Aku menerima cintanya dengan sepenuh jiwa. Meskipun dia jauh dari type lelaki idamanku tapi aku rasa aku cinta padanya. Dia tiga tahun lebih muda dari aku. Mahasiswa baru. Sedangkan aku sudah berada di tingkat akhir. Badannya besar dengan tinggi 180 cm. Seperti bodyguard saja. Wajahnya lebih seperti om-om daripada remaja usia 18 tahun. Jadi ketika kami jalan bersama, tidak terlihat bahwa aku lebih tua daripada dia.
Aku yakin beberapa temanku nanti akan mempertanyakan keputusanku. Menkonfontrasi apa yang selama ini aku gembar-gemborkan bahwa pacaran dengan brondong itu pembodohan. Tapi aku bisa menjelaskan. Apa yang aku rasakan dengannya ini nyata, bisa aku jelaskan dengan akal sehat.
Bersamanya aku merasa dicintai dan mencintai.
***
Dia terlihat terkejut melihat bercak merah di sprei.
“Kau masih perawan?” tanyanya tak percaya.
“Menurutmu?”
Senyum mengembang di bibirnya lalu memelukku erat, “Terima kasih. Aku senang menjadi yang pertama. Kau memang wanita sempurna.”
Kami berada di sebuah kamar sewaan. Di sudut kota yang terkenal dingin. Terletak dekat dengan pemandian air panas. Tempat yang biasa digunakan anak-anak muda memadu kasih. Tentu saja dengan harga yang nyaman di kantong. Hanya dengan mengeluarkan uang sebesar 50-100 ribu saja. Setiap orang bisa menggunakan kamar itu semalam suntuk, sepuas hati.
Berkali-kali kami bergelut. Menyalurkan hasrat yang sudah mendidih sampai di ubun-ubun. Hawa dingin pegunungan tak kami rasakan lagi. Keringat membanjiri. Jiwa dan raga bersatu. Panas. Semua memanas. Jiwaku…. Jiwanya…. Tubuhku…. Tubuhnya...
***