Oleh karena itu, masyarakat Indonesia cenderung tidak memilih untuk mengandalkan dan menginvestasikan waktunya untuk memelajari sektor TIK.
Masyarakat yang mengalami keterbatasan akses terhadap perangkat digital juga bisa dibilang lebih beruntung daripada pengguna aktif karena mereka dapat terhindar dari ekspos gadget dan internet yang berlebihan.
Indonesia berada di urutan kedua yang paling banyak mendapat serangan cyber di era digitalisasi. Keterbukaan informasi dalam perangkat digital mampu membahayakan keamanan masyarakat bahkan bisa merobek persatuan rakyat.
Berbagai penelitian juga telah menyebutkan bahwa internet atau media sosial berhasil menyebabkan beragam gangguan kesehatan psikis seperti depresi dan kecemasan.
Di balik keberadaan internet yang menyedihkan, kecanggihannya sangat membantu banyak orang. Masyarakat saat ini semakin menunjukkan ketergantungan dalam hal informasi dan media digital berperan besar dalam menyumbang informasi, menghubungkan berbagai pihak terlepas dari demografinya.
Berbagai inovasi dan aksi sosial baru juga dapat tercipta berkat media digital (Rheingold, 1993 &; Schwarts, 1996). Sebagian besar pekerjaan pun saat ini harus dilakukan menggunakan media digital demi peningkatan efisiensi dan efektivitas.
Dengan campur aduknya dampak perangkat digital, tetap saja secara keseluruhan ketidakmerataan digitalisasi dapat mengancam kemajuan negara secara bertahap.
Tidak hanya dalam soal akses, tetapi dalam soal pemanfaatannya juga. Di Indonesia media digital seringkali digunakan sebagai platform untuk komunitas melakukan kampanye hoax dan black mingling.
Hal ini dapat memengaruhi persatuan masyarakat terutama bagi populasi dengan keterbatasan akses yang tepat ke Internet karena kurangnya sosialisasi akan isu berbahaya dari internet dan tingkat pengabaian sumber informasi yang tinggi.
Pertanyaannya, adakah solusi untuk masalah ini?
Sebenarnya, pemerintah telah menyediakan program "Desa Pintar" atau "Desa Punya Internet" yang dikenal sebagai upaya disiplinisasi internet.