Suara keras yang menghantam pintu utama membuatku dan Dayat terjaga dari tidur. Kejadian itu berlangsung tepat pukul 12.00 malam saat seluruh penduduk desa Benua Puhun tengah terlelap. Perlahan derap langkah kaki kami memecah keheningan sunyi malam itu. Kami menuju ke arah pintu, dimana sumber suara itu berasal. Kami menemukan gulungan amplop hitam yang tergeletak rapi di serambi rumah. Akupun menyuruh Dayat untuk memungutnya. Untaian pesan singkat lengkap dengan stempel bertuliskan inisial JS.
“Kami telah menunggu kalian berdua di pelabuhan sekarang...,” itulah pesan yang tertulis.
Hanya satu petunjuk yang kutangkap dalam surat rahasia itu. Ya..., sebuah gambar bendera tengkorak bertahtakan pesut menyilang. Kami berdua saling menatap satu sama lain seakan ada sesuatu yang janggal dalam surat tersebut. Akupun teringat akan pesan ibuku sebelum mereka pergi negeri satu benua di kepulauan Karibik. Pesan itu berbunyi bahwa suatu hari nanti akan ada seseorang yang akan meminta bantuan kepada kalian.
“Inikah..., petunjuk itu!” gumanku dalam hati.
Akupun langsung menyuruh Dayat mengambil dua benda pusaka yang telah ditinggalkan oleh ibu di lemari tuanya. Benda pusaka itu adalah sebiji telur ayam kampung dan setangkai daun keladi birah yang berusia puluhan tahun. Dayatpun tak banyak bicara, ia hanya mengikuti segala perintahku. Setelah mempersiapkan segalanya, aku dan Dayatpun saling pandang seakan menyimpan tanda tanya besar, siapakah orang yang telah mengundang kami dalam surat ini.
Di tengah kegelapan malam kami berjalan menyusuri sepanjang sungai. Mata kami terus menyisir dibalik puluhan kapal-kapal tongkang cina yang tersandar rapi di pelabuhan Teluk Pandan. Akhirnya, tepat di ujung pelabuhan tampaklah sebuah kapal aneh ber bendera hitam serta bergambarkan “Tengkorak dan bertahtakan pesut menyilang”. Tanpa pikir panjang kami langsung menyelinap masuk ke kapal tersebut. Kapal Emas Hitam itulah tulisan yang kami lihat di lantai geladak kapal tersebut. Gelas tuak berserakan, namun tak satupun para awak kapal yang tertangkap oleh mata kami berdua. Kapal tersebut tampak begitu lengang hanya seorang lelaki separuh baya dengan pakaian layaknya seorang bajak laut. Ya..., dia adalah nakhoda kapal Emas Hitam yang selalu diceritakan ibuku. Dia bernama kapten Ilanun. Dia adalah teman seperjuangan ayah kami saat bertualang di lautan Karibik. Tetapi, ayah dan ibu kami meneruskan pelayaran ke Asia, sedangkan Ilanun melanjutkan pelayaran ke lautan tengah hingga ke pulau Luzon. Kulihat lelaki separu baya tengah menegak segelas tuak di atas kursi goyangnya yang membelakangi kami berdua.
“Apakah Anda..., kapten Ilanun yang telah mengirimkan pesan singkat pada kami berdua?” sapaku pelan.
“Ha...ha...akhirnya, aku telah menemukan kalian!” jawab Ilanun dengan tawa lebar sembari bangun dari kursi goyangnya.
“Tak kusangka Turner dan Elizabeth memiliki anak semanis kalian!” jawab Ilanun dengan nada nakalnya.
“Kenalkan..., namaku kapten Ilanun nakhoda kapal Emas Hitam!” Ilanun berseru lantang sembari mengangkat topinya sedikit.
“Ada apa gerangan paman Ilanun mencari kami hingga ke bantaran sungai Mahakam ini?” tanyaku serius.
“Ahaaa..., lemparan kata yang bagus anak manis!” jawab Ilanun dengan senyum kecutnya.
Aku ingin kalian membantu misi khususku untuk mencari seseorang dukun sakti. Dukun sakti itu tinggal di benua lawas dekat desa Muara Kaman.
Nah..., di sinilah petualangan kami dimulai. Di tengah-tengah serbuan pasukan ombak sungai Mahakam yang kian mengganas malam itu. Kapal Emas hitam tak sengaja menembus lubang hijau penuh semak belukar nan tajam. Tiba-tiba saja, suasana kapal Emas Hitam yang tadinya sunyi senyap berubah riuh dan ramai. Tampaklah, ratusan awak kapal dengan wujud garang dengan tugas masing-masing. Mereka muncul dibalik sela-sela dinding kapal. Kami berdua pun hanya diam dan terpaku. Semua makhluk aneh itu, menunggu komando sang kapten Ilanun. Ilanun memerintahkan untuk menembus semak belukar raksasa tersebut dengan memutar haluan ke kiri. Perlahan ombak raksasa Mahakam yang semula mengganas telah terpukul mundur dengan ribuan semak belukar hijau. Keanehan pun mulai menerpa..., semak belukar yang semula menjadi benteng pertahanan kapal Emas Hitam kini berubah menjadi musuh. Satu demi satu akar-akar raksasa itu mencekram kapal tanpa ampun.
