[caption id="attachment_133002" align="aligncenter" width="640" caption="Rektor UI, Gumilar Rosliwa Soemantri/Admin (KOMPAS?Lucky Pransiska)"][/caption] "Gelar akademik, kok, untuk tukar tanda mata!", demikian sebuah komentar di kolom Pojok dalam harian Kompas edisi 2 September 2011 terkait pemberian gelar doktor honoris causa (HC) bagi Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdul Aziz al-Saud oleh Rektor Universitas Indonesia (UI). Beberapa hari terakhir ini, beberapa kalangan memang ramai menyoal pemberian gelar doktor kehormatan di bidang perdamaian dan kemanusiaan itu. Sebagian memertanyakan prosedur pemberian gelar, sedangkan sebagian yang lain menyoal kredibilitas penerima gelar. Polemik berawal dari diberitakannya pemberian gelar doktor kehormatan oleh Rektor UI Prof. Dr. der Soz. Gumilar Rosliwa Soemantri di Istana Al-Safa, Arab Saudi, pada 21 Agustus 2011. Reaksi di internal UI mulai muncul segera setelah pemberian gelar itu. Gumilar dinilai tidak peka terhadap kondisi sosial masyarakat Indonesia yang berduka akibat praktik di Arab Saudi yang justru menciderai nilai-nilai kemanusiaan. Contoh yang masih segar dalam ingatan kita adalah eksekusi pancung bagi Ruyati binti Satubi yang bekerja sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI). Dalam hal ini, Raja Arab Saudi dianggap mewakili sebuah negara yang tak tangani isu buruh migran dengan baik. Mereka sering melakukan penyiksaan, gemar melecehkan martabat, dan mudah memancung TKI. Rektor UI menyatakan bahwa yang dilakukannya benar. Ia juga menyampaikan bahwa alasan pemberian gelar Dr HC bagi Raja Arab Saudi adalah Raja Arab Saudi dinilai: (1) sukses memodernisasi pendidikan Islam, (2) mengembangkan perekonomian yang berbasis energi terbarukan, (3) aktif kembangkan dialog lintas agama, dan (4) aktif kembangkan perdamaian di kawasan Timur Tengah, terutama masalah Palestina-Israel. Namun, karena momentumnya kurang tepat, wacana penolakan terus berkembang hingga akhirnya muncul rencana penggulingan Gumilar dari jabatan Rektor UI. Sebenarnya, tak sedikit yang mendukung keputusan Gumilar. Berdasarkan berita yang dilansir oleh Metrotvnews.com, banyak alumni UI di Jeddah yang mendukung keputusan Rektor UI tersebut. Mereka mengatakan bahwa pemberian gelar doktor HC tersebut merupakan terobosan baru dalam diplomasi RI-Saudi, yang dampaknya akan dirasakan secara langsung oleh kedua negara. Bagaimana pun bagi sebagian masyarakat kita, gelar memang masih dianggap sebagai sesuatu yang penting, sehingga tak dapat diberikan kepada seseorang tanpa perhitungan tertentu. Sering kita jumpai seseorang merasa kecewa dan akhirnya tak hadiri undangan pernikahan hanya karena si empunya hajat salah dalam menuliskan gelarnya, baik gelar akademis maupun gelar kebangsawanan. Nilai penting sebuah gelar tampak pula dari kesediaan sebagian masyarakat mengeluarkan sejumlah uang untuk membelinya tanpa memedulikan proses yang seharusnya mereka tempuh untuk mendapatkannya. Apakah gelar Dr HC itu demikian penting sehingga kita perlu memersoalkannya? Berdasarkan catatan Wikipedia, gelar doktor honoris causa atau gelar doktor kehormatan adalah sebuah gelar kesarjanaan yang diberikan oleh suatu perguruan tinggi yang memenuhi syarat kepada seseorang, tanpa orang tersebut perlu mengikuti dan lulus dari pendidikan yang sesuai untuk mendapatkan gelar kesarjanaannya itu. Gelar doktor honoris causa dapat diberikan kepada seseorang yang dianggap memiliki prakarsa, karya, dan atau perjuangan politik yang diakui dan dapat dirasakan dampaknya secara luas bagi ilmu pengetahuan dan umat manusia. Memang, pemberian gelar tersebut dimungkinkan untuk kepentingan politis juga, misalnya dalam rangka memerbaiki hubungan dua negara yang sedang tegang. Gelar doktor kehormatan tercatat pertama kali diberikan kepada Lionel Woodville sekitar tahun 1470 oleh Universitas Oxford. Dalam perkembangannya, pemberian gelar kehormatan baru dianggap biasa sekitar abad XVI, khususnya pada masa-masa ketika banyak universitas-universitas yang belum tenar pada saat itu, menerima kunjungan kehormatan dari universitas-universitas ternama seperti Universitas Oxford atau Universitas Cambridge. Kontroversi pemberian gelar doktor HC sendiri bukan kali pertama terjadi. Kritik dan penolakan dari pihak lain terkait pemberian gelar doktor HC juga bukan hanya terjadi di Indonesia. Banyak negara dan perguruan tinggi mendapat sorotan negatif karena pemberian gelar kehormatan sangat subyektif dan sarat kepentingan politis dan ekonomis. Contoh yang paling fenomenal adalah pemberian gelar kehormatan pada George W. Bush oleh Yale University yang menuai kritik dari mahasiswa dan segenap civitas akademika. Hal yang sama juga menimpa Margaret Tatcher. Oleh sebab itu, beberapa perguruan tinggi ternama di dunia tak memberikan gelar kehormatan itu, misalnya MIT. Dalam konteks berbeda, saya jadi teringat strategi perluasan kekerabatan yang diterapkan oleh pihak Keraton Surakarta dalam menghadapi perubahan situasi sosial politik dan ekonomi sejak keraton secara resmi terintegrasi dalam wilayah republik ini. Pada 1963, bersamaan dengan dibukanya sebagian bangunan keraton untuk umum, misalnya Pagelaran dan Sasana Sewaka, keraton memberikan gelar kebangsawanan Jawa sebagai abdi dalem anon-anon kepada masyarakat umum, terutama pejabat birokrasi dan militer, public figure, serta pengusaha. Pada 2005, jumlah abdi dalem anon-anon capai 9.500 orang. Sekitar 1.000 orang dari jumlah tersebut termasuk dalam pangkat tinggi, bupati anom ke atas, sedangkan sisanya berpangkat jajar, lurah, mantri, atau panewu. Kini acap terekspos media, seorang selebritas dapatkan anugerah gelar kebangsawanan meski tak jelas sebabnya. Tak karena karyanya yang berdampak bagi masyarakat luas, tak juga karena kontribusinya kepada keraton. Sebagian pihak menilai hal itu lebih karena persoalan ekonomi dan politik. Namun, lebih daripada itu, dengan memberikan gelar kebangsawanan, sebenarnya pihak keraton telah berupaya menarik public figure tersebut ke dalam lingkaran kerabat keraton. Selanjutnya, sebagai kerabat keraton, public figure tersebut mau tak mau harus ikut bertanggung jawab atas kelestarian budaya Jawa dan Keraton Surakarta apa pun bentuknya. Sederhananya, mungkin benar kata Haviland, kekerabatan dapat mengatasi sejumlah masalah, termasuk masalah ekonomi tentunya. Lalu, apakah pemberian gelar doktor HC kepada Raja Arab Saudi dapat pula berlaku prinsip yang sama dengan pemberian gelar kebangsawanan keraton Jawa? Menurut saya, demi kepentingan bangsa yang lebih luas, persoalan pemberian gelar doktor kehormatan tak perlu dipolitisasi. Jangan sampai persoalan ini justru memeruncing hubungan antara Indonesia dan Arab Saudi. Patut kita cermati, Raja Arab Saudi tak pinta gelar kehormatan. Bahkan kabarnya, ia baru tanggapi inisiatif pemberian gelar kehormatan yang telah disampaikan tiga tahun yang lalu pada Mei 2011. Kita mesti hormati keputusan tersebut dan berharap setelah pemberian gelar tersebut, sikap kerajaan dan warga Arab Saudi terhadap bangsa Indonesia semakin baik, termasuk dalam memperlakukan para TKI. Raja Arab Saudi harus tunjukkan kepada segenap bangsa Indonesia bahwa ia benar-benar layak dapatkan gelar doktor kehormatan itu, sesuai dengan kepakarannya yaitu perdamaian dan kemanusiaan. Saya kira dengan demikian ia dapat menginspirasi tokoh-tokoh lain untuk lebih dan lebih daripada dirinya.***Febrie G. Setiaputra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H