihat terjungkal ketika melewati pintu masjid. Setelah anak-anak tersebut tak lagi di masjid, sang marbot kembali menyambangi seorang jamaah tadi. Ia melanjutkan menghardik bapak tadi hingga akhirnya imam masjid melerainya meski sebetulnya tak ada perlawanan dari jamaah tersebut selain mengucapkan kalimat kurang lebih: "Koq kamu memarahi saya?".
Lagi-lagi saya teringat dengan kisah seorang wanita yang sedang dalam pencarian ketenangan, yang pada akhirnya ia menghindari masjid. Tentu bukan masjidnya yang salah, tetapi oknum -yang diidentikkan dengan aktivitas masjid- yang kurang menyadari perannya sebagai pelayan umat atau sebagai umat itu sendiri. Pendek cerita, sang wanita tersebut merasakan kegalauan dan ingin mendapatkan ketenangan. Ia, dengan bajunya yang biasa ia kenakan sehari-harinya, mendatangi masjid. Ia berharap, di rumah Tuhan itulah ketenangan akan ia dapatkan. Namun, ia diusir oleh oknum di masjid tersebut karena pakaiannya. Akhirnya, ia menuju ke tempat semacam diskotik. Dan ia mendapatkan ketenangan "versinya" di sana. Ia disambut hangat oleh bartender, dan diberikan segelas welcoming drink. Kehangatan sambutan yang sangat berbeda dengan yang ia dapatkan di  masjid tadi.Â
Kisah yang terjadi pada anak-anak tadi, bisa jadi menyisakan trauma panjang pada kehidupan mereka. Setan yang sudah mengintai dari lama, pasti memanfaatkan momentum tersebut untuk membisiki anak-anak tadi bahwa masjid bukanlah tempat yang tepat untuk mereka. Setan akan membangun wajah masjid sebagai momok dalam angan-angan sang anak. Dan kita bisa membayangkan, apa yang akan terjadi kalau generasi muda enggan menginjakkan kaki ke masjid. Mungkin kejadian tadi hanya sekali, hanya "menghantam" beberapa anak tadi, tapi ruh kisah yang mereka alami akan mereka tularkan ke teman-temannya dan mungkin juga orang tua mereka. Getok tular itu akan menjadikan wajah pusat peradaban Islam menjadi tidak seharum peran seharusnya.
Menilik dari dua kisah, yaitu anak yang dibully oknum marbot dan anak yang diusir oknum marbot, ada satu benang merah yang menyulut oknum-oknum tersebut melakukan hal tersebut. Setidaknya, ini merupakan analisa saya dari kalimat yang mereka gunakan. Untuk anak yang diusir tadi, sang marbot berulang kali mengatakan: "Tak punya adab!". Dan untuk anak yang dibully karena adzannya waktu lalu, sang marbot menyampaikan kalimat larangan beradzan karena anak tersebut belum bisa adzan sebaik ekspektasi marbot. Artinya, ada pemahaman bahwa jamaah yang datang ke masjid (termasuk anak-anak) haruslah sudah "sempurna". Tak ada ruang bagi "ketidaksempurnaan" untuk masuk ke ruang masjid meskipun hanya sebagai jamaah. Dengan kata lain, seolah-olah masjid hanya menerima orang yang "sudah jadi". Masjid tidak menerima orang yang "baru belajar agama" ataupun orang yang sedang berproses mendekatkan diri ke Allah. Fungsi masjid sebagai pusat peradaban telah bergeser menjadi pusat ibadah wajib semata.Â
Dahulu, strategi Rasulullah membangun kota adalah dengan terlebih dahulu membangun masjid. Di masjid itulah ibadah dilangsungkan, aktivitas pembelajaran dijalankan, strategi-strategi memajukan agama didiskusikan, termasuk peluang-peluang pekerjaan disampaikan. Namun, kini masjid hanya dihidupkan di sekitar waktu ibadah wajib. Akhirnya, peran masjid untuk membentuk umat tidak tercapai, yang ada adalah masjid mengharapkan umat terbentuk ideal dengan usaha mereka sendiri. Marbot ataupun masjid belum sempat mengajarkan adab ataupun tata cara memperindah adzan kepada anak-anak yang mendatanginya tetapi sudah menampakkan perlakuan yang tidak menyenangkan yang jauh dari kehangatan.
Pesan bagi para orangtua, mari dampingi anak-anak kita termasuk ketika ke masjid. Kisah-kisah tadi boleh jadi akan datang pada kehidupan anak-anak kita. Pendampingan kita bukan untuk head to head menyerang siapa pun yang berbuat tidak normal kepada anak kita, tetapi lebih kepada memperbesar peluang kita memahami kehidupan anak-anak kita. Kita akan tahu bagaimana perangai anak-anak kita termasuk ketika di masjid. Dan tentu, apabila mereka bersiul atau melakukan hal-hal yang tidak beradab, kita akan menjadi orang pertama yang meluruskannya. Apabila kita "kalah cepat" dengan orang lain, kita bisa memberikan pemahaman yang komprehensif kepada anak kenapa ia diperlakukan demikian oleh orang. Bayangkan anak kita di posisi anak-anak yang saya ceritakan tadi, dan kita tidak berada di situ, kita tidak tahu cerita sesungguhnya. Andai anak tidak menceritakannya kepada kita di rumah, itu akan menjadi masalah bagi perkembangan sang anak dalam kehidupan beragama sebagai muslim. Andai pun anak menceritakan kisahnya kepada kita di rumah, belum tentu beritanya seutuh yang terjadi tadi.Â
Lagi-lagi, saya memilih menyampaikan nasehat melalui tulisan, sebab saya belum mampu menjadi pemberi nasehat secara lisan secara langsung. Nyali saya jauh di bawah Bapak jamaah di tulisan ini yang berani menasehati sang marbot, yang pada akhirnya menjadi sasaran kemarahan oknum marbot.Â
Semoga beberapa pembaca kelak menjadi marbot, atau memiliki masjid, dan memiliki visi yang sama dengan saya bagaimana masjid seharusnya. Pada prinsipnya, sebagai pelayan umat, kita perlu bijaksana dan bersiap menghadapi orang dengan beragam perangai, asal-usul, dan tingkat pemahaman agama.