Salah satu kasus penipuan ekonomi syariah yang viral di Indonesia adalah kasus penipuan properti syariah. Modus penipuan ini seringkali menggunakan istilah "syariah" untuk menarik perhatian masyarakat, menjanjikan properti bebas riba dan bunga, serta tanpa proses BI-checking. Namun, kenyataannya, properti yang dijanjikan tidak pernah dibangun, dan pelaku melarikan uang dari para korban.
Contohnya, kasus PT Wepro yang melibatkan ribuan korban dengan kerugian miliaran rupiah. Para pelaku menipu korban dengan menjual rumah fiktif melalui brosur dan iklan yang terlihat meyakinkan. Bahkan, beberapa pelaku berpura-pura menjadi ustaz untuk meyakinkan korban dengan ayat-ayat agama, menekankan pentingnya memiliki properti secara syariah. Ribuan korban berasal dari berbagai kalangan, seperti pedagang kecil hingga pengusaha besar, yang semuanya tergiur dengan janji "syariah" yang ditawarkan.
Kaidah dan Norma Hukum yang Terkait
Dalam konteks hukum Islam, penipuan semacam ini bertentangan dengan prinsip-prinsip muamalah yang menekankan pada keadilan, transparansi, dan kejujuran. Dalam hukum ekonomi syariah, akad harus jelas (bayyinat), dan tidak boleh ada unsur penipuan atau gharar (ketidakpastian) yang signifikan. Dalam kasus ini, para pelaku melanggar prinsip akad yang jelas, karena mereka menjanjikan sesuatu yang tidak ada, dan ini bertentangan dengan kaidah gharar dan haram dalam jual beli Islam.
Aturan Hukum yang Berlaku
Secara hukum positif di Indonesia, para pelaku dapat dijerat dengan pasal penipuan (Pasal 378 KUHP) yang mengatur hukuman bagi siapa saja yang melakukan penipuan dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum. Selain itu, dalam konteks hukum perdata, mereka dapat diminta untuk mengembalikan uang yang telah diambil melalui jalur gugatan ganti rugi.
Analisis Aliran Positivisme dan Sosiological Jurisprudence
1. Positivisme Hukum: Dalam pendekatan ini, penipuan perumahan syariah dapat dianalisis secara ketat berdasarkan aturan hukum yang tertulis. Hukum pidana di Indonesia sudah jelas melarang penipuan, dan undang-undang berlaku secara objektif terlepas dari niat atau konteks sosial pelaku. Para pelaku penipuan ini harus dihukum sesuai undang-undang yang berlaku, tanpa mempertimbangkan latar belakang agama yang mereka gunakan sebagai modus.
2. Sociological Jurisprudence: Pendekatan ini akan melihat bagaimana hukum bekerja dalam konteks sosial. Penipuan syariah ini bisa dipahami sebagai refleksi dari kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan properti dengan cara yang dianggap sesuai dengan nilai-nilai agama. Dalam hal ini, kegagalan hukum atau pengawasan dalam menjaga transparansi sektor properti syariah dapat menjadi perhatian. Analisis sosiologis akan mempertimbangkan mengapa masyarakat rentan terhadap penipuan seperti ini, dan mungkin menyarankan adanya regulasi yang lebih ketat dalam penggunaan istilah "syariah" dalam bisnis properti.
Kasus penipuan properti syariah ini menjadi pelajaran penting mengenai pentingnya literasi keuangan dan regulasi yang lebih ketat di sektor syariah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H