“Cepat..., potong akar-akar itu, Mereka akan menenggelamkan kapal kita dalam hitungan detik!” teriak Ilanun kepada para awak kapalnya.
Akan tetapi, semakin dipotong akar tersebut bertambah semakin banyak hingga membuat awak kapal kalang kabut. Sementara pusaran air raksasa tengah menghadang kapal emas hitam di hadapan. Akhirnya dengan sigap Ilanun mengarahkan kapalnya ke´arah pusaran air raksasa dan berhasil melarutkan akar-akar hidup dalam sekejap. Anehnya, dengan seketika pula kapal tersebut keluar dari pusaran air dan berlayar tenang melewati gelapnya hutan larangan yang terkenal angker. Akupun tersadar bahwa adikku telah hilang dari sisiku. Akupun mulai resah kesana kemari mencari Dayat. Akupun naik menuju bagian kemudi untuk menjumpai kapten Ilanun. Ia sudah tau maksud kedatanganku sembari berkata, “sekarang kita harus menemukan dengan cepat dukun Tudungga yang berada di Benua Lawas.”
“Tapi, aku ingin mencari adikku terlebih dahulu?” usulku.
“Tidak...!” sanggah Ilanun.,,,
“Kita harus menemukan dukun Tudungga dulu, karena dia bisa membantu kita memecahkan misteri hutan misterius yang menelan adikmu. Tak hanya itu, Tudungga juga mampu mengobatiku dari jeratan ilmu sihir Angelika!” jawab Ilanun.
“Siapa itu Angelika?” Tanyaku penasaran.
“Angelika adalah kekasih masa laluku. Dia telah kuasingkan di sebuah pulau tak berpenghuni setelah kematian ibunya karena ulah awak kapalku. Ibunya memiliki kekuatan sihir yang bisa mengguna-gunai orang hanya lewat boneka. Namanya Wewe gombel, ia terkenal licik dan jahat. Rupanya cantik tapi beracun. Ia tak ubahnya seorang nenek sihir yang haus akan perjaka tung-ting. Namun dalam perjalanan menuju pulau tak berpenghuni, tanpa kusadari Angelika telah berhasil mencuri boneka guna-guna buatan ibunya dari saku celanaku. Dulunya, boneka itu selalu digunakan ibunya untuk memperdayaku!” papar Ilanun panjang dan lebar.
“Jadi, perkara inilah yang membuatku berlayar hingga ke sungai mahakam demi mencari dukun Tudungga untuk melepaskan kutukan itu!” Ilanun terus meyakinkanku.
Akupun mondar mandir mengelilingi kemudi kapal Emas hitam seraya menudingkan jari telunjukku ke arah sungai sempit yang berarus tenang.
“Kita berlayar ke sana..., itu adalah jalan pintas menuju benua lawas!” seruku memecah keheningan malam. Seketika kapal berputar haluan ke kanan menuju jalan yang kumaksud. Akupun terkejut bukan kepalang.
“Kapal yang aneh!” desisku pelan.
“Sungai apa ini..., banyak lubang-lubang aneh menganga di tebingan sungainya?” tanya Ilanun sembari menaruh jari telunjuknya di bawah dagu runcingnya.
“Ini adalah sungai angker pertama yang harus kita lewati..., sungai ini bernama sungai Liang Buaya!” jawabku perlahan.
Sungai Liang Buaya adalah tempat berdiamnya buaya-buaya mistis penghuni hutan larangan. Tak ada satu kapal yang berhasil keluar dengan selamat saat melintasi sungai ini! bisikku pelan ke telinga kapten Ilanun. Terkecuali kita melakukan ritual membuang sebiji telur ayam ini ke sungai ini sambil melantunkan mantra khusus paparku kala itu pada kapten Ilanun. Dengan sekejap telur tersebut melayang ke tangan Kapten Ilanun. Mulutnya berkomat-kamit telur miliki perlahan meluncur ke sungai. Seketika, kudengar jeritan memilukan dari arah sungai lalu menghilang setelah mulut kapten Ilanun berhenti berkomat-kamit.
Sungai pertama berhasil kami lewati. Akan tetapi masih ada sungai kedua yang tak kalah ganas dan angker. Sungai itu bernama sungai Kedang Pala. Sungai ini adalah sungai tempat bersemayamnya ribuan kepala manusia tak berbadan karena tradisi ngayau atau perburuan kepala manusia selama puluhan tahun silam.
"Mereka akan memburu badan manusia yang melintasi sungai ini untuk menghilangkan kutukan roh penasaran!" ungkapku pada Kapten Ilanun.
"lalu, apa yang harus kita lakukan untuk menangkal serangan itu?" tanya Kapten Ilanun dengan sorotan mata yang tajam ke arah sungai Kedang Pala yang berada di hadapannya.
Tanpa banyak diskusi, aku langsung mengeluarkan setangkai daun keladi birah dari saku kantongku. Lalu kulemparkan kearah sungai Kedang Pala sambil membaca mantra. Daun tersebut berubah menjadi mangkuk raksasa dan menelan dengan ganasnya ribuan kepala yang berterbangan tersebut. Suasana mencekam tersebut membuat kapten Ilanun terpaku dari balik kemudinya.