Menyendiri di tengah sawah yang sedikit ramai. Banyak indra yang melihat ke arah insan yang duduk bersandar di sebuah batang pohon. Ia merasa biasa walaupun di dalam jiwanya tidak biasa. Kata tidak peduli tersematkan dalam hati.Â
Bukan untuk menyindir atau merasa malu karena sendiri, cuma ia merasa bingung. "Apa salah menikmati secangkir kopi susu sendiri di tengah keramaian ini?". Pribadinya merasa belum menemukan arah yang 100 persen. Mungkin ini yang disebut proses dan mungkin saja ini memang dirinya. Entahlah, yang terpenting ia merasa hidup walaupun begini-gini saja.Â
Dalam menyediri, ia bisa berkata ke dirinya sendiri. Dalam ramai ia menemukan padangan yang beragam. Lalu ia balik menyendiri lagi. Kadang ia menyendiri di ruang kecil di temani lagu-lagu yang membuat suasana menjadi tidak sepi.Â
Kadang ia keluar dari ruangan itu, sejenak melepas penat yang datang tiba-tiba, ya walaupun keluar hanya ditemani kendaraannya yang setia. Tapi ia merasa itu saja cukup.
Dalam sepi menyendiri mungkin bisa menjadi pilihan yang tepat bagi jiwa. Merasa cepat bosan, mungkin itu rasa yang ia miliki untuk melakukan atau sesuatu yang baru.Â
Seiring dengan pandangan yang semakin terbuka ia mulai belajar tentang hal-hal yang sebelumnya ia tidak mengerti. Keras kepalanya terkadang membuat pandangannya gelap.Â
Egonya terkadang membuatnya terjebak dalam sesuatu yang salah. Kesandarannya tidak begitu seimbang dengan realita yang dihadapinnya.
Menyendiri bukan pilihan katanya, menyendiri adalah caranya untuk bisa menerima dirinya sendiri. Bukan berati ia tidak mensyukuri. Untuk bisa mengendalikan diri sendiri mungkin menyendirilah hal yang paling butuhkan olehnya.Â
Dari menyindiri ini, ia merasa baik baik saja. Berterimakasih ke yang terlihat ataupun tidak terlihat menjadi dorongan untuk tetap berusaha agar tercapai apa yang ia harapkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H