Pagi menjelang siang, saya memutari pasar raya Padang dengan adek kelasyang kebetulan jadwal kuliahnya jam 1 siang. Sedangkan saya, berstatus sebagai koas dengan perasaan yang paling menderita sedunia kala itu.
Blok demi blok pasar telah kami lewati namun belum juga kami temui sebuah rak piring berpenutup kaca dengan harga pas dikantong kami. Hufft… terik matahari semakin sengat menindih ubun-ubun kepala. Lelah dengan hasil yang sia-sia, kami pun berangkat ke simpang haru, satu-satunya toko yang menjual barang yang kami cari-cari pun tak memberi harga yang sesuai dengan kantong kami. Matahari semakin tinggi, panas matahari semakin membakar ubun-ubun kami, tenggorokan kami mulai dicekat kekeringan,dehidrasi!. Ku ster motor varioku tuk memulai perjalanan kami, hanya beberapa meter berjalan, saya merasa kesulitan mengendalikan sepeda motor ini, rasanya saya sudah memicu gas dengan lebih cepat namun jalannya masih lambat dan stirnya terasa liat, kuberhentikan motor, kuperiksa bagian bawah motor, ternyata bannya kempes. “aghh….” Gerutuku, panas-panas begini musti dorong motor. Kulirik kekiri kanan jalan, tak jauh sekitar 30 meter dari tempatku berada kulihat sebuah tambal ban. “Alhamdulillah” lirihku. Kudorong motorku yang terasa lebih berat dari biasanya gara-gara satu bannya yang kempes.
“pak tolong saya pak, bannya kempes sepertinya tertusuk paku” ucap saya ketika sampai di tempat tambal itu. Seorang bapak paruh baya langsung melihat kearah ban depanku dan memutar-mutarnyatanpa banyak bicara. Lama aku berdiri didekat motorku melihat bapak itu bekerja dan sesekali melihat kendaraan berlalu lalang di depanku. Panas matahari semakin terik, tenggorokanku semakin tercekat, kuputari pandanganku tak ada satupun penjual minuman sekitar tempat ini. Panas semakin terik, dan kaki ini pun terlalu lelah sedari tadi berdiri, kuputuskan tuk duduk didalam pondok-pondokan kecil bapak ini, hanya beratap seng yang disanggah beberapa kayu supaya berdiri dan tak berdinding kecuali sisi belakangnya saja.
Kutatap bapak itu yang masih sibuk membuka benen dari rodanya, lalu diisi angin sampai menggembung penuh dan dicelupkan ke dalam ember besar yang telah diisi air. Bagian benen yang bocorpun segera ketahuan dari lubang benen yang kebocoran angin sehingga mendorong air disekitarnya sambil mengeluarkan bunyi. Pikiranku melayang jauh, berputar-putar pada masalah koasku.
“ah…. Betapa bodohnya aku” gerutuku menyesali diri. Mengingat apa yang pernah terjadi pada diriku akhir-akhir ini, pada permasalahan hidupku, masalah keinginan-keinginan besarku yang belum kunjung terwujud, pada ujian-ujian yang tak seberapa namun sangat besar dimataku. Pada pikiran bodohku saat dosenku berkata aku harus mengulang dua minggu yang ini berarti aku harus memperpanjang studiku dan menggagalkan beberapa rencana hidupku. Dalam emosi itu ingin kulajukan motorku ini sekencang-kencangnya, sejauh-jauhnya hingga menjauh dari semua permasalahan ini, keluar dari kesulitan hidup ini. “ah…..” untung aku tak pernah melakukan pikiran bodohku itu, tapi aku masih menyesal pernah berpikir seperti itu.
Kutatap lekat-lekat bapak penambal ban yang sedang bekerja di depanku. Dengan sabar dia mencari titik bocor banku lalu memanaskannya diatas kompor tambal ban tanpa sedikitpun menggerutu. Tak jelas berapa pendapatan bapak ini satu hari. Ya… kalau dipikir-pikir jika ban motorku ini tak bocor mungkin belum ada penghasilan bapak ini, kalau tidak ada yang kurang angin mungkin tidak ada pula yang ngisi angin, kalau ngisi angin paling dapat satu ribu tiap isi. Ternyata bapak ini bukanlah satu-satunya penambal ban ditempat ini, tak jauh beberapa meter diseberang jalan ini juga ada tempat tambal ban, dan sekitar 20 meter di depannya juga ada penambal ban, berarti saingan juga ada. Ya…bagaimanapun juga setiap orang pasti sudah ada rezqinya ditentukan Allah, seperti hari ini saya mengantarkan rezqi bapak yang dititipkan Allah pada saya.
Saya pun membandingkan peruntungan saya dengan bapak ini. Saya mulai mengira-ngira, kemungkinan bapak ini sekolahnya mungkin cuma sampai sd, smp atau sma, tidak sampai kuliah. Sedangkan saya…? Alhamdulillah diberi kesempatan oleh Allah untuk kuliah. Lalu pikiran saya berkeliaran pada masa-masa lalu saya, pada peruntungan saya, pada hal-hal telah luput untuk saya syukuri. Astaghfirullah…betapa sedikitnya saya bersyukur bahkan untuk kelengkapan anggota badan saya, pada udara yang bisa saya hirup setiap harinya, pada kaki yang bisa saya gerakkkan kemana saja, pada tangan, pada mulut, pada…..tak terhitung nikmatNya…..
Subhanalllah… Alhamdulillah…berkali-kali saya bersyukur, betapa banyak nikmat yang kulupa, sedikit saja diuji sudah merasa orang paling menderita sedunia padahal banyak yang diuji lebih berat dari diri saya. Mulai saat itu saya bertekad, untuk senantiasa belaar bersyukur, menghadapi masalah bukan sebagai sorang pecundang tapi sorang pejuang tangguh yang bersungguh-sungguh dan bersabar.
Pasti ada kemudahan yang menyertai setiap kesulitan, pasti ada hikmah dalam setiap kejadian,
Yakinlah…
bukankah pelangi yang indah itu akan muncul sesaat setelah hujan??
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H