# Febby Litta & Christian Timor #
***
Dear Rama,
Aku mencoba untuk mencari makna dari kebetulan-kebetulan yang kita alami. Bukankah tidak ada kebetulan yang sekedar kebetulan di dunia ini? Namun, sekeras apapun aku mencoba tak aku temukan apa maksud dari semua ini. Apakah segala kebetulan ini hanya untuk membuat kita semakin memegang erat komitmen ataukah mungkin sekedar membuat kita menyadari perasaan kita masing-masing?
Kau ingat pertama kali kita bertemu? Kita bertemu di kereta subuh. Aku sudah bersiap untuk menikmati perjalananku ketika kau menyapaku. Kau memintaku menemanimu mengobrol selama perjalanan. Aku terkejut saat itu. Aku tak terbiasa bicara dengan orang asing. Tapi senyum tulusmu mengubah kebiasaanku.
Saat itu aku akan pergi ke kota sebelah menemui kekasihku. Begitupun dirimu. Kebetulan pertama, kita sama-sama menjalin hubungan jarak jauh. Kebetulan kedua, kita sama-sama bertemu dengan kekasih tiap hari minggu. Bedanya, kau rutin mengunjungi kekasihmu tiap minggu. Sedangkan aku bergantian berkunjung dengan kekasihku. Jika minggu ini aku, maka minggu depan dia yang akan mengunjungiku.
Kau mengernyit ketika mendengarku mengatakan itu. Kau mempertanyakan jadwal pertemuan yang kami buat. Menurutmu seharusnya lelaki yang mengunjungi kekasihnya. Tak perlu dijadwal seperti itu.
Aku menjelaskan kepadamu bahwa ini keputusan kami. Aku tidak keberatan karena sebuah hubungan harus dijalani dan dirasakan bersama. Senang maupun susahnya. Dengan begini, kami bisa sama-sama merasakan jadi bisa lebih menghargai perjuangan masing-masing.
Kau menggelengkan kepala tidak setuju dengan penjelasanku. Bagimu tetap tak seharusnya perempuan mendatangi lelaki. Tidak pantas meskipun sudah menjadi sepasang kekasih.
Perjalanan selama 3 jam yang biasanya terasa lama menjadi begitu cepat ketika bersamamu. Ternyata kau orang yang menyenangkan. Kau pandai bercerita, membuatku dengan senang hati ikut berbagi cerita. Kita bercerita tentang apa saja seakan sudah mengenal lama.
Kebetulan ketiga, terjadi di atas kereta api pada hari itu juga. Aku bertolak pulang dengan kereta senja, dan kita disatukan dalam kursi yang sama lagi.
Kau tertawa melihatku. Kau bilang Tuhan begitu baik hari ini karena telah mempertemukan kita lagi. Katamu mungkin kita berjodoh. Aku juga tiba-tiba berpikir bahwa mungkin saja kita memang berjodoh.
Semenjak itu, kita berjanji untuk pergi bersama ketika harus menemui kekasih masing-masing. Dengan alasan agar sama-sama tidak bosan menempuh perjalanan sendiri.
Kau tau? Aku semakin bersemangat setiap tiba saatnya untuk berkunjung. Entah sebenarnya aku bersemangat untuk bertemu kekasihku ataukah karena akan bertemu denganmu. Bersamamu membuatku merasa utuh. Aku bisa menceritakan apa saja. Berkeluh kesah tanpa takut dianggap lemah.
Hingga di suatu pagi kau berkata bahwa kau telah melamar kekasihmu. Aku terkejut mendengarnya. Lagi-lagi kebetulan. Aku juga baru saja dilamar minggu lalu.
Aku lebih banyak diam setelahnya. Kau juga tak banyak bicara. Rasanya ada yang aneh dalam hatiku. Aku bahagia ketika dilamar kekasihku, itu artinya hubungan jarak jauh yang melelahkan ini akan segera berakhir. Kami akan segera bersama, jadi tak perlu berlelah-lelah seperti ini. Namun mendengarmu juga telah melamarnya, serasa ada yang hilang. Pikiranku berkecamuk, memikirkan tentang rasa aneh yang menyergapku.
Aku cemburu!?
Kau bertanya kenapa aku diam saja. Aku katakan bahwa aku sedikit lelah.
Aku masih ingat kemudian kau berkata, “Kalau saja aku kekasihmu, aku tak akan membiarkanmu berlelah mengunjungiku seperti ini”
Sayang sekali kau bukan kekasihku. Kata itulah yang sebenarnya ingin aku katakan, tapi aku tak berani mengatakannya.Tak berani menanggung resiko setelahnya.
