Mohon tunggu...
Febrin Dwi Mahfuza
Febrin Dwi Mahfuza Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Prodi Psikologi Universitas Malikussaleh

Febrin Dwi Mahfuza Mahasiswi Prodi Psikologi Universitas Malikussaleh angkatan 2022

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Hustle Culture: Ketika Ambisi Menjadi Beban yang Beresiko pada Kesehatan Mental

26 November 2024   02:23 Diperbarui: 26 November 2024   04:21 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hustle culture, atau budaya kerja keras yang berlebihan, telah menjadi fenomena yang semakin umum di kalangan masyarakat modern, terutama di kalangan generasi muda. Konsep ini menekankan pentingnya produktivitas tanpa henti, sering kali mengorbankan kesejahteraan pribadi dan kesehatan mental.

Wayne Oates pertama kali mempublikasikan fenomena Hustle Culture dalam bukunya yang dirilis pada tahun 1971, "Confessions of a workaholic: the facts about work addiction".

Melansir dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Jawa Timur, fenomena hustle culture sudah ada sejak tahun 1970-an dan telah menyebar dengan sangat cepat, terutama pada generasi milenial. Hustle culture menghadirkan pemikiran bahwa hal terpenting dalam hidup adalah mencapai tujuan dalam pekerjaan dengan bekerja keras tanpa henti. 

Hustle culture dapat didefinisikan sebagai pola pikir yang mendorong individu untuk terus bekerja keras dan berusaha mencapai kesuksesan dengan mengabaikan aspek lain dalam kehidupan mereka. Psikolog dari Universitas Gadjah Mada, Indrayanti, M.Si., Ph.D., menjelaskan bahwa hustle culture adalah perkembangan dari istilah “workaholic,” di mana individu merasa tertekan untuk memenuhi tuntutan pekerjaan secara profesional dan berkualitas tinggi, sering kali tanpa waktu untuk diri sendiri atau keluarga. Hal ini menciptakan kondisi yang dikenal sebagai "produktivitas beracun", di mana individu merasa bersalah jika tidak bekerja keras

Hustle culture cukup berbahaya bagi kesehatan para pekerja. Dalam sebuah studi yang diterbitkan Occupational Medicine tahun 2017, seseorang yang bekerja terlalu keras untuk mencapai posisi tertinggi, berapa pun usianya, akan mengalami gangguan mental.

Salah satu dampak paling mencolok dari hustle culture adalah meningkatnya tingkat stres dan kecemasan. Menurut penelitian, individu yang terjebak dalam budaya ini cenderung mengalami stres berlebihan akibat tekanan untuk selalu produktif. Kegagalan untuk memenuhi ekspektasi ini dapat menyebabkan kecemasan yang parah. Data menunjukkan bahwa banyak milenial yang mengalami masalah emosional seperti kecemasan dan depresi akibat tekanan kerja yang terus-menerus. Selain itu kelelahan fisik dan mental juga merupakan konsekuensi serius dari budaya ini. Ketika seseorang bekerja tanpa henti, mereka berisiko mengalami burnout, suatu kondisi di mana individu merasa kehabisan energi dan motivasi. Penelitian menunjukkan bahwa kelelahan dapat mengganggu konsentrasi, menyebabkan ingatan buruk, dan mempengaruhi keseimbangan emosional.

Menurut penelitian yang dilakukan Mental Health Foundation sekitar 14,7% karyawan di Inggris mengalami gangguan kesehatan mental akibat stres bekerja sedangkan survei Kesehatan di Indonesia pada tahun 2023 berisi prevalensi masalah kesehatan jiwa pada kelompok buruh, supir, dan pembantu rumah tangga (ruta) sebesar 2,5%; wiraswasta (1,4%); petani/buruh tani (1,3%); pegawai swasta (1,2%); nelayan (1,2%); serta PNS, TNI, POLRI, BUMN, dan BUMD (0,7%), data tersebut mengindikasikan bahwa kesehatan jiwa masih menjadi masalah pekerja pada berbagai jenis pekerjaan.

Menjadi orang sukses dan bisa membanggakan keluarga tentu merupakan idaman banyak orang, namun dampak negatifnya terhadap kesehatan mental tidak bisa diabaikan. Stres, kecemasan, kelelahan, dan gangguan kesehatan mental lainnya adalah risiko nyata yang harus dihadapi oleh mereka yang terjebak dalam pola pikir ini. Oleh karena itu, sangat penting bagi individu untuk menyadari batasan mereka dan mencari keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi demi menjaga kesehatan mental yang baik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun