Sudah lama tidak menulis di Kompasiana, aku ingin menulis lagi memanfaatkan waktu senggangku disela-sela sibuk sekolah. Maklum, sudah duduk di kelas dua SMA, kesibukanku semakin banyak. Terutama kegiatan di sekolah yang memakan hampir seluruh waktu siangku, dari pukul tujuh hingga ke pukul lima sore. He he he......mungkin aku berlebihan, tapi suerrr...aku ingin sekolah yang serius, gitu lho..........
Nah, saat aku menengok blog Kompasiana, mataku tertuju pada kolom freez, yaitu cerita tentang ngidam. Langsung aku dapat ide menulis. Kebetulan baru hari Minggu kemarin aku mendapati ibu muda yang sedang ngidam. Ia tetangga satu RT denganku yang baru menikah sekitar tiga bulan yang lalu. Saat kami sekeluarga sedang kumpul di teras rumah, Mbak Nani, nama tetanggaku tersebut melintas di depan rumah bersama suaminya. Lalu ia mampir dan sambil senyum-senyum malu ia berkata boleh tidak minta buah rambutan.
Di halaman rumahku berdiri pohon rambutan. Ia tumbuh sendiri, tanpa ditanam. Ayahku tak mau menebangnya, karena posisinya sudah pas dengan suasana lingkungan pekarangan rumah. Saat ini pohon rambutan tersebut telah terbuah. Warnanya memerah. Tapi anehnya, rasa buahnya sangat asam menusuk. Tak ada yang mau memakannya. Tapi ayah tetap membiarkan pohon rambutan itu tumbuh subur. Kata ayah, sayang buahnya selalu lebat dan nampak indah, apalagi warna merahnya mampu menutupi dedaunan yang hijau. Siapa tahu masih ada yang suka.
Dan benar kata ayah. Mbak Nani semangat memakan buah rambutan tersebut. Walaupun sudah dieri tahu, tapi Mbak Nani tetap melahapnya. Kami sempat terkesima, lalu semua tertawa terbahak-bahak setelah bertukar pandang satu sama lain. Rupanya, kami baru sadar kalau Mbak Nani sedang mengidam.
“Sebetulnya sudah dari minggu lalu, kami mau minta rambutannya om”, kata suami Mbak Nani pada ayahku. “Tapi di rumah omnggak ada orang, jadi kami urungkan niatnya” lanjut suami Mbak Nani lagi.
“Walah, ambil aja Di, tidak perlu ngomong, kayak nggak kenal sama Om aja” kata ayahku meyakinkan Bang Adi, suaminya Mbak Nani
“Nggak enak Om, pagarnya dikunci” jawab Bang Adi lagi
“Oalaa.....kan buahnya banyak yang bisa dipetik dari luar pagar”, sahut ayahku lagi
“Iya Om, lain kali kami ambil aja kalau nggak ada orang di rumah Om”, Bang Adi senyum sambil mengucapkan terima kasih telah diberi rambutan tersebut
Tak lupa aku membantu Bang Adi memetik buah rambutan yang menjuntai ke bawah sambil menyiapkan kantong kresek supaya Bang Adi dan Mbak Nani gampang membawanya.
Setelah Bang Adi dan Mbak Nani pamitan pulang, ayah geleng-geleng kepala sambil berkata : “Ada-ada saja orang ngidam, rambutan asam pun dirasakan enak”. Lalu mulailah ayah dan ibu membahas tentang ngidam. Ternyata, banyak sekali hal-hal aneh yang dialami oleh wanita ngidam. Ada yang ingin mengelus kepala orang lain yang botak. Ada yang ingin memakan buah yang sedang tidak musimnya. Ada yang menginginkan sesuatu yang tak pernah ia sukai sebelumnya. Bahkan ada yang menginginkan seseorang mengelus perut buncitnya. Pokoknya macam-macam cerita orang ngidam aku dapatkan dari ayah dan ibu sore itu.
Tapi yang aku suka, cerita ibuku bahwa dari setiap kehamilannya ibu tidak pernah ngidam. Malah sebaliknya ayahlah yang ngidam, bahkan sampai pingsan ketika menemani ibu melahirkan. Sungguh, aneh-aneh saja ceritanya. Dan cerita itu semakin menambah wawasanku, karena biar bagaimana pun suatu saat, ketika aku sudah berkeluarga aku kelak juga ingin hamil dan punya anak. Apakah akan mengalami rasa ngidam atau tidak, yang penting aku sudah tahu bahwa sebagian besar wanita hamil akan mengalami rasa ngidam.
Semoga tulisanku kali ini bermanfaat dan memacu diriku untuk terus menulis dan menulis, siapa tahu kelak aku mampu menorehkan sejarah di dunia tulis menulis, walau pun tulisan ini ringan, namun aku yakin masih bermanfaat untuk para pembaca. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H