Mohon tunggu...
Febrie Dharma Kuncoro
Febrie Dharma Kuncoro Mohon Tunggu... -

Berasal dari kota kecil di Jawa Timur tidak menjadikan penulis patah arang untuk belajar, mencoba mengadu nasib dan mensinergikan ilmu dengan mengasah kemampuannya bekerja di salah satu bank swasta di Jakarta. Visi penulis adalah menjadikan ilmu sebagai modal awal meningkatkan taraf ekonomi dan hidup yang lebih baik. Penulis adalah mahasiswa Teknik Industri Universitas Mercu Buana, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

10 Alasan Mengapa Bangsa Asia Kalah dari Bangsa Barat

16 Mei 2011   15:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:34 710
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam setiap kesempatan, bangsa Asia dinilai sebagai bangsa yang ulet, pantang menyerah dan memiliki etos kerja yang tinggi dalam menekuni suatu bidang, baik itu akademik, sosial ataupun professional. Namun survey membuktikan, ternyata bangsa asia memiliki kecenderungan konsep pembelajaran yang kurang inovatif, sehingga terbukti lemah dalam perbandingan kreatifitas dengan bangsa barat. Menurut Prof. Ng Aik Kwang dari University of Queensland, dalam bukunya "Why Asians Are Less Creative Than Westerners" (2001)  mengemukakan bahwa :

1. Bagi kebanyakan orang Asia, dalam budaya mereka, ukuran sukses dalam hidup adalah banyaknya materi yang dimiliki (rumah, mobil, uang dan harta lain). Passion (rasa cinta terhadap sesuatu) kurang dihargai. Akibatnya, bidang kreatifitas kalah populer oleh profesi dokter, lawyer, dan sejenisnya yang dianggap bisa lebih cepat menjadikan seorang untuk memiliki kekayaan banyak. Hal inilah yang menjadi faktor utama pemicu stress seseorang karena tidak mencintai apa yang ia kerjakan meski berada pada posisi puncak, dan hampir setiap hari ada 85 warga jepang ditemukan  bunuh diri,  sebagian besar karena stress yang melanda akibat pekerjaannya.

2. Bagi orang Asia, banyaknya kekayaan yang dimiliki lebih dihargai daripada cara memperoleh kekayaan tersebut. Tidak heran bila lebih banyak orang menyukai ceritera, novel, sinetron atau film yang bertema orang miskin jadi kaya mendadak karena beruntung menemukan harta karun, atau dijadikan istri oleh pangeran dan sejenis itu. Tidak heran pula bila perilaku koruptif pun ditolerir/ diterima sebagai sesuatu yg wajar. Hal ini menjadikan doktrin pola pikir sejak kecil tentang mencapai segala sesuatu secara instan dan mudah, sehingga menyebabkan orang sering mengambil jalan pintas (korupsi, kolusi, nepotisme) yang berakibat negatif pada kehidupan sosial dan pribadinya.

3. Bagi orang Asia, pendidikan identik dengan hafalan berbasis "kunci jawaban" bukan pada pengertian. Ujian Nasional, tes masuk PT dan lain-lain semua berbasis hafalan. Sampai tingkat sarjana, mahasiswa diharuskan hafal rumus-rumus ilmu pasti (science) dan ilmu hitung (aljabar) lainnya bukan diarahkan untuk memahami kapan dan bagaimana menggunakan rumus rumus tersebut. Hal ini menjadikan kebanyakan lulusan asia sering tidak dapat memanfaatkan dengan baik apa yang dipelajarinya dalam implementasi kehidupan sehari-hari, karena mereka hanya pintar berbasis hafalan, bukan pemahaman ilmu secara mendasar.

4. Karena berbasis hafalan, murid-murid di sekolah di Asia dijejali sebanyak mungkin pelajaran. Mereka dididik menjadi "Jack of all trades, but master of none" (tahu sedikit sedikit tentang banyak hal tapi tidak menguasai apapun). Mereka menjadi sulit dalam menemukan inovasi baru, karena tidak terbiasa dengan proses kreatif dan inovatif sejak kecil.

5. Karena berbasis hafalan, banyak pelajar Asia bisa jadi juara dalam Olympiade Fisika, dan Matematika. Tapi hampir tidak pernah ada orang Asia yang menang Nobel atau hadiah internasional lainnya yang berbasis inovasi dan kreativitas.

6. Orang Asia takut salah (KIASI) dan takut kalah (KIASU). Akibatnya sifat eksploratif sebagai upaya memenuhi rasa penasaran dan keberanian untuk mengambil resiko kurang dihargai. Banyak orang asia yang lebih besar rasa gengsinya daripada kemampuan yang ia miliki untuk memenuhi kebutuhannya.

7. Bagi kebanyakan bangsa Asia, bertanya artinya bodoh, makanya rasa penasaran tidak mendapat tempat dalam proses pendidikan di sekolah. Hal ini justru berkebalikan dengan sistem pelajaran bangsa barat. Di eropa sistem pendidikan mengacu pada seberapa aktif murid dalam bertanya, dan mereka dibebaskan dalam mempelajari apapun, bahkan banyak yang menjadi spesialis di bidang tertentu karena ia telah menekuninya sejak kecil.

8. Karena takut salah dan takut dianggap bodoh, di sekolah atau dalam seminar atau workshop, peserta jarang mau bertanya tetapi setelah sesi berakhir peserta mengerumuni guru / narasumber untuk minta penjelasan tambahan.

Bila anda juga tertarik utk mengetahui lebih banyak silahkan search di Google atau pesan bukunya ke Amazon.com. Dalam bukunya Prof. Ng Aik Kwang menawarkan beberapa solusi sebagai berikut:

1. Hargai proses. Hargailah orang karena pengabdiannya bukan karena kekayaannya. Seseorang yang mencintai apa yang ia kerjakan, akan rela berlama-lama dalam mengerjakannya. Bahkan rasa puas yang ia dapat saat berhasil akan jauh lebih memuaskan, karena didukung oleh apa yang ia suka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun