Mohon tunggu...
ferra.F
ferra.F Mohon Tunggu... Freelancer - Berbagilah ilmu lewat tulisanmu

Salam hormat dan salam kenal dari belahan dusun nun jauh Kalimantan Timur(Borneo Island)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

(Kartini RTC) Jadi Kartini Itu Simple, Secangkir Kopi pun Cukup

20 April 2015   11:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:53 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_411322" align="aligncenter" width="300" caption="Gambar Koleksi pribadi"][/caption]

Tik...tok...tik...tok..., detak jarum jam menunjukkan pukul 12.00 tengah malam. Kulihat di pembaringan, dia belum juga balik ke peraduan untuk mengusir sejuknya angin malam. Meski rasa kantukku tak tertahankan. Kelopak mata serasa tak mau lagi, melihat indah sang rembulan. Akan tetapi, secangkir kopi hangat untuk sang suami tercinta tak pernah kulupakan. Kuayunkan kaki menuju ruang dapur seraya meraih ceret mungil kesayanganku di atas meja usang. Lalu, perlahan kunyalakan tungku tua dengan sisa ranting kayu berukuran sebesar  jari kelingking. Maklum, hanya ranting dari dahan kayu keringlah yang bisa menghidupi kami. Hutan lebat di bumiku...tak lagi mau bersahabat dengan kami yang kecil ini.

Kresek...kresekkk... kuraba sejumlah plastik bekas bercampur potongan karet ban motor di dalam laci usang yang mengkilap. Barang bekas itu sengaja kusimpan sebagai pemicu api agar  tungku tuaku bisa berasap. Sekali lagi, kondisi keuangan kami tak cukup untuk membeli minyak gas yang harga semakin melambung tinggi dan kian langka di pasaran. Tapi, semua itu tak menyurutkan niatku sang Kartini Kampung Harapan. Niat berbakti kepada sang suami tercinta sekaligus mengasah kreativitas untuk memanfaatkan sisa alam yang ada. Tak pernah terbesit rasa penyesalan dalam hatiku telah berbagi hidup dengan si dia. Semua itu, aku resapi dengan tegar sambil menyulam benang-benang kehidupan yang sudah tercerai-berai. Meski, kami hidup di kampung yang kian hari kian termarjinalkan dari saudara sendiri.

Bluk...bluk...bluk..., suara air mendidih dalam ceret mungilku tak hanya memecah keheningan malam nan dingin. Akan tetapi, gemericik airnya pun telah membangunkanku dari lamunan. Perlahan kuraih toples kopi lalu kuseduhlah secangkir kecil kopi tanpa gula. Sebelum menuju ruang baca dan menulis suamiku untuk mengantarkan secangkir kopi cinta. Hatiku pun berkata, “Rasanya kurang lengkap bila meminum secangkir kopi tanpa sepotong kue pisang yang sudah kuhangatkan barusan.”

Klatok...klatok...klatok...suara sandal kayuku mengejutkan suami tersayang yang tengah duduk di kursi jati tua. Suara itu memancing suamiku keluar dari kamar kerjanya. Krekkkkkkkk...suara pintu...berbunyi halus dibarengi suara tegas menyeruak keluar dari balik pintu bercat biru muda.

“Siapa ya...! Kaukah itu, Kar!” seru Gence Upau dengan nada singkat.
“Iya...Abang!” jawabku dengan nada lembut.
“Kenapa kau belum tidur?” tanya si Abang Gence dengan senyum hangat.
“Oya..., Abang! Kartini terbangun karena suara gaduh Putri Si...ti...kus dari arah dapur kita.” Dusta Kartini untuk menutupi rasa malunya karena ia hanya ingin membuatkan secangkir kopi malam untuk sekedar penyemangat.
“Ouwww...bagus juga karangan ceritamu malam ini, Kar!” jawab Abang Gence mengejekku sambil membesarkan bola matanya dengan dahi yang setengah berkerut.
“Hi...hi...hi…Abang tau saja, kalau Kartini berdusta, ini...untuk Abang” jawab Kartini sembari memberikan baki kecil yang berisi secangkir kopi dan dua potong kue pisang dengan kelapa parut.
“Terima kasih sayang! Hmmm...apakah si Putri Si...ti...kus telah membisikkan sesuatu kepadamu Kartini sayang?” tanya Gence dengan nada menggoda.
“Iya...Putri Si...ti...kus, inginkan aku untuk menyampaikan bisikan bahwa celana Abang pada bagian belakang itu bolong,” jawab Kartini tersipu malu sembari tertawa.
“Oya!”  jawab Gence terkejut sambil menutupi robekan celananya dengan tangan kirinya.
“Aduh, maksud hati ingin menggoda sang istri tercinta malah malu deh,” Guman Gence dalam relung hatinya.

Semenjak kejadian memalukan sekaligus menggelikan itu, Gence lebih berhati-hati lagi untuk melontarkan rayuan kepada Kartini. Kisah secangkir kopi Kartini tak pernah dilupakan Gence, kenangan manis itu selalu disimpannya rapi di hati.

Fe Gadingga-Sarawak, 20 April 2015
Terima kasih sudah bertandang mesra dan membaca. Salam ngakak!

1429502332874915216
1429502332874915216

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun