Mohon tunggu...
Febrio Sapta Widyatmaka
Febrio Sapta Widyatmaka Mohon Tunggu... Lainnya - Warga Negara Biasa

Seorang ayah sekaligus seorang anak, seorang suami, seorang pemimpin meskipun dalam lingkup kecil sekaligus seorang hamba Allah. Tulisan ini hanya sebuah nasehat untuk diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Persepsi: Birokrasi, Koalisi Anies, Honda, dan Indomie

2 September 2023   10:48 Diperbarui: 3 September 2023   09:08 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Persepsi mungkin menjadi hal yang terabaikan oleh sebagian besar kita. Bahkan, mungkin serupa dengan pentingnya tafsir Al Quran yang kadang dianggap tidak vital. Seringkali pemahaman bahwa mendekat ke Allah cukup sekedar membaca kalam-Nya dan melaksanakan solat beserta perintah lainnya. Padahal, tafsir atas Al Quran akan memahamkan kita atas sifat-sifat Sang Pencipta sekaligus filosofi dari segala perintah dan larangan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shalallahu alaiihi wassalam. Dengan memahami tafsir tersebut, kita akan merasakan nikmatnya beragama. Begitu juga dengan persepsi, sebuah konsep yang sebetulnya penting. Tetapi hanya sering hanya sebatas lisan dan sering tidak diperhitungkan dalam setiap perilaku kita. Akibatnya, seringkali maksud dalam hati diterima salah oleh orang lain.

Laporan progress kegiatan adalah sebuah contoh sederhana dalam dunia birokrasi. Di era yang hampir semua dituntut untuk menempuh metode percepatan, sistem yang dibangun untuk memonitor secara real-time kinerja anak  buah seringkali "kalah sakti" dengan monitoring yang dilakukan aplikasi chat seperti Whatsapp (WA). Meski sistem komputerisasi terintegrasi jaringan telah dimanfaatkan, tetapi jalur chatting dirasa lebih efektif. Mungkin otorisasi dashboard yang tidak memungkinkan setiap orang untuk mengakses tabulasi kinerja menjadi biang keroknya. Akhirnya, metode komunikasi via Grup WA menjadi jalan tengah untuk memantau kinerja. Namun, bukan tentang sistem yang agaknya kurang bermanfaat yang dibahas di sini! Ada hal lain yang perlu diresapi. Komunikasi tersebut --meskipun dalam konteks pelaporan kinerja- tetaplah merupakan buah komunikasi. Dan tentu, komunikasi manusiawi seperti itu akan melahirkan persepsi. Dan jangan salah, persepsi ini yang akan menentukan sebuah kinerja birokrasi tersampaikan secara benar atau salah kepada atasan atau juga publik.

"Ijin Pimpinan, unit kerja ini ini dan ini belum melaporkan capaian fisik dan keuangan.", bahasa seperti itu sering muncul dalam bahasan-bahasan monitoring dan evaluasi. Apakah unit kerja tersebut salah? Tentu salah apabila konteksnya sebatas yang kita baca. Setidaknya, unit kerja tersebut tidak taat dalam pelaporan kinerja. Namun, boleh jadi kita sebagai pembaca juga berada pada posisi yang salah dalam memahami apabila diksi yang dipilih dalam kalimat tadi tidak tepat. Boleh jadi monitoring tersebut dilakukan periodik: mungkin mingguan, bulanan, atau per berapa bulan sekali. Apabila "profilling" tersebut dilakukan frequently maka pilihan kata "belum melaporkan" perlu ditinjau ulang, terlebih apabila di periode pemantauan sebelumnya sang anak buah sudah melaporkan capaian realisasi fisik dan keuangannya. Sebagai contoh (kasus laporan bulanan) pada bulan Maret sang bawahan melaporkan capaian fisik 10% dan keuangan 2%. Apabila di bulan April unit kerja tersebut belum juga melaporkan capaiannya bukan berarti sang anak buah "belum melaporkan". Sebab seandainya pun di bulan April belum ada laporan, tapi bulan sebelumnya sudah ada laporan yaitu fisik 10% dan keuangan 2%. Persepsi pimpinan dan pembaca akan cenderung men-judge negatif unit kerja hanya karena pilihan kata tersebut. Capaian fisik 10% dan keuangan 2% bisa dimentahkan menjadi 0% hanya karena kata-kata "belum melaporkan". Seolah-olah laporan sebelumnya menguap. Akan lebih arif jika dilaporkan "unit kerja ini ini dan ini belum ada update dari capaian sebelumnya.". Persepsi dalam birokrasi akan berbuntut pada profesionalitas dan good government.

