Mohon tunggu...
Febby Feriskawati Kamilia
Febby Feriskawati Kamilia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Prodi Bimbingan dan Penyuluhan Islam Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Hii aku Febby lulusan SMK jurusan Akuntansi dan Keuangan Lembaga. Tertarik dengan keuangan dan hal-hal yang berbau fantasi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menelusuri Jejak Post-Truth: Kebohongan dari Zaman ke Zaman

20 Mei 2024   17:00 Diperbarui: 20 Mei 2024   17:01 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Oleh: Syamsul Yakin & Febby Feriskawati Kamilia
Pengasuh Pondok Pesantren Darul Akhyar Parung Bingung Kota Depok & Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Seperti yang kita tahu bahwa fenomena post-truth bukanlah sesuatu yang asing lagi di era digital. Meski kini lebih terlihat jelas dengan hadirnya media online, media sosial, dan jaringan sosial lainnya, sejatinya fenomena ini telah ada sejak lama, jauh sebelum dunia virtual mendominasi.

Post-truth berakar dari hati manusia dan telah terjadi sejak zaman Nabi SAW. Kebohongan yang disajikan sebagai fakta bukanlah hal yang asing dalam sejarah manusia. Post-truth hanyalah perilaku lama yang dikemas dengan cara baru. Untuk memahami lebih dalam tentang post-truth, kita bisa merujuk pada sabda Nabi SAW.

Berdasarkan riwayat Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda, "Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan. Pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat

kemudian Ruwaibidhah mengatakan." Ada yang bertanya, "Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?" Nabi SAW menjawab, "Orang bodoh yang turut campur dalam urusan publik" (HR. Ibnu Majah).

Ketika pendusta dibenarkan dan orang jujur malah didustakan, ini menunjukkan bahwa post-truth telah ada sejak masa lampau. Orang-orang sering kali lebih percaya pada hoaks yang memanipulasi emosi dan akal sehat mereka daripada fakta dari sumber berita yang valid. Jelas, post-truth mampu mengalahkan rasionalitas sejak dulu. Jika dibiarkan, ini bisa mengancam kohesivitas sosial, memperlambat pembangunan, dan merusak keunggulan serta kemandirian bangsa.

Secara psikologis, post-truth muncul dari rasa takut terhadap kejujuran orang lain dan kekhawatiran akan kekalahan dalam persaingan, seperti kelemahan dalam tata kelola kepribadian, pengetahuan, dan kerja keras. Post-truth adalah potret dari orang-orang yang merasa kalah namun berusaha menang dengan menggunakan intrik, agitasi, dan kampanye hitam. Akibatnya, pendusta dibenarkan sementara orang jujur didustakan. Tidak bisa disangkal bahwa politik modern juga telah diterpa oleh fenomena post-truth.

Saat para pengkhianat dipercaya dan orang yang amanah dianggap sebagai pengkhianat, ini menunjukkan bahwa watak dasar media sosial tidak anti-humanisme. Hoaks, berita palsu, dan ujaran kebencian sudah ada sebelum berkembangnya media konvergensi. Dengan kata lain, internet pada dasarnya humanis, demokratis, dan pluralis. Namun sayangnya, di era disrupsi ini, banyak orang diserang tanpa tahu siapa yang menyerang. Seseorang dikhianati tanpa mengetahui siapa yang mengkhianati.

Kondisi ini diperparah dengan munculnya Ruwaibidhah, yang mewakili masyarakat online yang instan, hipokrit, anti-sosial, dan bandit. Ruwaibidhah adalah musuh bagi bangsa-bangsa dan peradaban. Dengan watak agresornya, mereka yang seharusnya marginal malah berada di tengah. Bahkan, dengan kemampuan retorikanya, mereka berhasil mengontrol keadaan ekonomi dan politik. Ruwaibidhah inilah yang mencoreng wajah media sosial yang seharusnya digunakan secara bijak.

Untuk menghadapi tantangan ini, kita harus memiliki mental progresif dan berpikir futuristik dengan mengusung adagium "tomorrow is today". Kita tidak bisa menjadi kaum romantis-konvensional yang memegang teguh tajuk "yesterday is today". Jika tidak, kita akan tergilas oleh perubahan yang cepat. Ingat, ketika platform berubah, kita harus melakukan pergeseran. Selain itu, kita juga harus beralih dari "penumpang" era digital menjadi "pengendali".

Menariknya, dengan memahami dinamika ini, kita bisa melihat bagaimana sejarah berulang dalam konteks yang berbeda. Di zaman modern, post-truth didorong oleh teknologi, tetapi akarnya tetap sama---manusia yang berusaha memanipulasi kebenaran untuk keuntungan pribadi atau kelompok. Ini adalah pengingat bahwa kemajuan teknologi harus diiringi dengan peningkatan kesadaran dan tanggung jawab moral agar kita tidak terjerumus dalam siklus kebohongan yang sama.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun