Pendahuluan
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan salah satu elemen vital dalam sistem perpajakan Indonesia. Sebagai pajak konsumsi, PPN berperan besar dalam memberikan kontribusi terhadap penerimaan negara yang digunakan untuk pembangunan ekonomi, infrastruktur, dan berbagai program sosial. Perannya semakin penting mengingat tekanan fiskal yang dihadapi pemerintah untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional di tengah tantangan global. Dengan kontribusi sekitar 35--40% terhadap total penerimaan pajak, kebijakan mengenai PPN selalu menjadi sorotan, terutama ketika pemerintah memutuskan untuk meningkatkan tarifnya secara bertahap, dari 10% menjadi 11% pada tahun 2022, dan rencana kenaikan lebih lanjut menjadi 12% pada tahun 2025 (Putri, 2024; Ricardo & Tambunan, 2024).
Kenaikan tarif PPN ini dirancang untuk meningkatkan penerimaan pajak negara, mengurangi defisit anggaran, dan menyelaraskan tarif dengan standar internasional. Namun, kebijakan tersebut memicu kekhawatiran berbagai pihak karena dampaknya terhadap daya beli masyarakat, inflasi, dan kinerja sektor ekonomi lainnya. Peningkatan tarif PPN sering kali menjadi isu kontroversial karena meskipun mendatangkan pendapatan tambahan, dampak sosial-ekonominya tidak dapat diabaikan (Tarmizi, 2023). Oleh karena itu, penting untuk memahami secara mendalam dampak, tantangan, dan peluang yang muncul akibat kebijakan ini.
Tinjauan Kebijakan Kenaikan Tarif PPN
Sebagai bagian dari upaya reformasi perpajakan, kenaikan tarif PPN menjadi salah satu langkah strategis yang diambil pemerintah. Kebijakan ini diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang memberikan landasan hukum bagi penyesuaian tarif secara bertahap (Putri, 2024). Langkah ini juga mencerminkan kebutuhan pemerintah untuk meningkatkan tax ratio, yang selama ini stagnan di angka 10--12% dibandingkan negara lain di Asia Tenggara seperti Filipina dengan tarif PPN 12% atau negara OECD yang rata-rata mencapai 15% (Ricardo & Tambunan, 2024).
Meskipun bertujuan meningkatkan penerimaan negara, langkah ini tidak bebas risiko. Dalam konteks konsumsi domestik, kenaikan tarif PPN berpotensi meningkatkan harga barang dan jasa, yang pada gilirannya dapat mengurangi daya beli masyarakat. Studi menunjukkan bahwa kenaikan PPN dari 10% menjadi 11% pada 2022 telah menyebabkan perlambatan konsumsi rumah tangga, yang berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat pada tahun berikutnya (Tarmizi, 2023).
Dampak Positif Kenaikan Tarif PPN
Salah satu manfaat utama dari kenaikan tarif PPN adalah peningkatan penerimaan negara. Dengan bertambahnya pendapatan dari sektor pajak, pemerintah memiliki ruang fiskal yang lebih luas untuk membiayai program sosial, pembangunan infrastruktur, dan pelayanan publik (Putri, 2024). Sebagai contoh, tambahan pendapatan dapat digunakan untuk subsidi pendidikan, kesehatan, dan bantuan langsung tunai, yang membantu masyarakat rentan menghadapi kenaikan harga barang dan jasa.
Selain itu, peningkatan tarif PPN dapat membantu menyelaraskan sistem perpajakan Indonesia dengan standar internasional. Kebijakan ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk memperbaiki efisiensi administrasi perpajakan dan memastikan bahwa semua sektor ekonomi berkontribusi secara adil (Ricardo & Tambunan, 2024). Dalam jangka panjang, reformasi perpajakan ini dapat memperkuat kepercayaan investor dan meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia di tingkat global.
Dampak Negatif dan Tantangan