Akan selalu begitu, berada di tempat ini, tak ayal melambungkan niatanku menciutkan sang 'aku'. Siapa aku dalam bentangan maha luas jagad raya? Aku tak ubahnya sebutir anak debu yang bertebaran di jalan sepi bersama debu lainnya. Aku seperti uap somay ketika si abang membuka tudung pancinya yang segera dihirup kumpulan bocah beringus -- yang tak sabar menahan lapar. Dan cukup puas hanya sekedar menghirup uap itu, lantaran uang mereka tak cukup.
Diiringi senyum sinis yang mengembang bagai pembunuh berdarah dingin sesaat menghabisi lawannya. Seolah-olah akulah korban pembantaian keji itu.
Aku hanya salah satu dari ceker bledeg di tangan mbak-mbak berkerudung hitam. Dikuliti habis sampai tak bersisa dan tanpa rasa penyesalan, tulangku diberikan kepada kucing kurus yang enggang melirikku. Entah -- apakah karena aroma pedas itu masih tertancap kuat dalamku? Atau memang benar aku bahkan tak layak bagi seekor binatang sekalipun?
Masih pantaskah di alam semesta ini aku menyebut aku? Dan di bawah lengkung biru yang sama, tak ada lagi siapa kaum Brahma, dan yang mana kaum Sudra. Seharusnya hanya Dia yang kusebut. Dia yang kepadanya sanjungan tertinggi dariku terlahir. Bagi Dialah segala hormat, kemuliaan dan syukur ini dituju.
Namun demikian, meski hanya sekedar uap somay yang sebentar saja terhempas ke udara dan dengan sigap masuk ke dalam hidung berongga kotor itu, setidaknya aku telah memuaskan barang sebentar gerombolan cecunguk tadi.
Salam dari Merbabu yang kian cemburu karena kamu.