Kita berpisah hari itu dan tidak pernah bertemu lagi setelahnya. Aku memang sengaja menghindar. Aku takut bertemu lagi denganmu. Takut dengan perasaan aneh ini. Takut melihatmu akan menggoyahkan komitmenku bersamanya. Aku mulai menyibukkan diriku dengan persiapan pernikahan. Mencoba menghalau pikiran tentangmu. Meskipun semakin aku mencoba, bayangmu semakin sering mengunjungiku.
Aku menulis ini karena kenangan kita selama ini terus menghantuiku. Membuatku mencari-cari maksud Tuhan yang mempertemukan kita. Menimbulkan ratusan pertanyaan yang tak mampu aku jawab. Menghasilkankan kehampaan yang seharusnya tak boleh aku rasa. Aku berharap dengan menulis ini dapat meringankan sesak yang menghimpit dada. Kemudian membuatku mampu merelakan segala kenangan tentang kita.
Minggu depan aku akan menikah. Begitupun dirimu. Jujur terbesit keraguan di hatiku. Apakah ini keputusan yang benar? Aku mulai terbiasa dengan adanya dirimu. Dengan kebetulan-kebetulan yang menyatukan kita. Apakah kau juga merasakannya? Ataukah aku hanya sedang mendramatisir keadaan karena harus melepas masa lajangku? Aku berharap ini hanya perasaan sesaat saja. Perasaan labil yang hanya sementara. Dan akan segera hilang setelah aku resmi menjadi miliknya.
Maafkan aku karena telah lancang menulis surat ini dan mengirimkannya padamu.
Selamat menikah. Semoga kita sama-sama bahagia.
Kirana
***
Buat Kirana,
Aku bertemu dengan waktu
Ketika bernapas pertama kali
Lalu aku dibawanya melangkah
mencari apa yang disediakan untuk digapai
Dan terjadilah apa yang kamu sebut kebetulan
Dan dimulailah dengan hari yang manis ketika kukenal dirimu
Beratnya manis itu tak buatku berkeringat
Cuma tak ada yang tau
Semua pada sibuk dalam caranya
Pada semesta yang dipijak sekian lamanya tanpa bosan
Ajaibnya aku tak pernah bertanya
Tentang kebetulan-kebetulan ini
di akhir peron yang memisahkan kita
atau karena deru tapak-tapak kereta begitu menggoda
pada temu kita yang sengaja dirancangkan oleh keajaiban yang tak berwujud?
Entahlah…. Tapi ini beban
Kemudian tanya muncul lagi
Waktu kau ceritakan mimpimu
Pada perputaran purnama berikutnya
Ada sedikit sesal yang kurasa memang
Kisah bahagia yang kenapa tak aku yang berperan?
Satu beban lagi yang tak juga terucap
Sampai akhirnya aku tak menemukan kebetulan kamu lagi
Walau di tanganku ada undangan dari kereta senja
Yang mengantarku sebangku dengan wujud lain
Dan tau nggak kamu kalau ini terasa beda?
Tapi baiknya itu, aku menemukan kepastian
Saat kurenungkan suratmu
Yang kubaca ketika purnama sembunyi
; ternyata ada cinta di antara kita
Tak usah dipertanyakan kepastian itu
Cukup.
Biar kebetulanmu dan kepastianku yang saling jawab
Kita berdiri saja pada perhentian
Menanti kereta yang sudah kita pesan
Dengan ikrar di depan saksi
Dan aku tak mau memaksa
Karena ini juga berat bagiku
Tapi mungkin baiknya kita gugurkan kelopak bunga lama kita
Lalu biarkan kebetulanmu dan kepastianku bekerja lagi
Menumbuhkan bukan hanya satu bunga saja
Namun sebuah taman yang banyak tumbuh kisah baru
Yang penuturnya duduk manis di atas bongkahan-bongkahan kasih sayang
Yang siap disuapin pada benih-benih cinta yang kita cipta
ah, Na… perih memang ada
Tapi satu kepastian lagi yang harus kau tau
Suratmu sudah menjadi abu
Dan pergi dengan angin sore
Tapi nama dan wajahmu selalu ada di hati
Dan siap kuceritakan pada yang bertanya
Saat aku duduk dia atas bangku kereta
Terima kasih untuk kebetulan-kebetulan yang tercipta
Rama
***
gambar : sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H