Lagi-lagi tentang persepsi, kasus rangka eSAF menarik untuk dibahas. Berita apa yang menimpa Honda akhir-akhir ini boleh jadi bakal merubah nasib pabrikan motor yang selama ini betul-betul di "heart" konsumennya. Persepsi bahwa motor-motor anyar Honda "mudah patah" mulai menggeliat. Dan persepsi tersebut ditangkap bagus oleh produsen lain seperti Yamaha. Tak seperti biasanya yang biasanya produk yang dipajang adalah produk-produk yang paling cantik dan rapi, mulai ada dealer resmi Yamaha yang memajang produk barunya tidak rapi alias dipreteli body-nya. Tujuannya? Tujuannya adalah untuk memperlihatkan kepada calon konsumen bahwa pabrikan garpu tala konsisten menyuguhkan rangka motor yang kuat, tidak seperti pabrikan sebelah yang mulai tergerus "persepsi". Apakah benar rangka eSAF kalah kuat dibanding pipa hollow dan semacamnya? Tentu ini bukan menjadi domain periset. Namun, publik lebih "menikmati" persepsi yang lahir dari mozaik-mozaik kejadian, statement, berita, dan apapun itu yang tersampaikan ke publik.

Begitu juga dengan Indomie. Kemunculan figur Djajadi Djaja dengan klaim history sebagai sosok yang terdholimi oleh Sudono Salim dalam prahara Indomie telah setidaknya memunculkan sentimen berbeda konsumen mie. Beberapa netizen melaporkan bahwa di beberapa titik penjualan Mie Gaga (milik Djajadi Djaja) naik tajam. Persepsi berbuntut pada sentimen pasar!

Kasus Anies yang disinyalir bakal menggandeng Cak Imin pun diyakini akan menghasilkan persepsi publik yang boleh jadi akan membuyarkan konstelasi politik nasional selama ini. Saya teringat ketika Menkopolhukam di era Presiden Megawati diberitakan "dipreteli" kewenangannya. Hingga akhirnya sang menteri mengundurkan diri dan itupun "tidak diberi kesempatan menghadap" oleh sang pimpinan, persepsi publik kemudian membalikkan keadaan. Sang menteri akhirnya mendapatkan dukungan yang luas dari rakyat hingga akhirnya berhasil menjadi presiden. Tentu yang dibahas ini adalah tentang persepsi, bukan mengupas kebenaran potongan-potongan fakta sebenarnya di masa itu. Posisi AHY saat ini mirip dengan posisi sang ayah pada saat itu. Posisi putra SBY tersebut seolah "dicampakkan" oleh Anies  dan partai utama pengusungnya. Tentu, ini bukan membahas fakta yang terjadi. Tetapi suka tidak suka, setiap gerak-gerik public figure akan memantik persepsi masyarakat. Anies yang sebelumnya dipersepsikan terdholimi oleh para buser rupiah, kini sepertinya persepsi "victim" tersebut akan berpindah ke AHY. Dan bukan tidak mungkin, apabila AHY dan Demokrat cepat dan tepat menyambut  momen ini maka justru dukungan luas akan tiba-tiba mengalir kepada AHY untuk menjadi presiden. Coba kita simak perkembangannya!

All in all -baik di dunia birokrasi, bisnis, maupun perpolitikan- persepsi akan sangat mempengaruhi pandangan orang lain/publik. Oleh karenanya, persepsi tidak boleh luput dari pantauan. Penggunaan bahasa yang tepat, perilaku yang tepat, dan tentu keputusan yang antisipatif sangat penting! Karena tanpa memperhatikan efek berupa persepsi, apa yang kita telah kita capai baik bisa dinilai buruk oleh orang lain!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun