Taman ini masih sama seperti dulu. Masih hijau karena rumputnya, masih indah karena bunganya, dan masih sejuk karena kenangannya. Taman ini juga masih sama seperti dulu. Masih lekat di ingatan, masih tersimpan di memori, dan masih terkenang di dalam mimpi. Taman ini jadi saksi bisu saat kita sering habiskan waktu di sini. Saat kita menatap senja di sisi tak terjangkau.
Masih di bangku ini aku duduk. Tak bosannya kutatap wajahmu. Masih sama seperti dulu, tetap menenangkan. Kau tampak asyik menonton tingkah polah beberapa anak balita yang sedang bermain. Tawa riang anak-anak itu seakan tak terdengar di telingaku. Hanya nyanyian hatiku yang terdengar, hati yang bersemi karena menatapmu. Tiba-tiba kau menoleh ke arahku dan tersenyum. Senyum yang tak ternilai harganya, senyum seorang bidadari. Aku tak bisa berkata apa-apa, selain hanya tersenyum. Dari rautmu aku tahu kau heran. Heran dengan tingkahku. Kau tersenyum sekali lagi dan berpaling kembali menonton anak-anak itu.
Tampak di keningmu setetes keringat berusaha untuk meleleh turun ke pipimu. Namun itu tak dapat hilangkan aura kedamaian di wajahmu. Aura yang dapat hilangkan gundahku, aura yang dapat mengisi kembali semangatku yang mulai pudar. Kau ambil tisu di saku celanamu dan mulai hapuskan keringatmu. Angin pun berhembus dan meniup tisumu jatuh. Dan saat kau membungkuk untuk mengambil tisu itu, aku bisa melihat apa yang tadinya kuharap hanya imajinasiku. Di sisi lain, dia juga tak bosan menatapmu. Tangan kalian saling menggenggam seperti sebuah simpul yang tak mau lepas. Seiring dengan hancurnya hatiku, kukuatkan diriku. Aku harap dia juga merasakan hal yang sama denganku saat menatapmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H