Mohon tunggu...
Febri C
Febri C Mohon Tunggu... -

Melihat dan mendengar dengan hati

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Apa yang Tidak Membunuhmu hanya Menguatkan"

2 November 2013   16:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:41 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1383383220613403354

“Apa yang tidak membunuhmu hanya menguatkan”

Di ketinggian 10 meter diatas tanah saya berdiri dengan kaki yang gemetar. Berdiri dengan terikat tali yang saya simpulkan sendiri ke tubuh (dimana hanya Tuhan yang tahu apakah tali ini telah saya ikatkan dengan benar atau tidak) dan dengan tangan dingin gemetar yang menggengam erat pada sebuah tali tambang yang terbentang turun menuju ke lembah dengan entah dimana ujungnya (saya juga tidak tahu ujung tali tersebut berada dimana karena padangan terhalang oleh rimbunnya daun-daun pepohonan tempat dimana bentangan tambang tersebut menghilang). Dalam hitungan kelima saya harus segera meloncat dengan hanya bergantung pada seutas tali tambang tersebut. “Dan demi apa kok ya bisa-bisanya saya menempatkan diri pada posisi yang tidak pernah dibayangkan seperti ini?”. Terbayang muka ibu dan omelannya jika tahu apa yang sedang saya lakukan sekarang. Penyesalan demi penyesalan jelas terdengar datang terlambat ujar otak saya yang seperti masih berusaha menyalahkan sang emosi yang tiga puluh menit lalu dibiarkan membuat keputusan bodoh ini tanpa melibatkan sang otak.

Tiga puluh menit yang lalu:

Masih berada di lapangan rumput, dalam salah satu acara kantor di kota Bandung, setelah mengikuti acara perang-perangan dilapangan paintball (yang tentu saja dimenangi oleh tim kami), salah satu teman kantor senior memaksa saya juga untuk mengikuti pelatihan membuat tali simpul pada diri sendiri. “Yah.. gak apa-apa deh, toh cuma bikin tali simpul di tubuh apa susahnya sih?” pikir saya dengan santai (dan tentunya pemikiran tersebut juga di sponsori oleh rasa sombong saya setelah memenangkan peperangan paintball sebelumnya). Selama di lapangan, sang pengajar hanya menunjukkan caranya saja dan kami yang harus melakukan pengikatan tali tersebut ke diri sendiri tanpa dibantu. Setelah beberapa kali bongkar pasang, berhasil juga saya memasang tali-tali tersebut di tubuh tapi tetap saja masih ada sedikit ketidakyakinan apakah sudah terpasang dengan baik dan benar.

Setelah selesai memasang “kerajinan” tali temali tersebut ternyata kami diwajibkan juga untuk menguji hasil ikatan tali kami tersebut, apakah dapat berfungsi dengan baik atau tidak. Caranya? Nah ini yang jadi sumber masalahnya: kami diwajibkan untuk menaiki Menara (dengan tangga tali juga) setinggi 10 meter diatas tanah, lalu turun meluncur ke bawah hanya dengan berpegang satu tali tambang yang nanti akan diikatkan dengan tali-temali yang sudah kami pasang di tubuh. “What the…????”. Melihat ekspresi muka saya yang berubah, dengan segera sang senior tersebut menarik tangan saya dan menempatkan diri saya pada barisan di urutan kedua peloncatan dan seorang direksi di belakang saya (Jadi tidak mungkin ada alasan untuk kabur kan?). Masih dalam kondisi kebingungan kami digiring untuk menaiki tangga tali menuju Menara.

Entah mengapa satu senior ini memang sering menjadi “Gangguan” hidup saya di kantor. Sejak pertama kali bertemu dengan sang senior ini, saya sudah hampir dibuatnya menangis. Sang senior yang saya sebut ini adalah seorang bapak-bapak dengan usia hampir 55 tahun. Bapak ini memiliki reputasi dan terkenal karena “kegalakan” nya seantero kantor baik di pusat maupun di cabang (siapa yang tidka pernah dimarahinya?). Pertama kali saya dimarahi oleh bapak itu adalah saat masih menjadi pegawai baru dimana terjadi perbedaan pendapat antara dia dan saya. Pada pukul sepuluh malam saya di ”ceramahin” di sebuah acara kantor saat berada di luar kota (yah memang ternyata pada akhirnya saya sependapat dengan dia sih karena ternyata memang benar). Banyak hal yang telah dia lakukan kepada saya dan dapat dikategorikan kedalam tindakan merusak kenyamanan dan keharmonisan kegiatan rutinitas kantor saya yag membosankan. Berbagai acara yang bukan tugas utama kantorpun juga sering melibatkan saya dari acara outingOlympic bahkan acara farewell-an (apakah saya ada muka Event Organizer ya?), tentu saja termasuk semua masalah serta berbagai drama yang terjadi di kegiatan-kegiatan tambahan tersebut (sungguh menguras jiwa, raga dan airmata).

Jika dipikir-pikir, dalam kehidupan sehar-hari kemungkinan kita juga sering bertemu dengan manusia-manusia yang terkesan gangguan atau kalau mau disebut dengan bahasa “berbaik sangka” yaitu para manusia yang memberikan kita tantangan (saya lebih suka menyebutnya sebagai para perusak “Comfort zone”).

Kembali ke senior saya, bapak itu menjadi peluncur pertama dan sudah bersiap untuk lompat dari Menara. Sebelum dia melompat, sempat-sempatnya dia berkata: “Gue aja berani, mosok elo yang masih muda engga?” tanpa menunggu jawaban saya, dia sudah meluncur kebawah sambil berteriak. Padahal masih ingin saya jawab: “Ya kan bulan depan Bapak sudah pensiun, nah kalo saya? kan gak mau mati muda.”. Namun kata-kata tersebut sudah tidak sempat saya ucapkan. Tibalah giliran saya, (Ya Tuhan, lindungi saya!). Pada saat ini hanya ada satu jalan dimana tidak ada jalan kembali lagi dan mau tidak mau, suka tidak suka hanya diberikan satu pilihan yaitu maju dan melompat. Dan ternyata kita hanya mengandalkan 2 hal yaitu: percaya pada hasil ikat mengikat simpul tubuh yang saya lakukan sendiri dibawah dan satu lagi yang terpenting yaitu percaya kepada tangan Tuhan yang akan membuat cerita ini akan menjadi tragis atau happy ending.

“Bismillah, Que sera, sera. What ever will be will be” sambil menutup mata saya melompat dan “terbang” lah menuju lembah di bawah. Dua detik pertama hanya ada perasaan ketakutan yang diiringi dengan teriakan yang bergema di lembah itu (Aaaaaaaaaaa……. ). Di detik kedua, saya membuka mata, detik ketiga dan selanjutnya yang tertinggal hanya ada perasaan luar biasa. Saya mulai menikmati terpaan angin dan perjalanan bergantung pada satu tali tambang tersebut meskipun sendirian dan berada cukup tinggi dari permukaan tanah. Kecepatan meluncur cukup cepat dan sempat menghasilkan beberapa sayatan di kulit akibat melewati dahan pohon dan dedaunan yang sempat menampar muka dan tubuh saya. Namun meskipun dalam kondisi tergantung tali tambang seperti itu, saya masih sempat berpose di depan kamera yang memang sengaja disiapkan untuk mengabadikan moment tersebut (maklumlah banci kamera). Tanah tempat saya mendarat sudah terlihat, namun rasanya saya malah tidak ingin pejalanan tersebut berakhir.

Sampai dibawah meskipun lutut masih terasa gemetar namun rasa luar biasa seperti meledak-ledak muncul dalam hati. Saya senang karena ternyata hasil simpul menyimpul tali tadi berfungsi dengan baik dan benar. Saya merasa percaya diri karena ternyata mampu mengalahkan satu buah ketakutan yaitu “Ketinggian”. Rasanya tanpa paksaan sang senior tadi, tidak mungkin hal gila tersebut saya lakukan.

Sang Senior tadi sudah menunggu diatas sambil tersenyum dan terkekeh. Saya menghampirinya dan berkata “Terimakasih ya pak, ternyata tadi itu adalah pengalaman yang luar biasa dan rasanya jika tidak karena bapak, saya tidak akan mencoba hal tersebut, terimakasih sekali lagi…”.  Lalu kami pun kembali tertawa bersama. Biasanya memang seperti ini, pada setiap masalah yang dia pernah “Limpahkan” ke saya berakhir dengan biasa kembali. Bahkan pernah di beberapa kejadian yang berantakan di saat saya sudah hampir hilang akal dan putus asa untuk mengatasinya, dia bisa jadi satu-satunya orang yang maju untuk membantu tanpa segan (walaupun masih sambil mengomel sih hihihih…). Tapi saya tahu di balik sifatnya yang galak tersebut dia memiliki hati yang baik dan peduli terhadap sesama.

Didalam mobil saya masih memikirkan kejadian tersebut dengan tersenyum. Ternyata terkadang kita membutuhkan para manusia dengan kategori “pengganggu Comfort Zone” tersebut. Dimana tanpa mereka kita hanya akan puas dengan kondisi nyaman saat ini dan malas atau tidak berani melakukan atau mencoba hal-hal yang tidak pernah kita pikir sanggup lakukan. Meskipun tadi hanya sebuah simulasi cara menghadapi tantangan yang nyata dalam kehidupan namun sekarang saya memiliki kepercayaan terhadap diri sendiri dan percaya bahwa bisa melakukan hal-hal yang tadinya saya anggap tidak mungkin saya lakukan.

Sekarang saya justru merasa akan kehilangan sang senior tersebut jika dia sudah pensiun dan sudah tidak ada lagi di kantor bulan depan. Ada rasa sedih juga ternyata karena sekarang saya sadar bahwa dibalik semua “paksaan” yang pernah dia berikan kepada saya sebenarnya hanyalah bentuk tempaan untuk maju dan membuat saya sedikit demi sedikit menjadi lebih kuat dalam menyikapi kehidupan. “Terimakasih ya pak” ucap saya dalam hati.

Sambil beristirahat di mobil menuju pulang ke Jakarta saya memutar lagu-lagu di iPod sampai jatuh tertidur …

“What doesn’t kill you makes you stronger, Stand a little taller

Doesn’t mean I’m. lonely when I’m alone

What doesn’t kill you makes a fighter, footsteps even lighter

Doesn’t mean I’m over cause you’re gone

Thanks to you I got a new thing started

Thanks to you I’m not the broken-hearted

Thanks to you I’m finally thinking about me

You know in the end the day you left was just my beginning

In The end ....

(“What Doesn’t Kill You” by Kelly Clarkson)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun