Jakarta- Jumlah media sudah mengkahwatirkan 43.300 media online. Tentu ini, tidak disalahgunakan untuk meraup keuntungan dengan menyebar isu kebencian seperti Saracen. Media arus utama atau kerap di sebut media meanstran merupakan salah satu informasi yang paling digemari masyarakat era digital ini.
Untuk itu akurasi berita sangat perlu diperhatikan sesuai UU Pers dan Kode etik Jurnalistik. Jumlah ini merupakan jumlah yang disampauikan oleh Dewan Pers, dan masih banyak di daerah-daerah yang belum terverifikasi oleh Dewan Pers. Semangat reformasi Pers, seperti kita semua tahu bersama dicetus UU 40 Tahun 1999 tentang Pers, pada tanggal 23 September 1999, pasca kekuasaan Orde Baru runtuh dan Jusuf Habibie sebagai Presiden.
Dimana, wartawan diberi kebebasan untuk mencari dan menyampaikan informasi. Sejak disahkan UU Pers memang banyak kritikan yang ada antara lain, dianggap tidak mampu melindungi masyarakat dari praktik penyalagunaan profesi wartawan dan pornografi. Sejak tahun 2000 hingga tahun 2010 banyak pengaduaan pemberitaan dari masyarakat ke dewan Pers sebayak 2313 kasus. Sementara tahun 2011 hingga 2017 jumlah laporan masyarakat yang masuk ke Dewan Pers  4311 kasus ( Baca Dewan Pers). Ini angka yang sangat fantastis era reformasi Pers berlangsung, dengan adanya media abal-abal yang mendompleng arus medsos, hoax ada di mana dan memancing perpecahan kalau media seperti ini dibiarkan di bumi Indonesia.
Landasan Akademik Ala Masterman
Masterman menunjukkan bahwa media agen komunikasi. Masterman berpendapat terhadap perspektif ini dan dimasukkannya media pada umumnya program studi ilmu komunikasi untuk beberapa alasan. Masterman berpendapat bahwa komunikasi seperti bidang akademik tidak memiliki disiplin, gagal untuk mengakui perbedaan antara bentuk-bentuk komunikasi interpersonal dan pengaturan dimediasi, berusaha untuk mengembangkan suatu model komunikasi top-down , didorong ideologis, dan kekurangan setiap temuan-temuan penting. Dalam beberapa hal, argumen Masterman's tampaknya menunjukkan bahwa perspektif ini cacat dalam lingkup terbatas dan gagal untuk mempertimbangkan isu-isu yang lebih luas di media.
Ini membuktikan masyarakat sudah menyadari betul kebebasan pers yang sudah kebablasan. Ini bisa saja pengetahuaan wartawan yang minim soal komunikasi terutama jurnalistik, dimana disematkan dalam kode etik jurnalistik. Kode Etik Jurnalistik harus menjadi senjata bagi wartawan  yang memuat 11 pasal dan yang paling dalam 11 pasal itu adalah pemberitaan pers harus cover both side, tidak boleh menyiarkan berita bohong, atau tren disebut hoax dan berita yang menyebabkan konflik antar golongan atau agama tertentu.
Persaingan media baik Nasional maupun di daerah masif dilakukan. Apalagi kalau saat Pilpres atau saat pemilu, dan pilkada. Untuk itu, banyak media di daerah menciptakan kompetisi yang seringkali menyebabkan wartawan mengejar target. Kalau tidak memenuhi target, besar kemungkinan membuat berita karangan yang bukan fakta melainkan fiksi.
Dengan adanya kebebasan pers era digital ini, memang banyak sekali muncul pers, terutama daerah hanya untuk meraup keuntungan pasca pilkada atau pemilu. Dan ada juga media milik  kandidat tertentu atau tokoh partai tertentu guna melanggengkan jabatan atau menyukseskan dalam pilkada. Banyak sekali modus digunakan bertameng media akhir-akhir ini, bahkan wartawan ada juga yang menjadi timsukses calon tertentu.
Menghidupkan Ruh Pers
Itulah fenomena media akhir-akhir ini. Ini sebenarnya tidak boleh dibiarkan akan berdampak buruk bagi wajah pers dan media di Indonesia. Setiap wartawan wajib hukum dilaporkan ke Dewan Pers, dan setiap wartawan wajib hukumnya menaati Etika Jurnalistik dan pembekalan Ilmu Jurnalistik. Agar media ke depan bisa memhami fungsi mereka sebagai kontrol masyarakat amaupun pemerintah dan selalu menjunjung tinggi independensi dalam pemberitaan.
Sementara seperti, posisi ini tidak memperhitungkan perkembangan rekening dan pertumbuhan dalam bidang ilmu komunikasi atau apakah mereka mempertimbangkan fakta bahwa banyak dari teori komunikasi modern telah melanjutkan proses demokratisasi yang awalnya membantu membawa media ke pengaturan pendidikan di tempat pertama.