Tidak selalu niatan baik kita akan baik untuk orang lain. Tak selalu apa yang kita rencanakan untuk orang lain, akan berujung indah bagi mereka. Setidaknya ini pengalaman penulis. Sesuatu yang terdengar mulia -yakni feeding alias menyuapi- ternyata bisa mematikan bagi si pengunyah. Jangan salah baca! Kita sedang membahas "menyuapi" bukan "menyuap". Kalau "menyuap" mah sudah jelas tendensinya negatif.
Lebih dari 10 tahun mengabdi sebagai aparatur, di tengah gelombang pensiun yang luar biasa besar. Alhasil, kalau berkaca dari jenjang-jenjang karir generasi masa lalu, karir angkatan penulis kali ini terbilang agak cepat lompatnya. Bagaimana tidak, banyak posisi menjadi kosong ditinggalkan si empunya purna tugas. Pengalaman "lompat generasi" ini akhirnya melahirkan pengalaman yang mungkin boleh disebut "dipaksa lahir". Kenapa? Lagi-lagi karena proses kelahirannya tidak langsam mengikuti perkembangan usia. Ini kalau dikembalikan nilainya pada proses pertumbuhan generasi-generasi senior. Pendek kata, durasi 10 tahunan tersebut membawa banyak pengalaman. Bahkan, pengalaman memimpin!
Setidaknya ada tiga pengalaman "menyuapi" yang ternyata membuat hidup benar-benar berubah. Hidup siapa? Hidup mereka yang penulis suapi! Alih-alih berubah ke arah yang diharapkan sekeliling. Perubahan yang terjadi justru ke arah yang tidak diharapkan orang sekitar. Bahkan apabila boleh jujur, penulis pun tak pernah terbersit rencana mendorong mereka menjadi demikian. Mereka tiba-tiba mengekskalasi "potensi terpendamnya" dalam waktu yang singkat. Di sisi lain, sisi "regulernya" mendadak hilang bagai ditelan bumi. Orang-orang yang disuapi tersebut mendadak menjadi beringas.
Menyuapi apa sebenarnya yang sedang dibahas? Jawabannya adalah menyuapi pengetahuan dan insight dalam rangka regenerasi kepemimpinan ataupun regenerasi biasa. Tidak sedikit pembaca tentu pernah melihat proses serah terima jabatan, mendengar istilah transisi kepemimpinan, dan semacamnya. Penulis selama ini memiliki suatu "grand design" suatu transisi kursi apalagi kepemimpinan haruslah komprehensif dan dilakukan dalam waktu yang singkat. Kenapa? Karena delay yang terlalu lama akan menjadikan organisasi terkatung-katung. Selain itu, tanpa asupan data dan informasi yang menyeluruh, mereka yang menjadi raja baru akan menghadapi dilema dalam mengarahkan perjalanannya. Ternyata desain mulia ini salah!
Pengalaman yang tidak hanya sekali dua kali ternyata menyuguhkan fakta yang kontraproduktif dengan niat mulia tersebut. Mereka yang disuguhi dengan serangkaian data dan informasi -yang sejatinya akan mereka temui ketika bekerja nanti- ternyata berubah. Guyuran logistik yang banyak dalam waktu yang tiba-tiba sepertinya memantik sisi lain dari kejiwaannya untuk berperilaku beda dari kesehariannya. Penulis tidak tahu istilah dalam psikologinya. Bagi yang paham silakan tinggalkan komentar ya :). Mereka yang santun mendadak jadi tak tahu malu dan menyebalkan.Â
Mereka yang cupu mendadak merasa tahu segala hal. Dan yang paling kentara adalah mereka sama-sama merasa dunia dalam genggaman mereka! Lebih gawatnya lagi, mereka buta mana kawan mana lawan. Hampir semua dihantamnya, tidak peduli usia; pangkat; dan kedudukan. Padahal, insight yang disampaikan di awal bukanlah pesan kebencian.Â
Ini yang penulis sebut menyuapi yang akan mendatangkan kematian. Lebih tepatnya kematian bagi raja-raja kecil tersebut di kancahnya sendiri kelak. Kenapa? Karena lingkungan yang notabene kontra akan mengisolasinya baik terang-terangan ataupun sembunyi-sembunyi. Itu bagaikan penikaman yang masif.
Penulis tersadar betapa sesuatu yang instan tidaklah mendidik. Bahkan, jikapun sesuatu yang instan itu disampaikan pada porsi yang matang, tetaplah berbahaya bagi penelannya. Persis seperti makanan dalam konteks yang real. Memakan makanan dalam jumlah yang banyak -meskipun matang alias sudah dimasak- dan dalam waktu yang singkat akan membahayakan sistem pencernaan.Â
Gejala yang bisa saja sontak muncul adalah muntah. Dan setelah muntah, bisa jadi orang tersebut akan memandang lain makanan yang baru saja dimakannya. Padahal sejatinya ia dan makanan tadi "bersahabat". Inilah yang sepertinya terjadi. Durasi dan volume yang tidak memperhatikan kapasitas tersebut telah serta merta membuat orang yang disuapi menjadi lupa bahwa fakta yang baru saja ia telan sejatinya adalah sesuatu yang harusnya menjadi lingkungannya. Alih-alih merangkul dan bersahabat, mereka justru terkesan menginjaknya sebagai pijakan untuk melangkah.
Pelajaran besar bagi seorang muslim adalah turunnya Al Quran. Allah tidak menurunkan Al Quran dalam sehari dua hari tapi hingga berpuluh-puluh tahun. Padahal, mudah kita dapati anak-anak jaman sekarangpun mengkhatamkan Al Quran bisa sehari. Bahkan orang-orang shalih bisa mengkhatamkannya berkali-kali dalam sehari. Artinya, sebetulnya apabila Allah berkehendak, dapat saja Al Quran diturunkan dalam satu hari. Tetapi Allah memilih menurunkan ayat-ayatnya dalam durasi yang tidak singkat.Â