Isu kesenjangan mulai memperluas cakupannya. Jika isu kesenjangan yang lazim ditemukan berasal dari aspek sosial, ekonomi, atau politik, maka kemajuan teknologi berhasil membawa kesenjangan di bidang digital. Kesenjangan digital dikenal sebagai perbedaan keadaan antara orang-orang yang memiliki akses ke Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dan mereka yang tidak (De Haan, 2004).
Kesenjangan digital terjadi karena ketidakseimbangan antarindividu dari berbagai aspek, seperti latar belakang, kemampuan, dan wilayah geografis di tingkat sosial ekonomi yang memengaruhi fleksibilitas akses dan penggunaan TIK untuk berbagai kegiatan (OECD, 2001).
Beberapa penelitian telah menyoroti 2 kelompok yang mengalami kesenjangan digital, keduanya adalah perempuan (Wahyunintas & Adi, 2010) dan masyarakat yang tinggal di pedesaan (Subiakto, 2013).
Indonesia memiliki tingkat apatisme yang tinggi terhadap toleransi ketidakpastian dan ambiguitas. Masyarakat Indonesia juga sangat kebal terhadap perubahan dan inovasi.
Dengan kata lain, masyarakat Indonesia cenderung sulit beradaptasi dengan perubahan dan menyukai kebiasaan yang sudah berlaku dari lama saja. Sehingga, pemerataan akses TIK masih menjadi isu tabu pada saat ini.
Indikator TIK (2016) telah membuktikan bahwa 64% masyarakat masih belum memiliki akses terhadap perangkat digital dan internet.
Masyarakat juga masih kekurangan pengetahuan tentang ilmu dan penggunaan TIK itu sendiri (MICT, 2016). Hal ini disebabkan karena minimnya pembelajaran mengenai TIK di berbagai jenjang pendidikan.
Sebagian besar institusi pendidikan hanya mengajari muridnya cara pengoperasian komputer yang sederhana, seperti memindahkan dan menyalin file atau folder (80,2%), menggunakan fitur copy-paste untuk melakukan duplikat, dan memindahkan kata-kata atau file terlampir dalam dokumen (MICT, 2016).
Indonesia sebenarnya memiliki sejumlah perangkat dan penyedia internet untuk memberikan keseimbangan antara kualitas koneksi dan harga.
Namun, karena beberapa operator mungkin memiliki distribusi sinyal yang tidak merata, maka beberapa orang mungkin mengalami kesulitan untuk mengakses dan merasakan layanan internet. Cakupan harga internet di Indonesia juga tergolong mahal bagi sebagian besar masyarakat hingga mungkin tidak mampu membelinya.
Oleh karena itu, masyarakat Indonesia cenderung tidak memilih untuk mengandalkan dan menginvestasikan waktunya untuk memelajari sektor TIK.
Masyarakat yang mengalami keterbatasan akses terhadap perangkat digital juga bisa dibilang lebih beruntung daripada pengguna aktif karena mereka dapat terhindar dari ekspos gadget dan internet yang berlebihan.
Indonesia berada di urutan kedua yang paling banyak mendapat serangan cyber di era digitalisasi. Keterbukaan informasi dalam perangkat digital mampu membahayakan keamanan masyarakat bahkan bisa merobek persatuan rakyat.
Berbagai penelitian juga telah menyebutkan bahwa internet atau media sosial berhasil menyebabkan beragam gangguan kesehatan psikis seperti depresi dan kecemasan.
Di balik keberadaan internet yang menyedihkan, kecanggihannya sangat membantu banyak orang. Masyarakat saat ini semakin menunjukkan ketergantungan dalam hal informasi dan media digital berperan besar dalam menyumbang informasi, menghubungkan berbagai pihak terlepas dari demografinya.
Berbagai inovasi dan aksi sosial baru juga dapat tercipta berkat media digital (Rheingold, 1993 &; Schwarts, 1996). Sebagian besar pekerjaan pun saat ini harus dilakukan menggunakan media digital demi peningkatan efisiensi dan efektivitas.
Dengan campur aduknya dampak perangkat digital, tetap saja secara keseluruhan ketidakmerataan digitalisasi dapat mengancam kemajuan negara secara bertahap.
Tidak hanya dalam soal akses, tetapi dalam soal pemanfaatannya juga. Di Indonesia media digital seringkali digunakan sebagai platform untuk komunitas melakukan kampanye hoax dan black mingling.
Hal ini dapat memengaruhi persatuan masyarakat terutama bagi populasi dengan keterbatasan akses yang tepat ke Internet karena kurangnya sosialisasi akan isu berbahaya dari internet dan tingkat pengabaian sumber informasi yang tinggi.
Pertanyaannya, adakah solusi untuk masalah ini?
Sebenarnya, pemerintah telah menyediakan program "Desa Pintar" atau "Desa Punya Internet" yang dikenal sebagai upaya disiplinisasi internet.
Pemerintah menyediakan akses Internet yang setara, terutama bagi mereka yang berada di daerah pedesaan. Program lainnya adalah proyek Palapa Ring yang menyediakan akses internet untuk 34 provinsi di lebih dari 440 kabupaten yang mewakili negara-negara top tier.
Namun, pemerintah masih perlu berupaya mengembangkan dan memantau program ini agar terus berjalan.
Pada akhirnya, pendidikan TIK rupanya bukan jadi ilmu yang bisa diremehkan pada masa ini.
Pendistribusian akses digital juga harus lebih ditingkatkan dalam daerah pedesaan demi menunjang kehidupan yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H